KAPTEN REBA DAN PERLAWANAN TERAKHIR
Karya : Pena_Lingga
( Esai )
---
Nyala di Ujung Senja
Di tanah ini, sejarah ditulis dengan darah,
di tanah ini, angin membawa seru perlawanan.
Di parit-parit berlumpur,
tubuh-tubuh lunglai berselimut debu,
namun semangat tak pernah luruh.
KAPTEN REBA berdiri di antara nyala api,
seragamnya lusuh, sorot matanya tajam.
Di sisinya, PRAJURIT DARTO menggenggam senapan,
melihat ke arah horizon yang penuh desing peluru.
Mereka tak lagi punya tempat untuk pulang.
Desa yang dulu menjadi rumah,
telah rata dengan tanah,
rumah-rumah terbakar,
anak-anak dan perempuan lenyap tanpa nama.
"Malam ini kita menyerang," kata Reba.
"Atau kita mati tanpa kehormatan."
Darto menggigit bibirnya.
Ia mengangguk, meski hatinya gemetar.
> "Kapten, kita hanya tinggal belasan orang.
Apakah kita masih bisa menang?"
Reba tertawa getir.
Matanya menatap ke langit yang mulai menghitam.
"Menang bukan soal jumlah, Darto.
Menang adalah soal kehormatan kita."
Darto menelan ludah.
Ia ingin percaya.
Tapi di dadanya, sebuah ketakutan tumbuh.
---
Wajah Penjajah Bernama Baldi
Di sisi lain medan perang,
BALDI duduk di dalam tenda,
tangannya menggenggam peta,
senyumnya mengandung kesombongan.
Ia bukan sekadar penjajah,
ia adalah pemimpin yang tak mengenal belas kasih.
Bagi Baldi, tanah ini hanyalah angka,
rakyatnya hanyalah budak,
perlawanan hanyalah angin yang akan padam.
> "Mereka tak akan bertahan semalam lagi.
Hancurkan mereka sebelum fajar,"
perintahnya dingin, tanpa ragu.
Di luar, serdadu asing mengasah pedang,
mereka mempersiapkan peluru,
mereka tahu,
esok tanah ini akan jatuh ke tangan mereka.
Baldi tertawa.
Baginya, perang bukan tentang darah,
bukan tentang kehormatan,
tapi tentang kuasa yang bisa ia genggam,
tentang harga yang bisa ia jual.
---
Pengkhianatan di Tengah Badai
Di tengah gelap, pasukan Reba bergerak.
Mereka tahu ini mungkin pertempuran terakhir.
Peluru mereka sedikit,
tapi keberanian mereka tak terbatas.
Darto berjalan di belakang Reba,
tangannya gemetar di gagang senapan.
Di dalam dadanya, sebuah rahasia bergetar,
sebuah bisikan yang menyesakkan.
Ia teringat wajah ibunya.
Sebelum perang menghancurkan desa,
sebelum pasukan Baldi datang dengan api,
ibunya pernah berkata:
"Jangan mati sia-sia, Nak..."
Darto tak ingin mati.
Ia masih ingin pulang.
Ia masih ingin hidup.
Dan suara Baldi berbisik di telinganya,
mengguncang hatinya yang rapuh.
"Kau berikan lokasi mereka,
dan aku beri kau kebebasan."
Darto telah memilih.
Tangannya mencengkeram surat yang diberikan Baldi,
janji untuk membiarkan dia hidup,
jika ia menyerahkan teman-temannya sendiri.
---
Darah di Tanah Sendiri
Ledakan pertama menghancurkan pohon-pohon tua.
Peluru berdesing,
api menjilat malam,
tanah bergetar oleh derap kaki musuh.
KAPTEN REBA terkejut.
Mereka disergap sebelum menyerang!
Matanya mencari ke sekeliling,
lalu tertumbuk pada satu wajah:
Darto.
> "KAU BERKHIANAT?!"
Darto tak menjawab.
Tapi tangannya yang kosong berbicara.
Ia telah menyerahkan segalanya.
Suara ledakan menelan jawabannya.
Teman-temannya jatuh satu per satu.
Mereka berteriak,
memanggil nama Tuhan,
memanggil ibu mereka yang jauh di kampung.
Darto berdiri di antara mereka,
tangannya gemetar,
matanya basah.
Ia melihat Reba,
terseok di tanah,
darah mengalir dari pahanya.
Namun Reba tak menyerah.
Dengan sisa tenaganya,
ia mengangkat senapan,
dan menembak tepat ke dada pengkhianat.
Darto terhuyung.
Air matanya bercampur darah.
Ia ingin bicara,
ingin meminta maaf,
tapi suaranya tak lagi keluar.
Ia jatuh dalam tanah yang pernah ia bela,
kini menjadi tempatnya binasa.
BALDI melihat dari kejauhan,
ia tersenyum puas.
Malam itu, perlawanan terakhir hancur.
Dan tanah ini jatuh ke tangan penjajah.
---
Di Antara Nama-Nama yang Lenyap
Sejarah ditulis oleh pemenang,
tapi arwah para pejuang tak pernah benar-benar mati.
Nama Reba mungkin dilupakan,
Darto mungkin dicaci,
dan Baldi mungkin dikenang sebagai penguasa.
Namun di antara desiran angin malam,
bisikan-bisikan masih terdengar,
tentang mereka yang melawan,
tentang mereka yang tak menyerah.
Dan tanah ini akan selalu ingat,
bahwa ia pernah dihuni oleh keberanian,
dan dikhianati oleh ketakutan.
Di suatu tempat yang jauh,
ibu Darto masih menunggu.
Di depan rumahnya yang hangus,
ia menatap ke jalan setapak,
berharap putranya kembali.
Tapi Darto tak akan pernah pulang.
Dan Baldi tetap berkuasa.
Dunia, seperti biasa,
tak pernah adil pada mereka yang kalah.
Sorong, 19 Februari 2025