Kamis, 27 Februari 2025

CANDUKU

 Canduku

Karya : Pena_Lingga


Selain rokok dan kopi, tatapan dan suaramu adalah canduku. Tatapan yang selalu meneduhkan, seakan menjadi pelarian terbaik di antara hiruk-pikuk dunia yang semakin bising. Aku bisa tenggelam dalam matamu, menemukan ketenangan yang tak bisa diberikan oleh secangkir kopi panas di pagi hari.


Suaramu juga begitu candu. Entah ketika kau berbicara, tertawa, atau sekadar menyebut namaku dengan lembut. Ada irama di sana, seperti alunan musik yang tak pernah bosan kudengar. Suaramu mampu menenangkan badai dalam pikiranku, meredam segala keresahan yang kerap datang tanpa diundang.


Aku tidak membutuhkan nikotin untuk merasa tenang, tidak perlu kafein untuk tetap terjaga. Cukup dengan kehadiranmu, aku bisa merasa hidup. Senyummu lebih ampuh daripada sebatang rokok yang diisap dalam diam, lebih menghangatkan daripada kopi yang kuminum di pagi buta.


Saat dunia terasa berat, aku hanya ingin duduk bersamamu. Tidak perlu banyak kata, cukup menatapmu dan mendengar suaramu. Di situ aku menemukan candu yang paling murni, yang tidak merusak paru-paru atau lambungku, tetapi justru menyehatkan jiwaku.


Setiap kali kau pergi, aku seperti perokok yang kehabisan batang terakhirnya, seperti pecandu kopi yang tak sempat menyeruput paginya. Aku gelisah, resah, merasa ada yang hilang. Candu ini bukan ketergantungan yang merusak, tetapi lebih kepada kebutuhan yang tidak bisa dihindari.


Aku sering bertanya, bagaimana jika suatu saat candu ini harus kurelakan? Bagaimana jika aku harus kehilangan tatapan dan suara yang selama ini menenangkanku? Aku takut, tetapi aku juga tahu, tidak ada candu yang abadi.


Namun, untuk saat ini, biarkan aku tetap menikmati canduku. Biarkan aku tetap tenggelam dalam tatapanmu dan larut dalam suaramu. Aku ingin menyerap setiap detik kebersamaan ini, sebelum waktu memaksaku untuk berhenti.


Karena selain rokok dan kopi, tatapan dan suaramu adalah canduku. Dan aku tak ingin berhenti kecanduan.


Samarinda, 28 Februari 2025

AKU PERNAH SEGILA ITU

 Aku Pernah Segila Itu

Karya : Pena_Lingga


Aku pernah segila itu mencintaimu, mencintai tanpa peduli seberapa sakitnya aku harus berjuang. Aku mengejarmu dengan cara yang ugal-ugalan, mengabaikan logika, bahkan mengorbankan harga diriku sendiri. Aku selalu ada di sekitarmu, memastikan bahwa kau tahu betapa besar perasaanku, berharap suatu hari nanti kau akan melihatku dengan cara yang sama.


Tapi kau tak pernah benar-benar melihatku. Aku hanya bayangan di sekelilingmu, selalu ada tapi tak pernah dianggap. Aku berpikir jika aku cukup sabar, jika aku cukup kuat, maka kau akan sadar bahwa aku adalah orang yang paling tulus mencintaimu. Nyatanya, sekeras apa pun aku berusaha, hatimu tetap tak berpihak padaku.


Aku lelah. Aku telah sampai pada titik di mana berlari mengejarmu bukan lagi sesuatu yang bisa kulakukan. Aku mulai bertanya pada diriku sendiri, untuk apa semua ini? Mengapa aku membiarkan diriku terluka hanya demi seseorang yang bahkan tak pernah berusaha untuk mencintaiku kembali?


Dan saat aku akhirnya berani berhenti, saat aku mencoba menerima kenyataan, aku harus menghadapi luka yang lebih dalam. Kau memilihnya—sahabatku sendiri. Kau memberikan hatimu kepadanya dengan cara yang tak pernah kau lakukan padaku. Tanpa perlu dikejar, tanpa perlu diperjuangkan, dia mendapatkan sesuatu yang selama ini aku harapkan.


Aku ingin marah, ingin menyalahkan dunia karena ketidakadilan ini. Tapi aku tahu, cinta tak pernah bisa dipaksakan. Aku tak bisa memaksa hatimu untuk memilihku, sebagaimana aku tak bisa memaksa diriku sendiri untuk berhenti mencintaimu dalam sekejap.


Aku mencoba memaafkan. Memaafkanmu karena telah membuatku berharap, memaafkan sahabatku karena telah mendapatkan sesuatu yang aku inginkan, dan memaafkan diriku sendiri karena terlalu lama menggenggam sesuatu yang seharusnya kulepaskan sejak awal. Tapi tetap saja, luka ini begitu nyata, dan aku tak tahu berapa lama waktu yang kubutuhkan untuk benar-benar sembuh.


Aku pernah segila itu mencintaimu, pernah sehancur itu mengejarmu. Kini, aku hanya bisa menatap dari kejauhan, menyaksikan kau bahagia bersama dia yang bahkan tak perlu berusaha sepertiku. Dan aku di sini, sendirian, dengan hati yang masih berusaha memahami bagaimana rasanya merelakan tanpa benar-benar ikhlas.


Mungkin nanti, saat luka ini tak lagi terasa, aku bisa berkata bahwa aku baik-baik saja. Tapi untuk saat ini, aku masih tenggelam dalam rasa kehilangan yang begitu menyakitkan. Aku berhenti mengejarmu, tapi hatiku belum benar-benar berhenti mencintaimu.


Raja Ampat, 27 Februari 2025

Minggu, 23 Februari 2025

GELANG HITAM DI TANGAN KIRIKU

 Gelang Hitam Di Tangan Kiriku

Karya : Pena_Lingga


Sejak kehilanganmu, aku mulai membiasakan diri dengan kesunyian. Tak ada lagi suara lembutmu yang membangunkanku setiap pagi, tak ada lagi pesan singkat yang mengingatkanku untuk menjaga diri. Semua yang dulu terasa hangat kini berubah menjadi kehampaan yang membeku. Aku mencoba menerima, tapi nyatanya aku masih terus berharap bahwa ini semua hanya mimpi yang akan segera berakhir.


Aku melingkarkan gelang hitam di tangan kiriku, bukan sekadar aksesori, melainkan sebagai tanda bahwa ada sesuatu yang telah mati dalam diriku. Rasa ini, cinta ini, semua yang pernah kubangun bersamamu, kini hanya menjadi puing-puing kenangan yang berserakan. Aku ingin membuangnya, tapi seberapa pun aku mencoba, jejakmu tetap melekat di setiap sudut pikiranku.


Dulu, kau selalu menata rambutku dengan penuh canda. Kau bilang aku terlihat lebih tampan saat rambutku rapi, dan aku hanya tertawa, membiarkan tanganmu merapikan helaian-helaian yang berantakan. Tapi kini, aku membiarkannya tumbuh liar, seperti diriku yang kehilangan arah sejak kepergianmu. Tak ada lagi tanganmu yang menyentuh, tak ada lagi suaramu yang menertawakan kekonyolanku. Semua itu telah menjadi bayangan yang hanya bisa kucari dalam ingatan.


Aku sering berjalan sendirian, menyusuri tempat-tempat yang dulu kita kunjungi. Café kecil di sudut jalan tempat kita berbagi cerita, bangku taman tempat kita menertawakan hari, semua masih sama, tapi terasa begitu asing tanpamu. Aku duduk di sana, membiarkan kesedihan mengalir tanpa hambatan, berharap angin bisa membawa pergi rinduku yang semakin berat.


Waktu terus berlalu, tapi luka ini tak juga sembuh. Orang-orang berkata aku harus move on, tapi mereka tak tahu betapa sulitnya menghapus seseorang yang pernah menjadi bagian dari hidupku. Aku mencoba mengalihkan perhatian, menyibukkan diri dengan pekerjaan dan hobi baru, tapi pada akhirnya, di ujung hari, aku tetap kembali pada kenyataan bahwa kau sudah tiada di sisiku.


Setiap malam, aku masih menunggu—bukan menunggu kepulanganmu, karena aku tahu itu mustahil—tapi menunggu waktu mengikis perasaanku perlahan. Namun, semakin aku berharap melupakan, semakin kenangan itu merantai hatiku. Aku ingin bertanya pada semesta, mengapa cinta sebesar ini harus berakhir dengan kehancuran? Mengapa aku harus kehilangan saat aku masih begitu ingin mempertahankan?


Aku menulis namamu di kertas-kertas kosong, hanya untuk kemudian merobeknya dengan putus asa. Aku ingin membuang semua jejakmu, tapi anehnya, aku juga takut saat bayanganmu mulai memudar. Aku terjebak dalam dilema yang menyakitkan—antara ingin melupakan dan ingin terus mengenang.


Malam-malam panjang yang dulu kita habiskan dengan berbicara kini hanya diisi oleh suara detak jam yang memecah kesunyian. Aku menutup mata, berharap suaramu kembali menggema di kepalaku, tapi yang kudapatkan hanyalah hampa. Aku lelah berharap, lelah mencintai sesuatu yang sudah tak bisa kugenggam.


Jika waktu bisa diajak berkompromi, aku ingin memohon satu hal saja: biarkan aku melupakan segalanya. Aku ingin berhenti bertanya-tanya tentang kita yang tak lagi ada. Aku ingin melepaskan semua yang pernah kupeluk erat, sebab mencintaimu kini tak lagi membawa bahagia, hanya perih yang semakin mengakar.


Tapi nyatanya, bahkan hingga saat ini, aku masih mencarimu dalam sepi. Aku masih melihat bayanganmu di setiap sudut kota, masih mendengar suaramu dalam gemerisik angin. Dan mungkin, begitulah akhirnya—aku akan terus terjebak dalam rindu yang tak berbalas, mencintai seseorang yang telah lama pergi, sampai aku sendiri tak lagi ada.


Raja Ampat, 23 Februari 2025

Kamis, 20 Februari 2025

PERNAH SESAYANG ITU,PERNAH

 Pernah sesayang itu perah

Karya : Pena_Lingga


Aku pernah sesayang itu, pernah. Pernah secinta itu, pernah. Tapi pada akhirnya, aku harus menerima bahwa tidak semua yang kucintai bisa kumiliki selamanya. Aku harus mengerti bahwa perasaan tidak selalu berujung pada kebersamaan, dan itu bukan berarti aku gagal mencintai.


Aku masih mengingat semuanya, tapi aku tidak lagi ingin menggenggam terlalu erat. Aku masih merasakan luka yang pernah ada, tapi aku tidak lagi ingin membiarkannya menguasai langkahku. Aku tahu, untuk benar-benar bisa melangkah ke depan, aku harus merelakan apa yang sudah berlalu.


Aku akan belajar mengikhlaskan. Aku akan belajar menerima bahwa apa yang terjadi bukanlah akhir dari segalanya, melainkan bagian dari perjalanan yang membentukku. Aku akan belajar percaya bahwa kehilangan bukanlah hukuman, melainkan cara semesta menunjukkan bahwa ada hal lain yang lebih baik menantiku di depan.


Mungkin butuh waktu, mungkin tidak mudah. Tapi aku ingin percaya bahwa suatu hari nanti, aku bisa melihat kembali semua ini tanpa ada sesak di dada. Aku ingin percaya bahwa aku bisa tersenyum tanpa ada bayang-bayang luka yang menghantui.


Jadi, untuk terakhir kalinya, aku mengucapkan selamat tinggal pada semua harapan yang dulu kupeluk begitu erat. Aku tidak akan lagi bertanya "mengapa" atau "seandainya". Aku akan belajar mengikhlaskan, dan membiarkan takdir menuntunku pada sesuatu yang memang benar-benar untukku.


Raja Ampat, 21 Februari 2025

Selasa, 18 Februari 2025

ELEGI SUNYI

 Elegi Sunyi

Karya : Pena_Lingga


Kala senandika menggema lirih,

Dalam diksi rindu yang kian letih.

Bait-bait sunyi menari lara,

Menjaga luka di dada purba.


Puisi mengalir bagai Gangga,

Menyuci jiwa yang resah merana.

Namun arusnya penuh paradoks,

Membawa sepi, bukan penawar.


Paradigma hati bak cakra berputar,

Mencari cahaya dalam gelap samar.

Namun prosa kehilangan aksara,

Melebur dalam maya tanpa cahaya.


Rima nestapa menyulam kenangan,

Bagai mantra yang terikat takdir.

Dunia terlalu berisik dan bingar,

Tapi sunyi tetap bersemayam sabar.


Bait-bait luka kulantunkan senyap,

Seperti resi dalam hening semadi.

Diksi menari dalam bayang kelam,

Mengeja cinta yang telah pergi.


Paradoks rasa bagai dualitas,

Antara maya dan jagad nyata.

Aku mencarimu dalam gelap,

Namun engkau lenyap dalam cahaya.


Senandika rindu meniti samudra,

Di antara gelombang yang tak terbaca.

Langit menghamparkan epos lama,

Tapi tak ada kita dalam ceritanya.


Puisi ini bukan sekadar kata,

Tapi doa yang tenggelam dalam sunya.

Bersama angin yang mendesir lirih,

Menyebut namamu dalam lirih.


Seperti karma yang mengikat jiwa,

Aku terjerat takdir yang fana.

Kita bertemu dalam mimpi,

Tapi terpisah dalam nyata.


Paradigma asmara mengurai nyeri,

Menjadi nyanyian tanpa harmoni.

Aku menulis, engkau menghilang,

Seperti bayangan yang tak terpegang.


Bait-bait pilu kularungkan senja,

Bersama arunika yang pudar warna.

Aku masih berdiri di tepi waktu,

Memandangmu yang kian menjauh.


Prosa hidup adalah samudra luas,

Namun di dermaga aku terdiam.

Menunggu kapal yang tak berlabuh,

Menunggu cinta yang tak berpulang.


Rima hujan melantunkan elegi,

Menjadi kidung sunyi di dada.

Kau seperti aksara tak terbaca,

Hanya samar dalam jejak sejarah.


Paradoks ini mengikat erat,

Antara ada dan tiada menyatu.

Aku menulis namamu di langit,

Namun angin menghapusnya perlahan.


Senandika malam merangkai cerita,

Tentang janji yang tak lagi nyata.

Aku dan sepi, berdansa lirih,

Menyulam rindu dalam nirwana.


Puisi ini kutulis di atas nirleka,

Antara maya dan kenyataan fana.

Mungkin hanya ilusi yang tersisa,

Mungkin hanya sunyi yang setia.


Diksi cinta telah sirna lenyap,

Seperti bayangan di batas cakrawala.

Aku menggapai, tapi kau menghilang,

Bagai dewa yang kembali ke kahyangan.


Paradigma kasih telah memudar,

Menjadi mantra yang kehilangan makna.

Aku berjalan di lorong takdir,

Tanpa engkau di sisi, tanpa arah.


Bait terakhir kutulis di udara,

Melebur dalam getar semesta.

Jika kelak kita bersua lagi,

Biarkan sunyi yang menyapa lebih dulu.


Sebab puisi ini adalah karma,

Yang mengikat hati dalam sunya.

Maka biarlah takdir menulis ulang,

Jika semesta mengizinkan kita bersatu.


Raja Ampat, 19 Februari 2025

UNTUK YANG TIDAK LAGI KUGENGGAM

 Untukmu Yang Tidak Bisa Lagi Kugenggam

Karya : Pena_Lingga


Aku sudah lama tahu bahwa kebahagiaan tak selalu memilih untuk berdiam di satu tempat yang sama. Kadang, ia berpindah, berjalan menjauh, dan menetap di tempat yang tak pernah kita duga. Seperti kamu, yang kini menggenggam tangan seseorang yang bukan lagi aku.


Aku tidak akan bertanya mengapa semuanya harus berakhir seperti ini. Barangkali, memang begini cara semesta mengajarkan bahwa cinta tak selalu harus memiliki. Aku hanya bisa menerima kenyataan bahwa kita kini berada di jalan yang berbeda, menuju arah yang tak lagi sama.


Namun, sekalipun bukan aku yang ada di sisimu, doaku tetap mengiringimu. Dengan caraku sendiri, aku melangitkan harapan-harapan baik untukmu. Aku tak tahu apakah doaku mampu sampai kepadamu, sebab di antara kita terbentang perbedaan yang bukan hanya soal jarak, tetapi juga keyakinan yang tak lagi sejalan.


Tetapi ketulusan tak membutuhkan syarat. Aku tak peduli apakah Tuhan yang kau sembah akan mendengar doaku untukmu, atau apakah langit yang kau yakini akan mengabulkannya. Aku hanya tahu bahwa aku ingin kau bahagia, meski bukan bersamaku.


Ada kalanya aku masih mengingat kita—dulu, sebelum semua ini berubah. Ada kalanya aku bertanya dalam hati, apakah kau juga sesekali mengingat aku dalam diam? Namun, aku sadar, mengenang terlalu lama hanya akan membuat langkahku tertahan di masa lalu.


Maka, perlahan aku belajar untuk melepaskan, bukan dengan kebencian, tetapi dengan keikhlasan. Aku belajar menerima bahwa yang pernah menjadi milikku, kini telah menjadi milik orang lain. Dan itu bukan kesalahan siapa-siapa.


Jadi, pergilah tanpa perlu menoleh. Aku tak lagi menggenggam apa pun darimu, kecuali kenangan yang akan kusimpan sebagai bagian dari perjalanan hidupku. Aku mengikhlaskanmu, sepenuh hati, semoga kau pun telah mengikhlaskan aku.


Raja Ampat, 10 Agustus 2024

KAPTEN REBA DAN PERLAWANAN TERAKHIR

 KAPTEN REBA DAN PERLAWANAN TERAKHIR

Karya : Pena_Lingga

( Esai )



---


Nyala di Ujung Senja

Di tanah ini, sejarah ditulis dengan darah,

di tanah ini, angin membawa seru perlawanan.

Di parit-parit berlumpur,

tubuh-tubuh lunglai berselimut debu,

namun semangat tak pernah luruh.


KAPTEN REBA berdiri di antara nyala api,

seragamnya lusuh, sorot matanya tajam.

Di sisinya, PRAJURIT DARTO menggenggam senapan,

melihat ke arah horizon yang penuh desing peluru.


Mereka tak lagi punya tempat untuk pulang.

Desa yang dulu menjadi rumah,

telah rata dengan tanah,

rumah-rumah terbakar,

anak-anak dan perempuan lenyap tanpa nama.


"Malam ini kita menyerang," kata Reba.

"Atau kita mati tanpa kehormatan."


Darto menggigit bibirnya.

Ia mengangguk, meski hatinya gemetar.


> "Kapten, kita hanya tinggal belasan orang.

Apakah kita masih bisa menang?"




Reba tertawa getir.

Matanya menatap ke langit yang mulai menghitam.


"Menang bukan soal jumlah, Darto.

Menang adalah soal kehormatan kita."


Darto menelan ludah.

Ia ingin percaya.

Tapi di dadanya, sebuah ketakutan tumbuh.



---


Wajah Penjajah Bernama Baldi


Di sisi lain medan perang,

BALDI duduk di dalam tenda,

tangannya menggenggam peta,

senyumnya mengandung kesombongan.


Ia bukan sekadar penjajah,

ia adalah pemimpin yang tak mengenal belas kasih.

Bagi Baldi, tanah ini hanyalah angka,

rakyatnya hanyalah budak,

perlawanan hanyalah angin yang akan padam.


> "Mereka tak akan bertahan semalam lagi.

Hancurkan mereka sebelum fajar,"

perintahnya dingin, tanpa ragu.




Di luar, serdadu asing mengasah pedang,

mereka mempersiapkan peluru,

mereka tahu,

esok tanah ini akan jatuh ke tangan mereka.


Baldi tertawa.

Baginya, perang bukan tentang darah,

bukan tentang kehormatan,

tapi tentang kuasa yang bisa ia genggam,

tentang harga yang bisa ia jual.



---


Pengkhianatan di Tengah Badai


Di tengah gelap, pasukan Reba bergerak.

Mereka tahu ini mungkin pertempuran terakhir.

Peluru mereka sedikit,

tapi keberanian mereka tak terbatas.


Darto berjalan di belakang Reba,

tangannya gemetar di gagang senapan.

Di dalam dadanya, sebuah rahasia bergetar,

sebuah bisikan yang menyesakkan.


Ia teringat wajah ibunya.

Sebelum perang menghancurkan desa,

sebelum pasukan Baldi datang dengan api,

ibunya pernah berkata:


"Jangan mati sia-sia, Nak..."


Darto tak ingin mati.

Ia masih ingin pulang.

Ia masih ingin hidup.


Dan suara Baldi berbisik di telinganya,

mengguncang hatinya yang rapuh.


"Kau berikan lokasi mereka,

dan aku beri kau kebebasan."


Darto telah memilih.

Tangannya mencengkeram surat yang diberikan Baldi,

janji untuk membiarkan dia hidup,

jika ia menyerahkan teman-temannya sendiri.



---


Darah di Tanah Sendiri


Ledakan pertama menghancurkan pohon-pohon tua.

Peluru berdesing,

api menjilat malam,

tanah bergetar oleh derap kaki musuh.


KAPTEN REBA terkejut.

Mereka disergap sebelum menyerang!

Matanya mencari ke sekeliling,

lalu tertumbuk pada satu wajah:

Darto.


> "KAU BERKHIANAT?!"




Darto tak menjawab.

Tapi tangannya yang kosong berbicara.

Ia telah menyerahkan segalanya.


Suara ledakan menelan jawabannya.

Teman-temannya jatuh satu per satu.

Mereka berteriak,

memanggil nama Tuhan,

memanggil ibu mereka yang jauh di kampung.


Darto berdiri di antara mereka,

tangannya gemetar,

matanya basah.


Ia melihat Reba,

terseok di tanah,

darah mengalir dari pahanya.


Namun Reba tak menyerah.

Dengan sisa tenaganya,

ia mengangkat senapan,

dan menembak tepat ke dada pengkhianat.


Darto terhuyung.

Air matanya bercampur darah.

Ia ingin bicara,

ingin meminta maaf,

tapi suaranya tak lagi keluar.


Ia jatuh dalam tanah yang pernah ia bela,

kini menjadi tempatnya binasa.


BALDI melihat dari kejauhan,

ia tersenyum puas.


Malam itu, perlawanan terakhir hancur.

Dan tanah ini jatuh ke tangan penjajah.



---


Di Antara Nama-Nama yang Lenyap


Sejarah ditulis oleh pemenang,

tapi arwah para pejuang tak pernah benar-benar mati.

Nama Reba mungkin dilupakan,

Darto mungkin dicaci,

dan Baldi mungkin dikenang sebagai penguasa.


Namun di antara desiran angin malam,

bisikan-bisikan masih terdengar,

tentang mereka yang melawan,

tentang mereka yang tak menyerah.


Dan tanah ini akan selalu ingat,

bahwa ia pernah dihuni oleh keberanian,

dan dikhianati oleh ketakutan.


Di suatu tempat yang jauh,

ibu Darto masih menunggu.

Di depan rumahnya yang hangus,

ia menatap ke jalan setapak,

berharap putranya kembali.


Tapi Darto tak akan pernah pulang.

Dan Baldi tetap berkuasa.

Dunia, seperti biasa,

tak pernah adil pada mereka yang kalah.


Sorong, 19 Februari 2025

Senin, 17 Februari 2025

SAJAK UNTUK PECUNDANG

 Sajak Untuk Pecundang

Karya : Pena_Lingga


Kalian yang berdiri di balik kabut,

Mengira aku berjalan di jalan emas yang mulus.

Tapi aku hanya seorang pelaut, mengarungi samudra kata,

Tanpa tahu ke mana ombak akan membawa kapal ini.


Di mata kalian, aku mungkin bintang yang terlalu terang,

Namun kalian lupa, bintang pun tak lepas dari gelap malam.

Karya ini bukan cahaya untuk menyilaukan,

Hanya sekeping pendar yang ingin berbicara dengan senyap.


Ada yang mengatakan aku menulis dengan tangan berlapis sutra,

Padahal tangan ini hanya menari di atas angin yang kencang.

Kalian yang iri, apakah kalian tak tahu?

Tak ada sutra tanpa benang yang telah putus di ujungnya.


Kalian melihat aku seperti pohon yang tumbuh subur,

Tapi tak tahu bahwa akar-akarku mencengkram tanah beku.

Tak ada yang mudah dalam menumbuhkan hutan kata,

Setiap daun yang jatuh adalah kisah yang hilang tanpa jejak.


Kalian terus berbisik seperti serangga di malam gelap,

Tanpa tahu bahwa setiap nyanyian itu hanya angin yang lewat.

Aku bukan raja di istana kata,

Aku hanya seorang musafir yang tak takut tersesat di padang pasir.


Iri itu seperti sungai yang terus mengalir,

Tanpa tahu bahwa arusnya akan menenggelamkan diri sendiri.

Aku hanya menulis, bukan untuk mengisi ruang kosong,

Tapi untuk mengalirkan air yang membawa kesejukan bagi hati yang gersang.


Kalian mungkin melihat aku seperti burung yang terbang tinggi,

Tapi tak tahu betapa sayapku terkoyak oleh badai.

Setiap kata adalah sayap yang patah,

Tapi aku terus terbang, meski tanpa arah yang pasti.


Jika kalian merasa lebih besar dari ombak yang aku hadapi,

Mengapa tak coba berdiri di atas kapal ini?

Jangan hanya mencibir dari bibir yang kering,

Tulis kisah kalian, biar tak terhapus waktu.


Aku tahu kalian menganggap kata-kata ini pisau tajam,

Tapi ingatlah, pisau itu hanya bisa melukai yang tak tahu cara memegangnya.

Biar aku yang mencipta, biar aku yang jatuh,

Setiap patah itu adalah pelajaran untuk bangkit lebih tinggi.


Jadi, untuk kalian yang iri di balik bayang-bayang,

Apakah kalian akan terus menunggu atau mulai menggenggam pena?

Karena dunia ini bukan milik mereka yang hanya menilai,

Tapi milik mereka yang berani mencipta, meski dunia penuh keraguan.


Raja Ampat, 17 Februari 2025

Minggu, 16 Februari 2025

AKU TETAP MENUNGGUMU

 Aku Tetap Menunggumu

Karya : Pena_Lingga & Penyair Tanpa Nama


Prolog


Hujan turun perlahan, membasahi jalanan yang sepi. Dua hati yang pernah saling memiliki kini berdiri di ambang perpisahan, di bawah langit yang dulu menjadi saksi janji-janji yang tak lagi berarti.


Malam ini, bukan tentang menyatukan kembali yang telah retak, tetapi tentang menerima bahwa tidak semua yang dimulai harus menemukan akhirnya bersama.


-----------


👨‍🦱: Aku masih di sini… di tempat yang dulu kita sebut singgasana. Tempat di mana kita pernah menanam impian, tapi kini hanya tinggal puing-puing harapan yang ditiup angin. Kau pergi, dan sejak itu, waktu terasa seperti pedang yang perlahan mengiris hatiku.


👩‍🦰: Kau masih saja bertahan di sana? Kenapa? Bukankah sudah cukup waktu yang berlalu? Kau seharusnya menjadi ombak yang terus bergerak, bukan air yang terperangkap di muara tanpa aliran.


👨‍🦱: Aku tidak bertahan karena ingin. Aku bertahan karena setiap sudut tempat ini masih menyimpan gema suaramu, bayangan tawamu, dan jejak langkah yang tak bisa kuhapus. Aku seperti kapal tanpa nakhoda, terombang-ambing tanpa arah, berharap suatu saat kau datang kembali dan menuntunku pulang.


👩‍🦰: Aku tak pernah memintamu menunggu. Aku tak ingin menjadi badai yang membuatmu terus terjebak dalam pusaran. Aku hanyalah angin yang berlalu, sementara kau terus berdiri di tempat yang sama, merindukan sesuatu yang telah lama pergi.


👨‍🦱: Meski aku tahu kau telah pergi, hatiku tetap membisikkan namamu di setiap hembusan napas. Hari-hari berlalu seperti bayangan senja yang perlahan tenggelam, tapi rasa ini tetap tertinggal. Aku mencoba melangkah, tapi langkahku selalu kembali ke tempat ini.


👩‍🦰: Hidup terus berjalan. Waktu tak akan menunggumu seperti kau menungguku. Jika kau terus diam di tempat yang sama, kau hanya akan menjadi daun kering yang terombang-ambing tanpa tujuan, menunggu angin membawamu entah ke mana.


👨‍🦱: Kau bilang aku harus melupakan, tapi bagaimana mungkin? Kau seperti cahaya yang masih bersinar dalam kegelapanku. Bahkan saat aku menutup mata, bayanganmu tetap menari di dalam kepalaku, mengisi setiap sudut yang kosong dengan kenangan yang tak bisa pudar.


👩‍🦰: Itu hanya ilusi. Kau menggenggam sesuatu yang tak lagi nyata, seperti mencoba meraih bintang di langit yang terlalu jauh untuk disentuh. Aku sudah bukan lagi aku yang dulu kau kenal. Aku telah pergi, meninggalkan jejak yang seharusnya kau hapus, bukan kau ratapi.


👨‍🦱: Kau adalah rumahku. Dan seseorang tidak bisa begitu saja meninggalkan rumahnya tanpa kehilangan arah. Aku kehilangan kompas sejak kau pergi. Aku tersesat dalam labirin yang tak memiliki jalan keluar, hanya berharap suatu hari kau kembali menjadi cahaya yang membimbingku pulang.


👩‍🦰: Rumah bukanlah seseorang. Rumah adalah tempat di mana hatimu merasa damai. Dan jika aku bukan lagi tempat itu, maka kau harus mencari rumah baru. Jangan terus berdiri di depan pintu yang sudah lama terkunci, berharap aku akan membukanya kembali.


👨‍🦱: Tapi bagaimana jika aku tidak ingin mencari? Bagaimana jika aku lebih memilih tinggal di depan pintu itu, berharap suatu saat kau mengetuk dari dalam dan membiarkanku masuk lagi?


👩‍🦰: Itu bukan cinta. Itu adalah keputusasaan yang kau bungkus dengan harapan. Aku tak ingin menjadi rantai yang mengikat langkahmu. Aku ingin kau bebas, terbang seperti burung yang menemukan langitnya sendiri.


👨‍🦱: Bahagia? Bagaimana aku bisa bahagia jika satu-satunya sinar dalam hidupku telah memilih untuk meredup di tempat lain? Aku telah mencoba melihat dunia tanpamu, tapi semuanya tampak pucat, seperti lukisan yang kehilangan warnanya, seperti lagu tanpa melodi.


👩‍🦰: Kau hanya belum mencoba dengan sungguh-sungguh. Kau masih berdiri di tepi jurang kenangan, takut melangkah ke tanah yang baru. Tapi kau harus tahu, di seberang sana, ada matahari yang menunggumu, ada jalan yang lebih luas untuk dilalui.


👨‍🦱: Aku takut. Takut jika suatu hari aku benar-benar melupakanmu. Karena jika itu terjadi, aku akan kehilangan bagian terbesar dari diriku. Aku lebih memilih hidup dengan luka ini daripada harus hidup tanpa mengenangmu.


👩‍🦰: Luka itu hanya rantai yang kau biarkan membelenggumu. Kau berpikir bahwa dengan bertahan, kau masih memiliku dalam hatimu. Padahal, kenyataannya, kau hanya menyakiti dirimu sendiri. Aku ingin kau bebas, bukan terperangkap oleh bayanganku.


👨‍🦱: Lalu, bagaimana aku bisa melepaskan sesuatu yang telah menjadi bagian dari jiwaku? Menghapusmu dari hidupku sama saja seperti mencabut akar dari tanah—membuatnya tandus, kehilangan kehidupan.


👩‍🦰: Belajarlah. Belajarlah seperti aku belajar melepaskan. Seperti aku belajar menerima bahwa tidak semua yang kita inginkan akan tetap tinggal. Ada yang datang untuk pergi, ada yang singgah hanya untuk mengajarkan sesuatu. Dan mungkin aku adalah bagian dari itu.


👨‍🦱: Tapi aku tidak ingin kau menjadi sekadar pelajaran. Aku ingin kau tetap menjadi bagian dari hidupku, bukan hanya kenangan yang perlahan memudar.


👩‍🦰: Kau harus mengerti bahwa tidak semua kisah mendapatkan akhir yang bahagia. Terkadang, kita hanya bisa menerima bahwa "hampir" adalah satu-satunya yang bisa kita genggam. Dan "hampir" tak pernah cukup untuk menjadikan kita abadi.


👨‍🦱: Jadi, aku harus menyerah? Begitu saja?


👩‍🦰: Bukan menyerah, tapi menerima. Menerima bahwa aku telah memilih jalan yang berbeda. Menerima bahwa hatimu harus kau berikan pada seseorang yang benar-benar tinggal, bukan pada seseorang yang telah lama pergi.


👨‍🦱: Aku tidak tahu apakah aku bisa… Tapi jika ini yang kau inginkan, aku akan mencoba. Meski berat, meski rasanya seperti menghapus sebagian dari hidupku, aku akan mencoba.


👩‍🦰: Itu yang aku harapkan. Aku ingin kau bahagia, meski kebahagiaan itu tak lagi bersamaku.


👨‍🦱: Aku akan mencoba… Tapi sebelum kau pergi, bisakah kau menoleh sekali lagi?


👩‍🦰: Aku sudah menoleh, sejak tadi. Tapi sekarang, aku harus benar-benar pergi.


👨‍🦱: Selamat tinggal…


👩‍🦰: Selamat tinggal. Semoga kau menemukan rumah yang baru.


Ruang Duka, 16 Februari 2025

Sabtu, 15 Februari 2025

AKU YANG KAU ANGGAP SIAL

 Aku Yang Kau Anggap Sial

Karya : Pena_Lingga


Aku adalah darah daging kalian. Dari tubuhku mengalir riwayat yang sama, dari nadiku mengalun cerita yang pernah kalian genggam. Tapi entah mengapa, setiap aku menapakkan kaki di antara kalian, tatapan itu selalu sama—dingin, tajam, seolah aku hanya serpihan luka yang tak diinginkan. Aku bertanya-tanya, sejak kapan aku menjadi aib dalam kisah kalian? Apakah aku pernah meminta untuk lahir membawa beban yang tak kupilih?


Aku adalah bagian dari rumah ini, meski rasanya lebih sering seperti tamu yang tak diundang. Kata-kata kalian menusuk lebih dalam daripada belati; menyayat perlahan, tanpa ampun. Aku hanyalah ranting dari pohon yang sama, tetapi mengapa aku selalu dianggap rapuh dan mengganggu? Apakah seburuk itu kehadiranku hingga kalian lupa bahwa di tubuhku juga mengalir darah yang sama panasnya dengan kalian?


Seringkali aku bertanya kepada langit—apakah aku benar-benar kutukan? Jika memang begitu, mengapa aku harus menanggung dosa yang bahkan tak pernah aku lakukan? Kalian melangkah dengan bangga membawa nama keluarga, sementara aku tersisih di sudut gelap, dihujani tuduhan yang bahkan tak mampu kubantah. Suaraku menjadi angin yang lewat di telinga kalian, tak pernah benar-benar didengar, apalagi dimengerti.


Aku tidak meminta lebih, hanya sejumput penerimaan. Apakah begitu sulit mengakui bahwa aku juga bagian dari kalian? Bukankah darah ini menyatukan kita dalam ikatan yang seharusnya lebih kuat dari prasangka? Namun, bagi kalian, aku tak lebih dari bayang-bayang kesialan yang ingin segera dilupakan. Setiap langkahku bagai gerimis di musim kemarau—mengganggu, tak diharapkan.


Jika aku bisa memilih, aku ingin menjadi anak yang kalian banggakan. Tapi sekeras apa pun aku berusaha, di mata kalian aku tetap cacat yang merusak citra. Kata-kata kalian tajam seperti duri, menikam perlahan hingga hatiku mati rasa. Aku mulai bertanya-tanya, apakah layak aku memperjuangkan tempat di hati yang tak pernah menginginkanku?


Aku lelah menjadi kambing hitam atas segala hal buruk yang menimpa kalian. Saat keberuntungan menjauh, kalian memandangku seolah akulah penyebabnya. Aku menjadi cermin bagi ketakutan kalian sendiri, menjadi alasan bagi kegagalan yang bahkan bukan tanggung jawabku. Kalian lupa, aku juga memiliki hati yang bisa terluka, perasaan yang bisa hancur.


Aku hanya ingin kalian tahu—aku bukan musibah. Aku hanyalah manusia yang ingin diakui dan dicintai. Meski di mata kalian aku adalah badai, di hatiku masih ada harapan kecil untuk bisa menjadi pelangi setelah hujan. Namun, bagaimana aku bisa bersinar jika setiap cahaya yang kumiliki selalu kalian padamkan dengan curiga dan tuduhan?


Jika aku adalah kutukan, bukankah kalian juga bagian dari takdir yang melahirkanku? Mengapa kalian lupa bahwa aku lahir dari rahim yang sama, dari kisah yang kalian ukir bersama? Jika aku adalah kesalahan, bukankah itu juga menjadi bagian dari perjalanan kalian? Namun, kalian memilih membuangku, seolah aku noda yang mencemari nama baik kalian.


Aku telah mencoba memahami, mencoba menerima kenyataan ini. Tapi semakin aku berusaha, semakin aku tersesat dalam luka yang kalian ciptakan. Aku ingin berhenti berharap, namun hati ini tetap memanggil nama kalian di tengah kesepian. Aku hanyalah seorang anak yang ingin merasakan hangatnya rumah, bukan dinginnya penghakiman.


Pada akhirnya, aku tetap di sini, menjadi bagian dari darah daging kalian. Meski kalian menolakku, aku tak mampu memutus ikatan ini. Aku bukan pembawa sial—aku hanyalah jiwa yang ingin diterima apa adanya. Dan sampai kapan pun, aku tetaplah bagian dari kalian, meskipun di matamu aku hanya bayang-bayang yang tak pernah kalian inginkan.


Raja Ampat, 26 Januari 2026

AKU DAN KENANGAN

 AKU DAN KENANGAN

Karya : Pena_Lingga


Aku selalu berpikir bahwa waktu adalah penyembuh terbaik, tetapi nyatanya ia hanya perpanjangan luka yang tak kunjung kering. Setiap detik yang berlalu justru menjadi rantai yang mengikatku pada masa lalu, pada kenangan yang seharusnya sudah kubiarkan pergi. Aku berjalan di antara hari-hari yang terus melaju, tetapi bayanganmu masih menari di tepian ingatanku, seperti senja yang enggan pudar dari cakrawala.


Dulu, kau adalah rumah, tempat segala lelahku berlabuh. Suaramu adalah alunan merdu yang menenangkan setiap gelisah dalam dadaku. Namun kini, rumah itu telah runtuh, menyisakan puing-puing yang tak bisa kusatukan lagi. Aku mencoba membangun kehidupan baru, tetapi reruntuhan kenangan terus menghantui, membisikkan kisah-kisah yang tak berakhir bahagia.


Malam adalah musuh yang paling kejam. Dalam sunyi yang pekat, aku mendengar gema tawamu, melihat bayanganmu di setiap sudut kamar. Aku tahu itu hanya ilusi, tetapi hatiku menolak percaya. Aku terjebak dalam labirin rindu yang tak berujung, berjalan tanpa arah, mencari sesuatu yang tak mungkin kembali.


Aku sering bertanya, apakah kau juga masih mengingatku? Ataukah aku hanyalah nama yang perlahan memudar dalam ingatanmu? Aku takut menjadi seseorang yang hanya sesaat berarti, lalu dilupakan begitu saja, seperti daun yang jatuh ke sungai, terbawa arus dan lenyap tanpa jejak.


Kau pernah bilang bahwa cinta kita seperti bintang, tetap bersinar meski berjauhan. Tapi kau lupa, bintang hanya terlihat saat malam tiba, dan aku tak ingin menghabiskan sisa hidupku dalam kegelapan hanya untuk melihat sinarnya. Aku butuh matahari, sesuatu yang nyata, bukan sekadar cahaya dari kejauhan yang tak bisa kugenggam.


Aku sudah mencoba membakar kenangan tentangmu, tetapi abu itu malah menempel di dadaku, menyatu dengan napasku, dan menjadi bagian dari diriku. Aku ingin melangkah pergi, tetapi jejak kita terlalu dalam terukir di hatiku. Tak peduli sejauh apa aku berlari, aku tetap membawa bayanganmu dalam tiap langkah.


Mungkin benar, kenangan adalah kutukan bagi mereka yang pernah mencintai terlalu dalam. Ia bukan sekadar fragmen masa lalu, melainkan hantu yang terus mengintai, membisikkan rindu yang tak pernah usai. Aku ingin melupakan, tetapi semakin aku mencoba, semakin dalam ia mengakar.


Dan pada akhirnya, aku hanya bisa menerima. Aku dan kenangan akan selalu berjalan beriringan, seperti dua orang asing yang tak bisa benar-benar berpisah. Aku tidak tahu apakah luka ini akan sembuh, atau hanya menjadi bagian dari diriku yang harus kupeluk seumur hidup. Yang aku tahu, aku tetap di sini, berdamai dengan kehilangan, meski di sudut hati, aku masih berharap—kau akan kembali.


Raja Ampat, 16 Februari 2025

Ziarah part1

 Ziarah Part1

Karya : Pena_Lingga


Hari ini adalah hari pertama aku datang berziarah ke pemakamanmu, kasih. Langkahku terasa berat, seolah setiap inci tanah ini menahan kakiku, enggan membiarkanku mendekat ke tempat di mana kau kini terbaring diam. Aku membawa setangkai bunga kesukaanmu, tapi apa gunanya bunga jika tak bisa lagi kau sentuh? Apa gunanya kehadiranku jika kau tak lagi di sini untuk menyambutku dengan senyum yang selalu menenangkan?


Aku duduk di samping pusaramu, menatap nama yang kini terpahat abadi di atas batu nisan. Betapa kejamnya waktu, kasihku. Ia merenggutmu dariku seperti ombak yang menyeret kapal ke tengah lautan, meninggalkanku terombang-ambing dalam kesedihan yang tak bertepi. Aku mencoba berbicara padamu, tetapi hanya angin yang menjawab, membawa suara lirihku ke tempat entah di mana.


Aku meraba tanah di atas pusaramu, mencoba merasakan kehangatan yang dulu selalu kau bagi denganku. Namun, yang kutemukan hanya dingin. Dingin yang mengingatkanku bahwa kau benar-benar telah pergi, bahwa tak ada lagi tanganmu yang bisa kugenggam saat dunia terasa berat. Aku bertanya-tanya, apakah di sana kau kesepian? Atau justru kau kini tenang, tak lagi dibebani luka dunia?


Langit mendung, seolah turut berduka bersamaku. Angin berhembus pelan, membelai rambutku seperti tanganmu yang dulu selalu menenangkan. Aku ingin percaya bahwa ini caramu menghiburku, bahwa meski ragamu tak lagi di sini, cintamu masih ada, mengalir dalam udara yang kini kuhirup dengan getir. Tapi aku terlalu rapuh untuk percaya, kasihku. Aku terlalu hancur untuk merasa utuh kembali.


Setiap sudut pemakaman ini adalah luka baru bagiku. Batu-batu nisan berdiri tegak, seolah menjadi saksi bisu dari ribuan kehilangan yang pernah terjadi. Aku kini menjadi bagian dari mereka—orang-orang yang meratapi kepergian, yang membawa pulang duka dalam genggaman, yang mengucap selamat tinggal tanpa pernah benar-benar siap.


Dulu, kita sering berbicara tentang masa depan. Tentang rumah kecil dengan jendela besar, tentang pagi yang dimulai dengan kopi dan tawa. Kini, semua impian itu menjadi debu yang tertiup angin, melayang tanpa arah, tak lagi punya tempat untuk berlabuh. Aku tak tahu bagaimana melanjutkan hidup tanpa bagian terindah dalam kisahku—tanpamu.


Aku ingin marah pada takdir, ingin menggugat langit yang begitu tega merenggutmu dariku. Tapi aku tahu, kemarahan tak akan mengembalikanmu. Tangisanku tak akan membuatmu bangun dari tidur panjangmu. Yang tersisa kini hanyalah aku, berdiri di antara kenangan yang terus menghantuiku, mencoba memahami bagaimana rasanya hidup dengan kekosongan sebesar ini.


Kasihku, aku takut. Takut melupakan suaramu, takut kehilangan bayanganmu di dalam pikiranku. Aku takut waktu akan menjauhkanmu dariku, membuatmu hanya menjadi sepotong kisah yang perlahan pudar. Aku ingin menyimpanmu selamanya di dalam hatiku, tapi bagaimana jika kenangan pun perlahan terkikis oleh hari-hari yang terus berjalan?


Aku tidak tahu apakah aku bisa menjadi kuat seperti yang dulu kau harapkan. Aku hanya tahu bahwa aku akan selalu kembali ke sini, membawa bunga yang kau suka, membisikkan doa yang mungkin bisa sampai kepadamu. Aku akan berbicara dengan sepi, berharap angin akan menyampaikan rinduku kepadamu.


Hari ini adalah awal dari perjalanan panjang tanpa kehadiranmu di sisiku. Aku tahu, dunia tidak akan berhenti berputar meskipun hatiku hancur berkeping-keping. Tapi aku berjanji, kasihku, aku akan tetap mencintaimu dalam diam, dalam doa, dalam kenangan yang tak akan pernah mati. Sebab cinta sejati tidak berakhir di pemakaman—ia hidup selamanya, dalam setiap hembusan napas dan detak jantung yang masih tersisa.


Raja Ampat, 15 Februari 2025

Jumat, 14 Februari 2025

MATI RASA

 Mati Rasa

Karya : Pena_Lingga


Aku pernah mencintai seseorang dengan seluruh jiwaku, seperti akar yang menancap dalam ke tanah, berharap akan tumbuh bersama. Namun, ia pergi, meninggalkanku layu tanpa air, membiarkanku menjadi sebatang pohon kering yang tak lagi berbuah.


Aku menunggu, dengan kesabaran yang sama seperti laut menanti perahu kembali. Namun, penantian itu sia-sia. Ombak hanya membawa kenangan, bukan dirinya. Aku tenggelam dalam gelombang kehilangan, berulang kali mencoba berenang, tapi tetap karam di dasar rasa sakit.


Pernah kubuka lagi hatiku, seperti jendela yang berharap angin segar masuk. Tapi yang datang hanyalah angin ribut, menghempaskanku pada dinding kenyataan bahwa cinta tidak pernah benar-benar ingin tinggal.


Aku mencoba mengobati luka, tapi semakin kusentuh, semakin perih ia terasa. Seperti kaca retak yang tak bisa kembali utuh, hatiku hanya bisa merekat dalam kepalsuan, menyembunyikan bekas luka di balik senyum yang tak lagi hangat.


Waktu berlalu, tapi tak ada yang berubah. Aku masih di tempat yang sama, berdiri di tengah reruntuhan perasaan yang tak bisa kubangun kembali. Aku tak lagi mengenali diriku sendiri, hanya bayangan yang berjalan tanpa tujuan, hanya tubuh tanpa jiwa yang masih bernafas.


Mereka berkata aku harus mencoba lagi, harus memberi cinta kesempatan lain. Tapi bagaimana bisa aku mencintai, jika hatiku telah menjadi tanah tandus yang bahkan hujan pun enggan menyentuhnya?


Aku semakin tenggelam dalam keheningan, seperti burung yang kehilangan suaranya. Aku tak lagi ingin bicara tentang cinta, karena setiap kata hanya membawa luka yang selama ini kusimpan dalam diam.


Malam-malam menjadi teman setia, menemaniku berbincang dengan bayangan di dinding. Aku bertanya pada mereka, apakah aku masih punya hati? Tapi tak ada jawaban, hanya keheningan yang menertawakanku.


Hingga pada akhirnya, aku berhenti berharap. Aku menyerah. Seperti lilin yang dibiarkan menyala di ruangan kosong, cahayaku perlahan redup, hingga akhirnya padam, meninggalkan kegelapan yang tak seorang pun peduli.


Dan saat itu, aku benar-benar mati. Bukan raga, tapi rasa. Aku telah mati rasa untuk mencintai, dan mungkin, selamanya aku akan tetap begitu.


Raja Ampat, 15 Februari 2025

CINTA YANG TERPAKSA, SEBAB DI PAKSA

 Cinta yang Terpaksa,Sebab Di Paksa

Karya : Pena_Lingga


Aku pernah percaya bahwa cinta bisa tumbuh, bahkan dari benih yang ditanam di tanah tandus. Aku mengira, kesabaran dan pengorbanan akan menyuburkannya, membuatnya berakar kuat, lalu berbuah bahagia. Tapi nyatanya, aku hanya menyirami duri yang perlahan menusuk jiwaku sendiri.


Kau datang membawa janji yang lebih manis dari madu, menjanjikan rumah tempat kita bernaung, keluarga yang akan kita bangun, dan bahagia yang kelak akan kita genggam. Katamu, cukup aku menunggu dengan setia, bekerja di negeri orang, menabung demi masa depan yang kita impikan.


Aku percaya, sepenuh hati. Aku bekerja siang dan malam, memeras keringat di negeri yang bukan tanah kelahiranku. Setiap upah yang kudapat, kuserahkan padamu tanpa ragu. Kupikir, inilah caraku mencintai, inilah pengorbanan yang harus kutanggung demi kita.


Tapi ternyata, aku bukan kekasihmu, hanya lumbung emas yang kau kuras perlahan. Kau tak pernah benar-benar menungguku, tak pernah sungguh-sungguh ingin menepati janji. Kau hanya ingin apa yang kuberikan, bukan aku sebagai manusia yang mencintaimu.


Dan saat aku pulang, bukan pelukan yang menyambutku, melainkan tanganmu yang terangkat tinggi. Kau jadikan tubuhku kanvas bagi amarahmu, kau lukiskan luka dengan pukulan yang tak pernah kuminta. Aku bertanya-tanya, sejak kapan cinta berubah menjadi derita?


Aku mencari jawaban dalam tatapanmu, tapi yang kutemukan hanya kehampaan. Mata yang dulu kupikir penuh kasih, kini lebih dingin dari batu nisan. Tak ada lagi janji pernikahan, tak ada lagi rencana masa depan. Yang tersisa hanya aku yang kau manfaatkan, hingga tak tersisa sepeser pun tabunganku.


Aku ingin pergi, tapi entah mengapa kaki ini terasa berat. Seakan rantai tak kasatmata masih membelengguku, mengingatkanku pada semua pengorbanan yang pernah kuberikan. Tapi untuk apa bertahan jika aku hanya menjadi bayang-bayang dari harapan yang tak pernah nyata?


Akhirnya, aku sadar bahwa cinta yang dipaksa tak akan pernah tumbuh menjadi kebahagiaan. Seperti bunga yang dipaksa mekar sebelum waktunya, ia hanya akan layu sebelum sempat bersinar. Aku harus melepaskan, bukan karena aku tak mencintai, tapi karena aku lebih mencintai diriku sendiri.


Aku pergi, bukan sebagai pecundang, tapi sebagai seseorang yang memilih untuk menyelamatkan dirinya sendiri. Aku telah memberikan segalanya, bahkan saat kau tak pernah menghargainya. Kini, waktuku untuk mengumpulkan kembali kepingan yang telah kau hancurkan.


Dan saat aku melangkah menjauh, aku berjanji pada diriku sendiri—aku tak akan lagi membiarkan cinta menjadi belenggu. Aku tak akan lagi menjadi tanah yang kau injak. Aku akan menjadi langit, luas dan tak tersentuh, tak lagi bisa kau kuasai.


Raja Ampat, 14 Februari 2025

AKU DI VONIS PATAH HATI PALING SEKARAT PART2

 Aku Di Vonis Patah Hati Paling Sekarat. Part2

Karya : Pena_Lingga


Aku divonis patah hati paling sekarat, dan dunia seakan merayakan kepergianku dengan sunyi. Seperti daun yang jatuh dari tangkainya, aku melayang tanpa arah, menunggu angin membawaku ke mana pun ia mau. Tak ada yang peduli apakah aku akan terhempas ke tanah yang lembut atau remuk di aspal kehidupan yang tak mengenal iba.


Luka ini menjelma samudra yang menenggelamkanku perlahan. Aku berenang, tapi gelombang kenangan terus menyeretku ke dasar. Nama dan suaramu bergema di antara riak-riak ingatan, memanggilku untuk kembali, padahal aku tahu, tak ada yang menungguku di sana selain kehampaan.


Kuhitung hari tanpa kehadiranmu, seperti seorang tahanan yang menghitung masa hukumannya. Tapi waktu bukan sekadar angka yang bisa kutandai, ia adalah belati yang menikam tanpa ampun. Setiap detik adalah pisau yang mengiris luka lama, memastikan ia tetap menganga, memastikan aku tak lupa bagaimana rasanya kehilangan.


Malam-malam panjang berubah menjadi ruang hampa yang dipenuhi bayanganmu. Aku berbicara kepada sepi, tapi sepi hanya membalas dengan gema perasaanku sendiri. Seakan-akan dinding kamar ini menyerap segala kesedihan, lalu melepaskannya kembali saat aku berusaha tidur.


Aku menulis namamu di udara, berharap angin bisa membawanya kembali kepadamu. Tapi angin bukan penyampai pesan yang setia, ia hanya meniupkan perih ke dalam relung hati yang sudah rapuh. Aku ingin berlari, menjauh dari jejak-jejak yang pernah kita tinggalkan bersama, tapi kakiku seakan ditanam dalam ingatan yang tak mau melepaskan.


Di tengah kehancuran ini, aku bertanya pada Tuhan, apakah mungkin cinta yang begitu besar berubah menjadi sesuatu yang begitu menyakitkan? Apakah aku yang salah, atau memang begitulah cara semesta mengajarkan manusia tentang kehilangan? Tapi tak ada jawaban, hanya sunyi yang semakin menyesakkan.


Aku mencoba membangun dinding di sekeliling hati, tapi kenanganmu datang seperti badai, merobohkan semuanya dengan mudah. Aku ingin membencimu, tapi bagaimana mungkin membenci seseorang yang pernah menjadi rumah bagi hatiku? Aku ingin melupakan, tapi kenanganmu terukir seperti tinta yang menolak pudar.


Waktu terus berjalan, tapi aku tetap terjebak di persimpangan antara merelakan dan berharap. Seperti burung dengan sayap terluka, aku tahu aku harus terbang, tapi langit terlalu jauh dan tanah terlalu dingin. Aku hanya bisa diam, menunggu luka ini menemukan cara untuk sembuh sendiri.


Mungkin suatu hari, aku akan melihatmu lagi tanpa merasakan sesak di dada. Mungkin suatu hari, namamu hanya akan menjadi bisikan samar yang tak lagi melukai. Mungkin suatu hari, aku akan belajar bahwa cinta sejati bukanlah tentang memiliki, tapi tentang melepaskan dengan hati yang utuh.


Namun untuk saat ini, aku masih di sini—meraba-raba cahaya di tengah gelap, belajar menerima bahwa patah hati bukanlah akhir dari segalanya. Meski perih, aku tahu, di balik luka ini ada sebuah pelajaran yang kelak akan mengajarkanku cara mencintai tanpa takut kehilangan.


Raja Ampat, 14 Februari 2025

Kamis, 13 Februari 2025

Senyum Terakhir Part2

 Senyum Terakhir Part 2

Karya : Pena_Lingga


Di hadapan nisan ini, aku berdiri dengan dada yang sesak. Angin berembus pelan, membawa wangi tanah basah yang bercampur dengan bunga yang mulai layu. Langit mendung seakan ikut berduka, menggantung berat di atas kepalaku. Aku ingin berbicara padamu, seperti dulu, tapi kini kau tak bisa lagi menjawab. Aku hanya bisa berbicara pada batu yang dingin, pada tanah yang telah menelan tubuhmu.


Kita pernah mengikrarkan janji di bawah rembulan, bersumpah bahwa takdir tak akan mampu memisahkan kita. Namun, ternyata takdir adalah tangan dingin yang mencengkeram tanpa ampun. Kau pergi lebih cepat dari yang bisa kupahami, meninggalkanku dalam kehampaan yang menggigil. Dunia yang dulu penuh warna kini berubah menjadi kelabu. Tanpa hadirmu, segalanya terasa hampa, seperti lukisan yang kehilangan nyawanya.


Aku mencarimu dalam setiap hembusan angin, dalam rintik hujan yang jatuh ke bumi, dalam bayang-bayang yang berkelebat di sudut mataku. Tapi kau tak ada di mana pun. Aku berharap ini hanya mimpi buruk, bahwa aku akan terbangun dan menemukanmu masih di sisiku. Namun kenyataan tidak sebaik itu—kau tetap tak ada, dan aku tetap sendiri.


Rasa sesal menggigit lebih dalam dari dinginnya angin sore. Seandainya aku bisa mengulang waktu, aku akan lebih lama menatap matamu, lebih erat menggenggam tanganmu, lebih banyak mengucapkan betapa aku mencintaimu. Tapi sekarang, semua itu tak ada artinya. Kata-kata yang seharusnya terucap kini hanya tersangkut dalam tenggorokan, berubah menjadi isak tertahan yang menyayat dada.


Orang-orang mengatakan aku harus merelakanmu, tapi bagaimana caranya? Bagaimana aku bisa melanjutkan hidup, sementara sebagian dari diriku telah terkubur bersamamu? Aku mencoba tersenyum, mencoba berdamai dengan kehilangan ini, tapi setiap kali aku mengingatmu, luka itu kembali menganga. Aku lelah, sayang. Lelah menjalani hari-hari yang terasa tak berarti tanpamu.


Aku bersimpuh di depan nisanmu, membiarkan jemariku menyentuh namamu yang terukir di batu. Hujan mulai turun, menyamarkan air mata yang kembali jatuh. Mungkin ini cara semesta menangis bersamaku, atau mungkin ini hanya kebetulan. Aku tidak peduli. Aku hanya ingin berada di sini sedikit lebih lama, berbicara denganmu meski aku tahu kau tak bisa mendengar.


Aku menutup mata, membiarkan kesedihan membawaku semakin dalam. Dalam hening, aku menyadari sesuatu—aku tidak ingin kembali ke dunia tanpa dirimu. Aku tidak ingin menjalani kehidupan yang terasa separuh. Perlahan, tanganku merogoh saku, jemariku menggenggam sesuatu yang dingin dan tajam.


Jika takdir telah merenggutmu dariku, maka aku akan menjemput takdirku sendiri. Aku akan menemuimu di tempat di mana kematian tak bisa lagi memisahkan kita. Ini bukan keputusan yang mudah, tapi ini satu-satunya jalan agar aku bisa bersamamu lagi.


Hujan semakin deras. Langit makin gelap. Dan dalam senyap, air mataku jatuh untuk terakhir kalinya.


Ruang Duka, 14 Februari 2025

--------Naskah yang terinspirasi dari Air Mata Terakhir karya Penyair Tanpa Nama-------

Senyum Terakhirmu

 Senyum Terakhirmu

Karya : Pena_Lingga & Penyair Tanpa Nama


Tuan: Bertahanlah, Puan... Aku mohon, jangan pergi. Aku tidak bisa membayangkan hari esok tanpa suaramu, tanpa tatapanmu, tanpa tanganmu yang selalu menggenggamku. Aku belum siap kehilanganmu, aku belum siap menghadapi dunia tanpa kehadiranmu di sisiku.


Puan: Tuan... Jangan menangis seperti itu. Air matamu membuatku semakin berat untuk pergi. Aku ingin melihatmu tetap tersenyum, seperti yang selalu kau lakukan saat menatapku penuh cinta. Aku ingin kau mengingatku bukan dengan kesedihan, tetapi dengan kenangan indah yang telah kita ukir bersama.


Tuan: Bagaimana mungkin aku bisa tersenyum jika kau tidak ada di sini? Bagaimana mungkin aku bisa menjalani hidup jika separuh jiwaku pergi meninggalkanku? Puan, aku butuh kau... Aku butuh kau di sini, bersamaku, selamanya.


Puan: Aku juga ingin tetap di sini, Tuan. Aku ingin menghabiskan lebih banyak waktu bersamamu, berbagi cerita, menatap langit bersama, tertawa tanpa beban... Tapi sepertinya, takdir sudah menentukan jalan yang berbeda untuk kita. Waktuku telah tiba, dan aku tidak bisa melawannya.


Tuan: Tidak! Jangan bicara seperti itu! Aku tidak peduli dengan takdir, aku tidak peduli dengan waktu, aku hanya ingin bersamamu lebih lama. Aku akan melakukan apa saja untuk mempertahankanmu, aku akan berjuang sekuat tenaga agar kau tetap di sini.


Puan: Tuan, tidak ada yang bisa melawan kehendak-Nya. Kita hanya manusia, kita tidak memiliki kuasa atas hidup dan mati. Aku tahu ini menyakitkan, aku tahu ini sulit, tapi kita tidak bisa terus menolak kenyataan.


Tuan: Kenyataan ini terlalu kejam. Kenyataan ini merenggut orang yang paling aku cintai. Bagaimana aku bisa menerima sesuatu yang menghancurkan hatiku? Bagaimana aku bisa melepasmu, sementara aku ingin menggenggammu lebih erat?


Puan: Hidup memang penuh dengan perpisahan, Tuan. Tidak ada yang abadi di dunia ini, kecuali cinta yang kita miliki. Meski ragaku akan pergi, percayalah, cintaku akan tetap tinggal bersamamu. Setiap kenangan yang kita lalui akan tetap hidup di dalam hatimu.


Tuan: Tapi aku ingin lebih dari sekadar kenangan, Puan. Aku ingin kau benar-benar ada, aku ingin bisa menyentuhmu, mendengar suaramu, melihat matamu bersinar saat kau tersenyum kepadaku. Aku tidak siap kehilangan semua itu.


Puan: Aku pun begitu, Tuan. Aku pun ingin tetap berada di sisimu, ingin menemanimu melewati hari-hari yang sulit, ingin menjadi pelindungmu seperti kau selalu melindungiku. Tapi... ada hal-hal yang tidak bisa kita kendalikan, dan inilah salah satunya.


Tuan: Aku belum siap. Aku belum siap kehilanganmu. Aku belum siap menghadapi malam-malam panjang tanpa suaramu, tanpa tanganmu menggenggamku. Aku takut, Puan... Aku takut sendirian tanpa dirimu.


Puan: Kau tidak akan sendirian, Tuan. Kau memiliki banyak orang yang mencintaimu, yang akan selalu ada untukmu. Dan meskipun aku tidak bisa lagi berada di sampingmu secara fisik, jiwaku akan selalu bersamamu. Aku janji.


Tuan: Itu tidak cukup. Aku ingin melihatmu tersenyum setiap pagi, mendengar suaramu memanggil namaku, merasakan kehangatan pelukanmu. Bagaimana aku bisa menjalani hari-hari tanpa semua itu?


Puan: Kau akan menemukan caranya, Tuan. Waktu akan mengajarkanmu bagaimana melangkah, bagaimana menerima, bagaimana menjalani hidup meskipun rasanya tak lagi sama. Aku percaya padamu, aku tahu kau bisa melewati ini.


Tuan: Tidak, Puan. Aku tidak sekuat itu. Aku tidak sekuat yang kau pikirkan. Aku rapuh, aku hancur, aku tidak tahu bagaimana caranya hidup tanpa kau di sisiku.


Puan: Kau lebih kuat dari yang kau kira, Tuan. Aku telah melihat keteguhan hatimu, aku tahu kau bisa melewati segala hal, bahkan kehilangan ini. Aku tidak ingin kau terpuruk dalam kesedihan. Aku ingin kau tetap melanjutkan hidupmu.


Tuan: Tapi hidup tanpa dirimu bukanlah hidup yang aku inginkan. Aku tidak ingin melanjutkan hidup dalam kehampaan, dalam kesunyian yang kau tinggalkan.


Puan: Jangan jadikan kepergianku sebagai alasan untuk berhenti hidup, Tuan. Aku ingin kau terus berjalan, terus melangkah, dan menemukan kebahagiaan, meskipun itu berarti aku hanya menjadi bagian dari masa lalu yang kau kenang.


Tuan: Aku tidak ingin kau menjadi masa lalu. Aku ingin kau tetap menjadi bagian dari masa depanku. Aku ingin kita tetap bersama, sampai akhir waktu.


Puan: Aku akan selalu menjadi bagian dari hidupmu, Tuan. Aku akan selalu ada di hatimu, dalam setiap langkah yang kau ambil, dalam setiap napas yang kau hirup. Aku tidak akan benar-benar pergi.


Tuan: Aku ingin menghentikan waktu, agar aku bisa bersamamu lebih lama. Aku ingin dunia berhenti berputar, agar aku bisa menikmati setiap detik bersamamu tanpa harus takut kehilangan.


Puan: Waktu tidak bisa dihentikan, Tuan. Tapi cinta kita, kenangan kita, semua yang telah kita lalui bersama... Itu akan selalu abadi. Itu tidak akan pernah hilang.


Tuan: Tapi aku ingin lebih dari sekadar kenangan... Aku ingin lebih dari sekadar ingatan. Aku ingin kau tetap di sini, bersamaku, selamanya.


Puan: Aku ingin itu juga, Tuan... Tapi mungkin ini adalah cara Tuhan mengajarkan kita tentang arti cinta yang sejati. Cinta bukan hanya tentang memiliki, tetapi juga tentang merelakan.


Tuan: Aku tidak bisa merelakanmu, Puan... Aku tidak bisa...


Puan: Suatu hari nanti, kau akan mengerti, Tuan. Suatu hari nanti, kau akan menemukan kedamaian dalam perpisahan ini. Aku ingin kau hidup dengan bahagia, bukan terjebak dalam kesedihan karena aku telah tiada.


Tuan: Aku tidak tahu bagaimana caranya... Aku tidak tahu bagaimana menjalani hari-hari tanpa hadirmu...


Puan: Kau akan menemukan jalannya, Tuan. Aku percaya padamu...


Tuan: Puan… jangan… jangan tinggalkan aku… Aku mohon…


Puan: Tuan... Aku mencintaimu... selalu...


Tuan: Puan...? Puan...? Tolong... Jangan pergi...


Ruang Duka, 13 Februari 2025

Rabu, 12 Februari 2025

MAAF, ADA HATI YANG HARUS AKU JAGA

 Maaf, Ada Hati Yang Harus Aku Jaga

Karya : Pena_Lingga


Maaf. Aku tahu kata itu tidak akan cukup untuk meredakan luka yang menganga di hatimu. Tapi aku tetap ingin mengucapkannya, meskipun mungkin terdengar sia-sia. Aku tidak pernah bermaksud menyakitimu, sungguh. Semua yang kita lalui bersama adalah seperti bunga yang tumbuh di musim semi, indah dan penuh warna, tapi kini harus layu karena takdir.


Aku harus menjaga hati yang lain. Aku tahu ini terdengar egois, tapi aku tidak bisa mengabaikan perasaan seseorang yang sudah lebih dulu ada sebelum kita bertemu. Aku tidak ingin menjadi angin yang merobohkan rumah yang telah kokoh berdiri. Dan untuk itu, aku harus mengorbankan perasaan kita.


Kau mungkin bertanya-tanya, mengapa aku membiarkan semuanya terjadi jika pada akhirnya aku akan memilih pergi? Aku pun bertanya hal yang sama pada diriku sendiri. Tapi perasaan itu datang begitu saja, seperti hujan yang turun tanpa bisa dicegah. Aku jatuh cinta padamu, meski aku tahu sejak awal bahwa ini salah. Aku terlambat menyadari bahwa semakin aku mencintaimu, semakin besar luka yang akan kutinggalkan.


Aku ingin menjelaskan semuanya, tapi aku takut kata-kataku hanya akan membuatmu semakin terluka. Aku ingin mengatakan bahwa kau berarti bagiku, lebih dari yang bisa kau bayangkan. Aku ingin memelukmu sekali lagi, memastikan bahwa kau baik-baik saja sebelum aku pergi. Tapi aku tahu, semakin lama aku di sini, semakin erat benang takdir mengikat perasaanku padamu.


Mungkin kau akan membenciku, dan aku tidak bisa menyalahkanmu. Aku pantas dibenci karena telah membuatmu berharap, hanya untuk menghancurkannya dalam sekejap. Aku pantas dianggap pengecut karena memilih pergi tanpa benar-benar bertarung untuk kita. Tapi percayalah, jika aku punya pilihan lain, aku ingin tetap tinggal.


Aku tidak akan meminta maaf berkali-kali karena aku tahu itu tidak akan mengubah apa pun. Aku hanya ingin kau tahu bahwa semua kenangan yang kita ciptakan akan tetap ada dalam ingatanku. Aku akan mengenang setiap tawa, setiap percakapan larut malam, setiap genggaman tangan yang pernah kita bagi. Aku akan mengingat semuanya, seperti bulan yang setia menemani malam meskipun tak bisa menyentuhnya.


Waktu akan berlalu, dan kau akan menemukan seseorang yang lebih baik dariku—seseorang yang bisa mencintaimu tanpa ragu, tanpa harus memilih antara dua hati. Aku berharap orang itu akan menjagamu lebih baik daripada yang bisa kulakukan. Aku berharap kau akan bahagia, meski itu berarti aku hanya akan menjadi daun kering yang tertiup angin kenangan.


Mungkin suatu hari nanti, jika takdir mempertemukan kita lagi, kita bisa tersenyum tanpa rasa sakit. Mungkin saat itu, aku bisa mengatakan betapa menyesalnya aku tanpa membuat air matamu jatuh. Mungkin saat itu, kau sudah melupakan luka yang kutinggalkan, dan aku bisa melihatmu bahagia tanpa beban.


Namun, hari itu masih terlalu jauh. Untuk sekarang, aku hanya bisa melangkah pergi, meninggalkanmu dengan luka yang kubuat. Aku hanya bisa berharap waktu akan menyembuhkan segalanya, meskipun aku tahu, beberapa luka memang diciptakan untuk tetap hidup dalam ingatan.


Dan pada akhirnya, aku hanya bisa berbisik dalam hati, "Maaf... aku mencintaimu, tapi aku harus pergi."


Raja Ampat, 13 Februari 2025

SATU HARI MENUJU VALENTINE

 Satu Hari Menuju Valentine

Karya : Pena_Lingga


Satu hari menuju Valentine. Seharusnya ini menjadi hari yang penuh warna, tapi bagiku, semuanya kelabu. Seharusnya aku sibuk memilih hadiah, mencari bunga, atau sekadar merencanakan makan malam bersamamu. Tapi kini, yang kulakukan hanyalah menatap langit-langit kamar, merasakan hampa yang menggigit seperti angin malam di bulan Februari.


Dunia di sekitarku terus berjalan. Toko-toko dihiasi warna merah muda, orang-orang tersenyum membawa bunga, dan lagu-lagu romantis terdengar di sudut-sudut kota. Namun bagiku, semua itu hanya pengingat bahwa kau telah menjadi senja yang tak akan kembali. Aku ingin menghindari semuanya, tapi ke mana pun aku pergi, cinta terasa seperti bayang-bayang yang mengejarku—mengingatkan bahwa aku kini hanya sendiri.


Aku masih ingat Valentine terakhir kita. Kau tertawa saat aku memberimu cokelat dengan kartu berisi puisi konyol. Katamu, "Tak perlu sesuatu yang mahal, cukup kita ada untuk satu sama lain." Aku tak pernah tahu bahwa itu akan menjadi yang terakhir. Seandainya aku tahu, aku akan lebih lama menatapmu, lebih erat menggenggammu, lebih banyak mengabadikan tawamu sebelum waktu merenggutmu dariku.


Sejak kepergianmu, hari-hari spesial kehilangan maknanya. Aku tak tahu bagaimana cara merayakan sesuatu yang kini terasa hampa. Aku ingin mengirimi pesan seperti dulu, sekadar berkata, "Selamat Hari Kasih Sayang, Sayang." Tapi bahkan nomor itu kini tak lebih dari pintu yang terkunci—tak lagi bisa menerima pesan dariku. Semesta benar-benar telah menutup aksesku untuk mencintaimu seperti dulu.


Orang-orang berkata waktu akan menyembuhkan, tapi aku mulai ragu. Waktu bukanlah tabib yang bisa menyembuhkan luka ini, ia hanya menumpuk debu di atas kenangan, membuatnya samar namun tak pernah benar-benar hilang. Aku masih berharap kau datang dalam mimpi, sekadar membawa kehangatan yang tak bisa kurasakan lagi di dunia nyata. Aku ingin percaya kau ada di sana, di tempat yang lebih damai, tersenyum melihatku dari kejauhan.


Esok, di Hari Kasih Sayang, aku mungkin hanya akan mengunjungi tempat peristirahatanmu, membawa bunga yang dulu kau suka, dan bercerita seolah-olah kau masih di sini. Meski tak ada jawaban, aku ingin kau tahu bahwa aku masih mencintaimu, masih merindukanmu, masih menunggu dalam doa yang mungkin tak akan pernah terkabul.


Selamat Hari Kasih Sayang, Sayang… di tempatmu yang jauh. Jika cinta sejati memang tak mengenal batas, maka aku yakin, kau masih bisa merasakannya, meski aku tak lagi bisa menyentuhmu.


Raja Ampat, 13 Januari 2025

SILARIANG

 Dialog : Silariang

Karya : Pena_Lingga



Tuan:

"Puan, katakan padaku… sampai kapan kita harus begini? Bersembunyi dalam bayang-bayang, berpura-pura tak saling mencintai di hadapan dunia? Aku lelah, Puan. Lelah menahan rindu yang tak boleh diungkapkan, lelah menjalani hidup yang seolah-olah kau bukan bagian darinya. Aku tidak ingin terus begini. Aku ingin kita pergi, Puan. Aku ingin kita memiliki kehidupan yang tidak ditentukan oleh mereka yang bahkan tak tahu bagaimana rasanya mencintai sepertiku mencintaimu."


Puan:

"(Menunduk, suara bergetar) Tuan… jangan berkata seperti itu. Jangan buat hatiku semakin lemah. Aku tahu perasaanmu, aku merasakannya juga, tapi kau dan aku… kita lahir di dunia yang tidak mengizinkan kita bersama. Apa yang bisa kita lakukan selain menerima? Jika kita pergi, Tuan, kita akan kehilangan segalanya. Aku akan kehilangan keluargaku, dan kau akan kehilangan kehormatan yang kau jaga sejak kecil. Aku tidak sanggup melihatmu menderita karenaku."


Tuan:

"Jika aku tetap di sini tanpamu, itu adalah penderitaan yang lebih besar, Puan. Kehormatan? Apa artinya kehormatan jika aku harus hidup tanpa orang yang kucintai? Apa gunanya nama besar jika hatiku kosong? Aku lebih memilih menjadi seorang lelaki tanpa nama, tanpa gelar, tanpa rumah… daripada hidup nyaman dalam kebohongan. Kau adalah rumahku, Puan. Jika aku harus pergi meninggalkan segalanya, aku tidak peduli, asal kau bersamaku."


Puan:

"(Menangis, menatap Tuan dengan mata berkaca-kaca) Tapi bagaimana dengan keluargaku, Tuan? Bagaimana dengan ayah dan ibu yang telah membesarkanku? Aku tidak bisa meninggalkan mereka begitu saja. Aku tidak bisa membayangkan wajah ibuku saat dia menyadari aku pergi. Aku tidak bisa membayangkan ayahku mengutuk namaku seumur hidupnya. Aku mencintaimu, Tuan… tapi cinta ini datang dengan harga yang terlalu besar."


Tuan:

"(Menghela napas panjang, menggenggam tangan Puan erat) Aku tahu, Puan. Aku tahu ini bukan keputusan yang mudah. Tapi aku mohon, lihatlah aku… lihatlah mataku dan katakan, apa kau bahagia di sini? Apa kau bisa menjalani hidupmu tanpa merasa ada sesuatu yang hilang? Apa kau bisa menikah dengan orang yang mereka pilih untukmu, lalu melupakanku begitu saja?"


Puan:

"(Menggelengkan kepala, air mata jatuh) Tidak, Tuan… aku tidak bisa. Aku tidak bisa hidup tanpa mencintaimu. Aku tidak bisa membayangkan diriku berada di samping orang lain selain dirimu. Tapi aku takut… aku takut kita akan menyesal di kemudian hari. Aku takut suatu saat aku menatap wajahmu dan melihat kesedihan di sana, melihat bahwa kau kehilangan lebih dari yang kau duga."


Tuan:

"(Menyentuh wajah Puan dengan lembut) Aku tidak akan pernah menyesali keputusanku, Puan. Aku memilihmu dengan sepenuh hati, dan aku akan terus memilihmu, setiap hari, sampai akhir hidupku. Aku tidak butuh apa pun selain kau di sisiku. Aku lebih memilih hidup sulit bersamamu daripada hidup nyaman tanpa dirimu. Jangan takut, Puan… jika kita bersama, kita bisa melewati semuanya."


Puan:

"(Terisak, menggenggam tangan Tuan semakin erat) Tapi dunia tidak akan membiarkan kita bahagia, Tuan. Mereka akan mencemooh kita, mengejar kita, mengutuk kita. Kita akan menjadi nama yang disebut dengan kebencian. Bagaimana kita bisa hidup dengan itu?"


Tuan:

"(Menatap Puan dengan penuh keyakinan) Dunia boleh membenci kita, tapi selama kau di sisiku, aku tidak peduli. Kita bisa pergi ke tempat di mana tidak ada yang mengenal kita. Kita bisa memulai segalanya dari awal, membangun hidup dengan cara kita sendiri. Aku tidak takut, Puan. Satu-satunya yang kutakutkan adalah kehilanganmu."


Puan:

"(Menutup wajah dengan kedua tangan, suaranya bergetar) Tuan… bagaimana jika kita salah? Bagaimana jika semua ini hanya akan membawa kita pada penderitaan yang lebih besar?"


Tuan:

"(Mengangkat dagu Puan, menatapnya dalam-dalam) Jika mencintaimu adalah sebuah kesalahan, maka aku rela menghabiskan hidupku dalam kesalahan itu. Aku tidak peduli, Puan. Aku tidak peduli pada dunia, pada adat, pada siapa pun yang menentang kita. Aku hanya peduli padamu. Aku hanya ingin kau percaya padaku."


Puan:

"(Terdiam lama, lalu menghela napas panjang) Jika aku pergi bersamamu, Tuan… berjanjilah padaku, kau tidak akan pernah meninggalkanku, tidak peduli seberapa sulit hidup kita nanti."


Tuan:

"(Menggenggam tangan Puan erat-erat) Aku bersumpah, Puan. Aku akan tetap di sisimu, aku akan melindungimu, mencintaimu, dan tidak akan pernah melepaskanmu, apa pun yang terjadi."


Puan:

"(Menghapus air matanya, mencoba tersenyum meski hatinya masih diliputi ketakutan) Aku ingin percaya padamu, Tuan. Aku ingin percaya bahwa kita bisa melewati ini bersama."


Tuan:

"Kita pasti bisa, Puan. Kita pasti bisa."


Puan:

"(Menatap Tuan dengan mata penuh air mata, tetapi kali ini ada sedikit keyakinan di sana) Kalau begitu… ayo pergi, Tuan. Sebelum hatiku berubah… sebelum aku kehilangan keberanian untuk memilihmu."


Tuan:

"(Tersenyum kecil meski air mata juga menggenang di matanya) Kita akan pergi, Puan. Kita akan meninggalkan segalanya di belakang dan berjalan ke arah yang mungkin gelap dan penuh duri. Tapi aku percaya… selama kita bersama, kita akan menemukan cahaya di ujungnya."


Puan:

"(Menggenggam tangan Tuan erat-erat) Jangan lepaskan aku, Tuan…"


Tuan:

"(Mengecup jemari Puan dengan lembut) Aku bersumpah, Puan. Aku akan menggenggam tanganmu sampai akhir… bahkan jika dunia menolak kita."


Raja Ampat, 13 Februari 2025


---- Menolak keras Bs Minang ----

Gunakan 

kreativitas dengan memahami naskah untuk mencocokkan instrumen.


MENGHISAP SEBATANG ROKOK

 MENGHISAP SEBATANG ROKOK

Karya : Pena_Lingga


Kusulut api di ujung tembakau,

bara kecil menyala pelan.

Seperti luka yang tak lekas sembuh,

tapi terus saja dibiarkan.


Asap melayang ke langit malam,

membentuk jejak yang tak bertahan.

Seperti doa yang sering kupanjatkan,

namun tak pernah sampai ke tujuan.


Kuhisap dalam, nikmat dan pedih,

melintasi tenggorokan yang letih.

Seperti kata-kata yang kutelan,

tanpa pernah sempat terucap lagi.


Di sudut bibir, getir tertinggal,

seperti kenangan yang menolak pudar.

Aku tertawa, aku terbatuk,

entah karena asap atau luka yang mengendap.


Kita semua adalah sebatang rokok,

dibakar oleh waktu, dihisap oleh nasib.

Habis perlahan dalam keheningan,

menjadi abu tanpa tanda.


Aku menatap puntung yang hampir padam,

serpihan arang gugur ke meja.

Seperti cinta yang dulu menyala,

tapi kini hanya sisa cerita.


Aku menghisapnya sekali lagi,

mencari hangat dalam dingin malam.

Tapi yang kudapat hanya kehampaan,

dan napas yang terasa semakin sesak.


Orang-orang lalu lalang di jalan,

menghidupkan api mereka sendiri.

Ada yang terbakar terlalu cepat,

ada yang habis tanpa sempat dinikmati.


Tak ada yang abadi,

bahkan asap pun hilang tak berbekas.

Seperti nama-nama yang dulu agung,

tapi kini lenyap ditelan zaman.


Kusulut rokokku yang terakhir,

menghisapnya perlahan tanpa tergesa.

Sebab hidup bukan soal cepat atau lambat,

melainkan tentang bagaimana kita terbakar.


Raja Ampat, 12 Februari 2025


---------


Puisi Menghisap Sebatang Rokok ini bisa dikategorikan sebagai satire eksistensial atau satire sosial.


1. Satire Eksistensial → Puisi ini menggambarkan kehidupan manusia dengan analogi rokok: dinyalakan, dihisap, lalu dibuang. Ini sindiran halus terhadap kefanaan hidup dan absurditas eksistensi manusia yang terkadang terasa sia-sia.



2. Satire Sosial → Ada kritik tersirat terhadap janji-janji kosong, doa yang tak terkabul, serta bagaimana manusia "terbakar" oleh waktu dan keadaan, layaknya rokok yang habis tak bersisa.




Secara keseluruhan, puisi ini bukan hanya refleksi pribadi, tetapi juga sindiran terhadap pola hidup manusia yang kadang mengulangi kesalahan yang sama 

tanpa sadar.


Naskah ini terinspirasi dari judul karya Ws.Rendra.


PERANG CARUK DAN PANAH

 Perang Caruk dan Panah

( Satire )

Karya : Andi irwan


Di tanah air yang luas terbentang,

Celurit berkilat, panah melayang.

Dua saudara saling menyerang,

Lupa ada musuh di bayang-bayang.


Yang satu bangga jantan bertarung,

Yang lain teguh tak mudah murung.

Tapi apa arti harga diri,

Jika perut kosong tiap hari?


Mereka bertarung soal kehormatan,

Tapi tak punya kuasa di pemerintahan.

Yang duduk di atas diam tertawa,

Menonton perang sambil minum soda.


Tanah mereka luas terbuka,

Penuh emas dan hasil hutan.

Namun mereka sibuk bertikai,

Sementara kapal datang diam-diam.


Satu mencabut celurit tajam,

Yang lain menarik busur ke depan.

Tapi siapa yang betul menang,

Jika tanah esok bukan lagi milik mereka?


Mereka diajari bahwa berbeda,

Lalu diadu agar saling luka.

Sementara yang berjas dan berdasi,

Mengatur jual beli negeri.


Keringat mengucur, darah menetes,

Celurit dan panah mencari sasaran.

Namun mereka lupa satu hal,

Yang menjarah tak pernah terlihat.


Mereka bilang ini soal harga diri,

Lalu kenapa hasil bumi mereka lari?

Kenapa anak-anak tetap miskin,

Sedang kota-kota makin megah?


Mereka pikir ini tentang keberanian,

Tapi lupa soal kelicikan.

Karena musuh yang sesungguhnya,

Tak datang membawa senjata.


Dia datang dengan senyum manis,

Tanda tangan di atas kertas.

Sekali cap, sekali stempel,

Tanah berpindah tanpa pertumpahan darah.


Celurit dan panah akhirnya diam,

Setelah tanah sudah bukan milik tuan.

Mereka baru sadar, tapi terlambat,

Yang mereka lawan cuma sesama.


Dulu tanah subur hijau membentang,

Sekarang aspal dan beton berdiri tegak.

Dulu mereka penguasa ladang,

Sekarang cuma jadi buruh lelah.


Mereka bisa bertarung semalam suntuk,

Tapi tak bisa menawar harga cengkeh.

Mereka bisa berdarah demi gengsi,

Tapi tak bisa mempertahankan tanah sendiri.


Yang di atas tak butuh celurit,

Tak perlu juga panah melesat.

Cukup rencana rapi dan licik,

Biar mereka berperang sendiri.


Orang pintar tak perlu berkelahi,

Cukup biarkan rakyatnya sendiri.

Dibuat sibuk dengan ego buta,

Sementara hasil bumi berpindah nama.


Sampai kapan mereka sadar?

Sampai tanah benar-benar tandus?

Atau saat hanya tersisa kenangan,

Bahwa dulu mereka pernah punya negeri?


Sejarah terlalu sering berulang,

Tapi manusia tetap pelupa.

Dibuat percaya musuhnya saudara,

Agar tak sempat menoleh ke atas.


Mungkin nanti mereka mengerti,

Bahwa yang perlu dilawan bukan diri sendiri.

Tapi mereka yang tak terlihat,

Yang datang membawa janji manis.


Mungkin kelak celurit berkarat,

Panah usang di sudut rumah.

Karena mereka akhirnya sadar,

Bahwa musuhnya bukan saudara.


Tapi apakah saat itu tiba,

Tanah masih ada untuk mereka?

Atau hanya tersisa dongeng tua,

Bahwa dulu mereka pernah berjaya?


Sorong, 12 Februari 2025

Selasa, 11 Februari 2025

BIARKAN AKU DENGAN PERASAANKU

 "Biarkan Aku dengan Perasaanku"

Karya : Pena_Lingga


Aku tidak ingin memilikimu lagi, tapi aku juga tidak ingin dipaksa melupakan. Perasaan ini bukan sesuatu yang bisa kuatur sesuka hati, bukan tombol yang bisa kutekan untuk berhenti bekerja. Aku hanya ingin membiarkan rasa ini tetap ada, sampai ia sendiri lelah dan memilih pergi.


Aku yang meminta pergi, aku yang melepaskan genggaman. Bukan karena aku berhenti mencintai, tapi karena aku tidak ingin menjadi alasanmu kehilangan banyak hal dalam hidup. Aku melihatmu mengorbankan banyak hal untukku—waktu tidurmu, pekerjaanmu, bahkan waktu untuk anakmu. Aku tidak ingin menjadi beban yang membebanimu lebih dari yang seharusnya.


Tapi ternyata, melepaskan tidak pernah semudah itu. Aku pikir dengan berpisah, perasaan ini akan ikut pergi bersamamu. Nyatanya, justru sebaliknya. Bayanganmu semakin nyata, suaramu masih terngiang, dan aku masih mengingat hal-hal kecil tentangmu yang dulu membuatku jatuh cinta.


Aku mencoba segala cara untuk melupakan. Aku menghapus nomor dan fotomu, meng-unfollow akunmu, bahkan menyingkirkan semua jejak tentangmu. Tapi rupanya, yang sulit bukanlah menghapus keberadaanmu di luar sana, melainkan menghapusmu dari dalam diriku.


Terakhir kali kita berbicara, kau memintaku berhenti menyakiti diri sendiri. Kau bilang aku berhak bahagia, bahkan jika bukan bersamamu. Kau ingin aku membuka hati untuk orang lain, tapi bagaimana bisa? Hatiku masih penuh dengan kenangan tentangmu.


Aku tidak ingin kembali, aku tidak ingin mengganggu bahagiamu yang baru. Aku hanya ingin mengakui bahwa aku masih merasakan ini, tanpa perlu merasa bersalah. Aku hanya ingin diizinkan mencintaimu dalam diam, tanpa harus ditegur oleh waktu yang terus memaksaku untuk "move on."


Banyak yang bilang waktu akan menyembuhkan, tapi waktu hanya mengajarkanku satu hal: beberapa cinta memang tidak ditakdirkan untuk dilupakan dengan mudah. Beberapa rasa perlu dibiarkan tinggal, sampai ia sendiri menemukan jalannya untuk pergi.


Aku tidak tahu sampai kapan ini akan bertahan. Aku tidak tahu apakah besok atau lusa aku masih akan merindukanmu seperti ini. Yang kutahu, aku tidak ingin memaksa. Aku tidak ingin melawan. Biarkan saja rasa ini ada, sampai ia bosan dan akhirnya memudar.


Mungkin suatu hari nanti, aku akan melihatmu lagi. Mungkin saat itu, aku tidak lagi merasakan apa-apa. Mungkin saat itu, aku sudah bisa tersenyum tanpa ada getir di dadaku. Aku ingin percaya bahwa hari itu akan datang, meski sekarang aku belum tahu kapan.


Jadi untuk saat ini, biarkan aku dengan perasaanku. Biarkan aku merasakan ini, bukan untuk selamanya, tapi sampai aku sendiri siap melepaskannya.


Raja Ampat, 12 Februari 2025

Sabtu, 08 Februari 2025

PESAN TERAKHIR

 Pesan Terakhir 

Karya : Pena_Lingga


Di kamar yang sepi, aku duduk sendiri. Hanya lagu Pesan Terakhir dari Lyodra yang mengisi keheningan. Suaranya mengalun lembut, membentuk gema di dalam kepalaku, menemani pikiranku yang terus melayang ke masa lalu. Aku mendengarkan tanpa benar-benar memperhatikan, mengira ini hanya lagu biasa yang kebetulan terputar.


Namun, semakin lama, setiap liriknya terasa begitu dekat. Kata demi kata seperti berbicara langsung padaku, mengingatkan pada sesuatu yang pernah ada, tapi kini telah pergi. Aku menutup mata, membiarkan melodi itu menarikku ke dalam pusaran kenangan yang selama ini coba kuhindari.


Aku baru sadar, ini adalah ceritaku. Lagu ini bukan hanya tentang perpisahan dalam liriknya, tapi juga tentang perpisahan yang belum sempat terucap dalam hidupku. Perpisahan yang tidak memiliki akhir yang jelas, seolah waktu hanya mencabiknya perlahan hingga lenyap tanpa jejak.


Aku masih ingat hari itu, hari terakhir aku melihatnya. Tidak ada perpisahan resmi, tidak ada kata-kata selamat tinggal. Hanya keheningan yang menggantung di antara kami, seolah semesta enggan memberikan kesempatan terakhir untuk mengungkapkan segalanya.


Seandainya aku tahu itu adalah pertemuan terakhir kami, mungkin aku akan mengatakan betapa aku tidak siap kehilangan. Mungkin aku akan memeluknya lebih erat, menahannya lebih lama. Tapi kenyataannya, aku hanya diam. Dan ketika akhirnya dia pergi, aku bahkan tidak menyadari bahwa itu adalah akhir dari segalanya.


Waktu berlalu, tapi kesedihan ini tidak. Aku masih mencari-cari dirinya dalam bayangan, dalam suara-suara asing yang samar-samar terdengar seperti miliknya. Aku masih berharap dia akan kembali, meski aku tahu harapan itu sia-sia.


Aku menghela napas, menatap ponselku yang masih memutar lagu yang sama. Aku ingin menghentikannya, tapi jari-jariku enggan bergerak. Seolah lagu ini adalah satu-satunya cara untuk tetap terhubung dengannya, meski hanya dalam ilusi.


Aku tahu, pada akhirnya, dia tidak akan kembali. Tidak peduli seberapa lama aku menunggu, seberapa sering aku mendengarkan lagu ini. Kenangan tentangnya hanya akan semakin memudar, dan aku hanya akan menjadi seseorang yang tertinggal di masa lalu, menggenggam sesuatu yang seharusnya sudah kulepaskan.


Malam semakin larut. Kamar tetap sunyi, lagu masih berputar, dan aku tetap di sini—terjebak dalam kesedihan yang tidak bisa kuhapus. Mungkin, seperti lagu ini, aku akan terus mengulang kisah yang sama, tanpa akhir yang benar-benar baru.


Aku menutup mata, membiarkan air mata mengalir tanpa suara. Tidak ada yang bisa kulakukan selain menerima bahwa beberapa kehilangan memang diciptakan untuk selamanya.


Raja Ampat, 09 Februari 2025

Jumat, 07 Februari 2025

AYAH, LIHATLAH ANAK BUNGSUMU

 ( Prosais )

Ayah, Lihatlah Anak Bungsumu

Karya : Pena_Lingga


Ayah, aku masih di sini, duduk di bangku tua tempat kita biasa menghabiskan sore. Bangku ini masih sama, kayunya mulai lapuk, catnya mengelupas, dan di permukaannya ada bekas coretan kita dulu. Dulu, kau selalu di sisiku, menepuk bahuku, berkata bahwa dunia ini tak sekeras yang kupikirkan. Tapi kini, hanya ada sunyi yang menemani. Aku menatap langit, berharap kau muncul dari balik awan, tersenyum seperti dulu, mengatakan bahwa semuanya akan baik-baik saja. Tapi yang kudapat hanya angin dingin yang membawa kenangan—tentang suaramu, tentang tawa kecilmu, tentang pelukan yang kini tak bisa kuraih lagi.


Aku masih ingin menjadi anak kecilmu, bungsumu yang selalu berlindung di balik punggungmu. Aku masih ingat bagaimana kau menggenggam tanganku saat aku takut menyeberang jalan. Tapi dunia terlalu cepat merenggutmu, meninggalkanku dengan rindu yang tak tahu ke mana harus berpulang. Aku ingin bertanya banyak hal, ingin mendengar suaramu sekali lagi, tapi kini aku hanya bisa berbicara pada nisan yang diam. Malam ini, aku berbisik pada bintang-bintang, berharap kau mendengar dari tempatmu yang jauh. Ayah, aku rindu. Aku masih di sini, tapi tanpamu, aku kehilangan arah.


Ada begitu banyak hal yang ingin kuceritakan padamu. Tentang hari-hariku yang semakin sunyi, tentang mimpi-mimpi yang dulu kau dukung dengan sepenuh hati. Aku ingin bercerita bagaimana aku mencoba menjadi kuat seperti yang selalu kau ajarkan. Tapi, Ayah, apakah aku benar-benar kuat? Atau aku hanya berpura-pura baik-baik saja di depan semua orang? Karena ketika malam datang, rindu ini menjelma luka yang tak kunjung sembuh.


Sering kali aku berharap waktu bisa berputar kembali, membawa kita ke sore yang sederhana—sore di mana kita hanya duduk berdampingan, membicarakan hal-hal kecil yang tak pernah terasa sepele. Aku ingin sekali lagi mendengar suaramu menyebut namaku, melihat senyummu yang penuh ketulusan. Tapi kini, satu-satunya tempat di mana aku bisa menemukanmu adalah dalam kenangan, dan kenangan itu terasa semakin jauh setiap harinya.


Orang-orang berkata waktu akan menyembuhkan segalanya. Tapi bagaimana mungkin waktu bisa menyembuhkan sesuatu yang terus tumbuh? Rinduku padamu, Ayah, bukan sesuatu yang bisa dihapus oleh waktu. Ia justru semakin dalam, semakin luas, seperti samudra yang tak bertepi. Setiap kali aku mencoba melangkah maju, kenangan akanmu menarikku kembali. Aku terjebak dalam ingatan, dalam suara-suara yang hanya bergema di dalam kepala.


Malam ini, aku memejamkan mata, membayangkan kau di sisiku, seperti dulu. Kau menepuk bahuku, berkata dengan suara lembutmu bahwa aku harus kuat, bahwa hidup harus terus berjalan. Aku ingin mempercayai kata-kata itu, ingin benar-benar merasa bahwa semuanya akan baik-baik saja. Tapi bagaimana bisa? Jika kepergianmu meninggalkan ruang kosong yang tak bisa diisi oleh siapa pun?


Aku berjalan perlahan menuju pusaramu, membawa bunga kesukaanmu. Jemariku menyentuh batu nisan dingin itu, mencoba merasakan kehangatan yang dulu selalu kau berikan. Angin malam berhembus pelan, seakan membisikkan sesuatu yang tak bisa kupahami. Aku menarik napas dalam, menahan air mata yang sudah menggantung di sudut mata. "Ayah, apakah kau mendengar aku?" tanyaku, meski aku tahu tak akan ada jawaban.


Langit malam bertabur bintang, dan aku memilih salah satunya, menganggapnya sebagai tempat di mana kau berada. Aku percaya kau masih di sana, mengawasiku, menjaga langkahku meski tak lagi bisa kugenggam. Aku ingin percaya bahwa kau masih mendengar doaku, masih bisa merasakan rinduku yang tak pernah surut.


Mungkin aku tak akan pernah benar-benar terbiasa dengan kehilangan ini, tapi aku akan belajar berdamai. Aku akan belajar menjalani hari-hari tanpamu, tanpa berharap waktu berbalik arah. Aku akan menyimpan namamu dalam doa-doaku, dalam setiap langkah yang kuambil. Karena meskipun kau telah pergi, cintamu akan selalu ada, abadi dalam hatiku.


Ayah, aku masih di sini. Duduk di bangku tua ini, dengan rindu yang tak pernah berkurang. Aku tak tahu apakah waktu akan membawaku pada jawaban, tapi satu hal yang pasti: aku akan selalu mencarimu di setiap hembusan angin, di setiap bintang yang berkelip, di setiap mimpi yang datang saat aku terlelap.


Raja Ampat, 07 Februari 2025

SUARA DI ANTARA KITA

 [ Prosais ]

Suara Di Antara Kita ( Kita Hanya Virtual )

Karya : Pena_Lingga


Aku tidak pernah menyangka bahwa suara seseorang bisa begitu menghangatkan. Di balik layar ponsel, kau selalu hadir dalam bentuk kata-kata dan nada yang menenangkan. Kita tidak pernah bertemu, tidak pernah saling menatap secara nyata, tapi setiap malam kau bercerita, dan aku mendengarkan. Suaramu adalah rumah bagi rinduku yang tak pernah kumengerti asalnya.


"Apa yang kau lakukan hari ini?" tanyamu suatu malam. Aku tersenyum kecil sebelum menjawab, seolah kau benar-benar ada di hadapanku. Kita bercerita tentang hal-hal sederhana—tentang hujan yang turun di kotaku, tentang kopi yang kau teguk di sore hari. Aku bisa membayangkan ekspresi wajahmu, meski aku tidak tahu seperti apa rupa aslimu.


Perkenalan kita terjadi begitu saja. Sebuah aplikasi mempertemukan kita di satu ruang obrolan suara, tempat orang-orang asing berbincang tanpa perlu memperlihatkan wajah. Aku ingat bagaimana pertama kali aku mendengar suaramu—tenang, dalam, dan mengundang. Sejak saat itu, aku selalu menantikan notifikasi darimu.


"Apa kau percaya bahwa seseorang bisa jatuh cinta hanya dengan mendengar suara?" tanyaku iseng suatu malam. Ada jeda sebelum kau menjawab, lalu kau tertawa kecil. "Mungkin bukan hanya suara, tapi bagaimana cara seseorang bercerita," katamu.


Setiap malam, kita mengukir kisah dalam percakapan yang tak pernah kehabisan topik. Kau tahu segala kebiasaanku, seperti bagaimana aku selalu menguap setiap pukul sepuluh malam, atau bagaimana aku senang mendengar lagu-lagu lama sebelum tidur. Aku tahu bahwa kau suka berbicara sambil berjalan-jalan di balkon, menikmati angin malam yang menerpa kulitmu.


Namun, sekuat apa pun kedekatan yang kita rasakan, ada batas yang tak bisa kita langkahi. Kita hanya suara di dunia satu sama lain. Kita tak bisa merasakan sentuhan, tak bisa melihat ekspresi nyata saat tertawa atau terdiam. Kita hanya bisa menebak-nebak, dan itu kadang terasa menyakitkan.


"Apa kau ingin kita bertemu?" tanyaku suatu hari. Lama kau terdiam, sebelum akhirnya menjawab, "Aku takut." Aku mengerti maksudmu. Takut bahwa dunia nyata tidak seindah percakapan kita. Takut bahwa kenyataan akan merusak apa yang telah kita bangun dalam gelap.


Aku ingin mengatakan bahwa perasaan ini nyata, meski tanpa tatap. Bahwa setiap detik yang kita habiskan untuk berbincang bukan sekadar kebiasaan, tetapi kebutuhan. Namun, aku juga tahu, ada kemungkinan bahwa kau hanya nyaman di balik suara. Nyaman tanpa perlu menghadapi kenyataan yang mungkin berbeda dari bayangan kita.


Pada akhirnya, kita tetap seperti ini. Aku masih menunggu suaramu setiap malam, masih tersenyum setiap kali kau tertawa, masih merasakan debaran yang sama meski tanpa genggaman. Kita mungkin tidak akan pernah bertemu, mungkin hanya akan menjadi kisah yang hidup di dalam suara.


Tapi jika suatu saat aku kehilanganmu, aku ingin percaya bahwa setidaknya, di suatu malam, suaramu pernah menjadi bagian dari hidupku.


Raja Ampat, 07 Februari 2025

Selasa, 04 Februari 2025

AKU INGIN PULANG

 AKU INGIN PULANG

Karya : Pena_Lingga


Aku ingin pulang. Tapi entah rumah yang mana. Setiap sudut yang dulu terasa hangat kini asing. Setiap jalan yang pernah kukenal kini membingungkan. Aku berdiri di persimpangan, bertanya-tanya, ke mana kaki ini seharusnya melangkah.


Aku pernah percaya bahwa rumah adalah tempat di mana aku dilahirkan. Namun, saat aku kembali, semuanya telah berubah. Dinding-dindingnya tetap berdiri, tapi rasanya kosong. Suara tawa yang dulu memenuhi ruangan kini hanya gema samar dalam ingatan. Apakah ini masih bisa disebut rumah?


Mungkin rumah bukan sekadar bangunan dengan atap dan dinding. Mungkin rumah adalah seseorang—atau beberapa orang—yang membuat kita merasa utuh. Namun, jika begitu, bagaimana jika orang-orang itu telah pergi? Apakah itu berarti rumah pun menghilang?


Aku mencoba mencari rumah dalam kenangan. Kembali ke masa-masa di mana aku merasa diterima, dicintai, dan tidak tersesat. Tapi kenangan hanya bayangan. Semakin kucoba meraihnya, semakin ia menjauh. Seperti ombak yang menelan jejak kaki di pasir, ia menghapus kehangatan yang dulu ada.


Aku melangkah ke kota lain, mencari rumah dalam wajah-wajah baru. Aku berbicara dengan banyak orang, mencoba membangun kembali kehangatan yang hilang. Namun, ada yang selalu kurang. Ada ruang kosong di dalam dada yang tak bisa terisi, sekeras apa pun aku berusaha.


Barangkali rumah bukan tempat yang bisa ditemukan, melainkan sesuatu yang kita bangun. Sesuatu yang tumbuh di antara perbincangan panjang, dalam keheningan yang nyaman, di balik pelukan yang tidak ingin dilepaskan. Tapi bagaimana jika aku tidak tahu di mana harus mulai membangunnya kembali?


Aku bertanya pada langit malam, pada angin yang berembus pelan. Di mana rumahku sebenarnya? Apakah ia masih ada, atau hanya ilusi yang kuciptakan sendiri? Namun, langit tetap diam, dan angin hanya berlalu tanpa jawaban.


Mungkin aku telah kehilangan rumah karena aku juga telah kehilangan diriku sendiri. Aku terlalu sibuk mencari tempat untuk pulang, sampai lupa bahwa rumah sejati ada di dalam diri. Aku harus menemukannya di sana sebelum mencarinya di tempat lain.


Jadi, aku akan berhenti mencari di luar. Aku akan duduk diam dan mendengar suara hatiku sendiri. Aku akan mencoba menerima kesunyian, membiarkan kesedihan menyatu dengan napas, dan perlahan-lahan membangun rumah di dalam diriku sendiri.


Karena mungkin rumah bukan tentang ke mana kita kembali, tapi tentang di mana kita merasa tenang. Dan aku harus menciptakan ketenangan itu, sebelum bisa benar-benar menemukan rumah.


Raja Ampat, 04 Februari 2025

Senin, 03 Februari 2025

LUKA TANPA JEDA

 ( Senandika )

Luka Tanpa Jeda

Karya : Pena_Lingga


Lukaku mengalir tanpa jeda, seperti sungai yang tak tahu kapan harus berhenti. Setiap tetesnya membawa kenangan yang mestinya telah usang, tetapi terus menghidupkan rasa yang seharusnya mati. Aku telah mencoba menghapus jejaknya, menyeka noda yang tertinggal di hatiku, tetapi semuanya sia-sia. Luka itu terus hidup, berdetak seiring dengan napasku, mengiringi setiap langkah yang kutempuh dalam kesunyian.


Ada malam-malam di mana aku berharap kesedihan ini bisa kuhapus begitu saja. Namun, ia malah berakar semakin dalam, mencengkeram batinku tanpa belas kasihan. Aku mencoba melarikan diri, mencari tempat di mana luka ini tak lagi bisa mencium jejakku, tetapi ia selalu menemukanku kembali. Bahkan dalam tidurku, ia datang sebagai mimpi buruk, mengingatkanku pada semua yang telah hilang.


Aku pernah percaya bahwa waktu adalah obat paling mujarab untuk segala luka. Tapi kini aku mengerti, waktu bukanlah penyembuh, ia hanya pengingat yang tak berperasaan. Setiap detik yang berlalu adalah bukti bahwa aku masih di sini, masih membawa beban yang seharusnya sudah kulepaskan. Aku ingin melupakan, ingin berlari sejauh mungkin, tetapi hatiku masih terikat pada rasa sakit yang enggan pergi.


Dunia di sekelilingku tetap berjalan, tidak peduli seberapa dalam luka yang kutanggung. Orang-orang berbicara, tertawa, dan melanjutkan hidup mereka seolah-olah segalanya baik-baik saja. Aku iri pada mereka yang bisa tersenyum tanpa beban, yang bisa mencintai tanpa takut kehilangan, yang bisa melangkah tanpa dihantui oleh bayangan masa lalu. Aku ingin menjadi seperti mereka, tapi entah mengapa aku tetap terjebak dalam kenangan yang menyiksa.


Ada saat-saat di mana aku berpikir untuk menyerah, membiarkan luka ini menelanku sepenuhnya. Tapi entah dari mana, ada suara kecil yang terus memanggilku untuk bertahan. Mungkin itu sisa-sisa keberanian yang dulu pernah kumiliki, atau mungkin hanya ilusi yang kuciptakan agar aku tidak jatuh terlalu dalam. Yang pasti, aku masih di sini, masih berusaha bernapas meski terasa sesak.


Aku telah kehilangan banyak hal dalam hidupku, dan kehilangan itu sendiri telah menjadi sahabat yang akrab. Aku tidak tahu bagaimana rasanya memiliki sesuatu tanpa takut kehilangannya lagi. Setiap ikatan yang kubangun terasa rapuh, setiap harapan yang kupelihara selalu berakhir dalam kekecewaan. Aku lelah percaya, lelah berharap, lelah menginginkan sesuatu yang akhirnya akan pergi juga.


Mereka berkata aku harus belajar menerima. Tapi bagaimana bisa aku menerima sesuatu yang masih menyakitkan setiap kali kuingat? Aku ingin berdamai dengan masa lalu, ingin menganggap semuanya hanya bagian dari perjalanan yang harus kulalui. Tapi kenyataannya, aku masih berdiri di tempat yang sama, tidak mampu melangkah maju, tidak mampu melepaskan apa yang telah menghancurkanku.


Aku bertanya-tanya, apakah ada akhir untuk semua ini? Apakah akan ada hari di mana aku bisa membuka mataku tanpa merasakan beban yang menyesakkan? Atau apakah aku akan selamanya terjebak dalam labirin kesedihan yang kuperangkap sendiri? Aku ingin tahu apakah masih ada cahaya di ujung jalan ini, atau apakah aku hanya berlari dalam kegelapan yang tak bertepi.


Barangkali, pada akhirnya, luka ini bukan sesuatu yang harus kuhilangkan. Mungkin ia adalah bagian dari diriku yang harus kupeluk, harus kusayangi, harus kuterima sebagai bagian dari perjalanan yang membentukku. Mungkin aku harus berhenti berlari, berhenti mencoba melupakan, dan mulai belajar bagaimana hidup berdampingan dengan luka yang ada.


Aku tidak tahu kapan aku akan benar-benar sembuh, atau apakah aku akan sembuh sama sekali. Tapi untuk sekarang, aku akan terus berjalan, meski tertatih, meski dengan luka yang masih terbuka. Aku akan terus bernapas, meski dadaku terasa sesak. Dan aku akan terus hidup, meski sebagian dari diriku telah mati di masa lalu.


Raja Ampat, 03 Februari 2025

Minggu, 02 Februari 2025

JANGAN LAGI MENAWARKAN BAHAGIA PADAKU

 Jangan Lagi Menawarkan Bahagia Padaku

Karya : Pena_Lingga


Hei, apa kau ingat malam itu? Saat kau mengucapkan kata pisah tanpa ragu, seolah perasaan hanyalah angin lalu. Aku masih ingat bagaimana suaramu terdengar begitu mantap, tanpa sedikit pun getar yang menandakan penyesalan. Malam itu, aku melihat punggungmu menjauh, membawa serta kehangatan yang pernah kau janjikan akan selalu ada.


Aku tidak bertanya kenapa, karena jawabannya sudah terpahat jelas di sorot matamu. Aku tidak memohon untuk tetap tinggal, karena aku tahu kepergianmu bukanlah sesuatu yang bisa kuhentikan. Jadi, aku diam. Aku membiarkan waktu yang berbicara, meski aku tahu ia lebih sering menjadi saksi luka daripada penyembuhnya.


Hari-hari setelah kepergianmu adalah ladang sunyi yang harus kutapaki seorang diri. Aku belajar mengenali kesendirian bukan sebagai kutukan, melainkan sebagai sebuah pelajaran. Aku mengumpulkan kembali serpihan hati yang kau tinggalkan, menyusunnya satu per satu, meski bentuknya tak lagi sama seperti dulu.


Pelan-pelan, aku pulih. Bukan karena waktu yang menghapus luka, tapi karena aku sendiri yang memilih untuk bangkit. Aku menyadari bahwa kehilanganmu bukanlah akhir dari segalanya. Justru, itu adalah awal bagi diriku untuk menemukan sesuatu yang lebih berharga—diriku sendiri.


Lalu, entah dari mana dan mengapa, kau tiba-tiba kembali. Membawa tatapan yang dulu pernah kulemparkan padamu, seolah-olah kau yang kini menjadi pengemis perasaan. Dengan kata-kata yang dulu kutunggu, tapi kini terasa hambar. Kau datang, seolah ingin memperbaiki sesuatu yang sudah lama kubiarkan usang.


Aku menatapmu tanpa rasa, bukan karena aku membencimu, tetapi karena aku telah selesai dengan bagian cerita yang melibatkan namamu. Aku sudah menutup buku itu, bahkan sebelum kau sempat meminta kesempatan kedua.


Kau bertanya apakah aku masih menyimpan rasa. Aku tersenyum, bukan sebagai jawaban, tetapi sebagai tanda bahwa perasaan itu telah berubah bentuk. Tidak lagi menjadi harapan, melainkan menjadi pelajaran.


Aku ingin mengatakan bahwa aku tidak menyesali apa yang pernah terjadi. Jika aku diberi kesempatan untuk mengulang waktu, aku akan tetap membiarkan semuanya berjalan seperti dulu. Karena tanpanya, aku tidak akan menjadi aku yang sekarang—lebih kuat, lebih berani, lebih mencintai diri sendiri.


Jadi, jika kau bertanya apakah aku masih ingin bersamamu, jawabannya adalah tidak. Bukan karena aku tidak pernah mencintaimu, tetapi karena aku telah belajar bagaimana mencintai diriku sendiri lebih dari segalanya.


Kau boleh datang, tapi kau tidak bisa mengulang. Sebab aku bukan lagi seseorang yang sama saat kau meninggalkanku dulu.


Raja Ampat, 03 Februari 2025


( Dialog Y.T.S.A.M.S )

 Yang Tertinggal Setelah Aku Memberi Segalanya ( Part 1 ) Karya : Pena_Lingga 🤵: Hai ! Lama tak bertemu ya Kali ini aku datang dengan niat ...