Elegi Sunyi
Karya : Pena_Lingga
Kala senandika menggema lirih,
Dalam diksi rindu yang kian letih.
Bait-bait sunyi menari lara,
Menjaga luka di dada purba.
Puisi mengalir bagai Gangga,
Menyuci jiwa yang resah merana.
Namun arusnya penuh paradoks,
Membawa sepi, bukan penawar.
Paradigma hati bak cakra berputar,
Mencari cahaya dalam gelap samar.
Namun prosa kehilangan aksara,
Melebur dalam maya tanpa cahaya.
Rima nestapa menyulam kenangan,
Bagai mantra yang terikat takdir.
Dunia terlalu berisik dan bingar,
Tapi sunyi tetap bersemayam sabar.
Bait-bait luka kulantunkan senyap,
Seperti resi dalam hening semadi.
Diksi menari dalam bayang kelam,
Mengeja cinta yang telah pergi.
Paradoks rasa bagai dualitas,
Antara maya dan jagad nyata.
Aku mencarimu dalam gelap,
Namun engkau lenyap dalam cahaya.
Senandika rindu meniti samudra,
Di antara gelombang yang tak terbaca.
Langit menghamparkan epos lama,
Tapi tak ada kita dalam ceritanya.
Puisi ini bukan sekadar kata,
Tapi doa yang tenggelam dalam sunya.
Bersama angin yang mendesir lirih,
Menyebut namamu dalam lirih.
Seperti karma yang mengikat jiwa,
Aku terjerat takdir yang fana.
Kita bertemu dalam mimpi,
Tapi terpisah dalam nyata.
Paradigma asmara mengurai nyeri,
Menjadi nyanyian tanpa harmoni.
Aku menulis, engkau menghilang,
Seperti bayangan yang tak terpegang.
Bait-bait pilu kularungkan senja,
Bersama arunika yang pudar warna.
Aku masih berdiri di tepi waktu,
Memandangmu yang kian menjauh.
Prosa hidup adalah samudra luas,
Namun di dermaga aku terdiam.
Menunggu kapal yang tak berlabuh,
Menunggu cinta yang tak berpulang.
Rima hujan melantunkan elegi,
Menjadi kidung sunyi di dada.
Kau seperti aksara tak terbaca,
Hanya samar dalam jejak sejarah.
Paradoks ini mengikat erat,
Antara ada dan tiada menyatu.
Aku menulis namamu di langit,
Namun angin menghapusnya perlahan.
Senandika malam merangkai cerita,
Tentang janji yang tak lagi nyata.
Aku dan sepi, berdansa lirih,
Menyulam rindu dalam nirwana.
Puisi ini kutulis di atas nirleka,
Antara maya dan kenyataan fana.
Mungkin hanya ilusi yang tersisa,
Mungkin hanya sunyi yang setia.
Diksi cinta telah sirna lenyap,
Seperti bayangan di batas cakrawala.
Aku menggapai, tapi kau menghilang,
Bagai dewa yang kembali ke kahyangan.
Paradigma kasih telah memudar,
Menjadi mantra yang kehilangan makna.
Aku berjalan di lorong takdir,
Tanpa engkau di sisi, tanpa arah.
Bait terakhir kutulis di udara,
Melebur dalam getar semesta.
Jika kelak kita bersua lagi,
Biarkan sunyi yang menyapa lebih dulu.
Sebab puisi ini adalah karma,
Yang mengikat hati dalam sunya.
Maka biarlah takdir menulis ulang,
Jika semesta mengizinkan kita bersatu.
Raja Ampat, 19 Februari 2025
Tidak ada komentar:
Posting Komentar