Aku Tetap Menunggumu
Karya : Pena_Lingga & Penyair Tanpa Nama
Prolog
Hujan turun perlahan, membasahi jalanan yang sepi. Dua hati yang pernah saling memiliki kini berdiri di ambang perpisahan, di bawah langit yang dulu menjadi saksi janji-janji yang tak lagi berarti.
Malam ini, bukan tentang menyatukan kembali yang telah retak, tetapi tentang menerima bahwa tidak semua yang dimulai harus menemukan akhirnya bersama.
-----------
👨🦱: Aku masih di sini… di tempat yang dulu kita sebut singgasana. Tempat di mana kita pernah menanam impian, tapi kini hanya tinggal puing-puing harapan yang ditiup angin. Kau pergi, dan sejak itu, waktu terasa seperti pedang yang perlahan mengiris hatiku.
👩🦰: Kau masih saja bertahan di sana? Kenapa? Bukankah sudah cukup waktu yang berlalu? Kau seharusnya menjadi ombak yang terus bergerak, bukan air yang terperangkap di muara tanpa aliran.
👨🦱: Aku tidak bertahan karena ingin. Aku bertahan karena setiap sudut tempat ini masih menyimpan gema suaramu, bayangan tawamu, dan jejak langkah yang tak bisa kuhapus. Aku seperti kapal tanpa nakhoda, terombang-ambing tanpa arah, berharap suatu saat kau datang kembali dan menuntunku pulang.
👩🦰: Aku tak pernah memintamu menunggu. Aku tak ingin menjadi badai yang membuatmu terus terjebak dalam pusaran. Aku hanyalah angin yang berlalu, sementara kau terus berdiri di tempat yang sama, merindukan sesuatu yang telah lama pergi.
👨🦱: Meski aku tahu kau telah pergi, hatiku tetap membisikkan namamu di setiap hembusan napas. Hari-hari berlalu seperti bayangan senja yang perlahan tenggelam, tapi rasa ini tetap tertinggal. Aku mencoba melangkah, tapi langkahku selalu kembali ke tempat ini.
👩🦰: Hidup terus berjalan. Waktu tak akan menunggumu seperti kau menungguku. Jika kau terus diam di tempat yang sama, kau hanya akan menjadi daun kering yang terombang-ambing tanpa tujuan, menunggu angin membawamu entah ke mana.
👨🦱: Kau bilang aku harus melupakan, tapi bagaimana mungkin? Kau seperti cahaya yang masih bersinar dalam kegelapanku. Bahkan saat aku menutup mata, bayanganmu tetap menari di dalam kepalaku, mengisi setiap sudut yang kosong dengan kenangan yang tak bisa pudar.
👩🦰: Itu hanya ilusi. Kau menggenggam sesuatu yang tak lagi nyata, seperti mencoba meraih bintang di langit yang terlalu jauh untuk disentuh. Aku sudah bukan lagi aku yang dulu kau kenal. Aku telah pergi, meninggalkan jejak yang seharusnya kau hapus, bukan kau ratapi.
👨🦱: Kau adalah rumahku. Dan seseorang tidak bisa begitu saja meninggalkan rumahnya tanpa kehilangan arah. Aku kehilangan kompas sejak kau pergi. Aku tersesat dalam labirin yang tak memiliki jalan keluar, hanya berharap suatu hari kau kembali menjadi cahaya yang membimbingku pulang.
👩🦰: Rumah bukanlah seseorang. Rumah adalah tempat di mana hatimu merasa damai. Dan jika aku bukan lagi tempat itu, maka kau harus mencari rumah baru. Jangan terus berdiri di depan pintu yang sudah lama terkunci, berharap aku akan membukanya kembali.
👨🦱: Tapi bagaimana jika aku tidak ingin mencari? Bagaimana jika aku lebih memilih tinggal di depan pintu itu, berharap suatu saat kau mengetuk dari dalam dan membiarkanku masuk lagi?
👩🦰: Itu bukan cinta. Itu adalah keputusasaan yang kau bungkus dengan harapan. Aku tak ingin menjadi rantai yang mengikat langkahmu. Aku ingin kau bebas, terbang seperti burung yang menemukan langitnya sendiri.
👨🦱: Bahagia? Bagaimana aku bisa bahagia jika satu-satunya sinar dalam hidupku telah memilih untuk meredup di tempat lain? Aku telah mencoba melihat dunia tanpamu, tapi semuanya tampak pucat, seperti lukisan yang kehilangan warnanya, seperti lagu tanpa melodi.
👩🦰: Kau hanya belum mencoba dengan sungguh-sungguh. Kau masih berdiri di tepi jurang kenangan, takut melangkah ke tanah yang baru. Tapi kau harus tahu, di seberang sana, ada matahari yang menunggumu, ada jalan yang lebih luas untuk dilalui.
👨🦱: Aku takut. Takut jika suatu hari aku benar-benar melupakanmu. Karena jika itu terjadi, aku akan kehilangan bagian terbesar dari diriku. Aku lebih memilih hidup dengan luka ini daripada harus hidup tanpa mengenangmu.
👩🦰: Luka itu hanya rantai yang kau biarkan membelenggumu. Kau berpikir bahwa dengan bertahan, kau masih memiliku dalam hatimu. Padahal, kenyataannya, kau hanya menyakiti dirimu sendiri. Aku ingin kau bebas, bukan terperangkap oleh bayanganku.
👨🦱: Lalu, bagaimana aku bisa melepaskan sesuatu yang telah menjadi bagian dari jiwaku? Menghapusmu dari hidupku sama saja seperti mencabut akar dari tanah—membuatnya tandus, kehilangan kehidupan.
👩🦰: Belajarlah. Belajarlah seperti aku belajar melepaskan. Seperti aku belajar menerima bahwa tidak semua yang kita inginkan akan tetap tinggal. Ada yang datang untuk pergi, ada yang singgah hanya untuk mengajarkan sesuatu. Dan mungkin aku adalah bagian dari itu.
👨🦱: Tapi aku tidak ingin kau menjadi sekadar pelajaran. Aku ingin kau tetap menjadi bagian dari hidupku, bukan hanya kenangan yang perlahan memudar.
👩🦰: Kau harus mengerti bahwa tidak semua kisah mendapatkan akhir yang bahagia. Terkadang, kita hanya bisa menerima bahwa "hampir" adalah satu-satunya yang bisa kita genggam. Dan "hampir" tak pernah cukup untuk menjadikan kita abadi.
👨🦱: Jadi, aku harus menyerah? Begitu saja?
👩🦰: Bukan menyerah, tapi menerima. Menerima bahwa aku telah memilih jalan yang berbeda. Menerima bahwa hatimu harus kau berikan pada seseorang yang benar-benar tinggal, bukan pada seseorang yang telah lama pergi.
👨🦱: Aku tidak tahu apakah aku bisa… Tapi jika ini yang kau inginkan, aku akan mencoba. Meski berat, meski rasanya seperti menghapus sebagian dari hidupku, aku akan mencoba.
👩🦰: Itu yang aku harapkan. Aku ingin kau bahagia, meski kebahagiaan itu tak lagi bersamaku.
👨🦱: Aku akan mencoba… Tapi sebelum kau pergi, bisakah kau menoleh sekali lagi?
👩🦰: Aku sudah menoleh, sejak tadi. Tapi sekarang, aku harus benar-benar pergi.
👨🦱: Selamat tinggal…
👩🦰: Selamat tinggal. Semoga kau menemukan rumah yang baru.
Ruang Duka, 16 Februari 2025
Tidak ada komentar:
Posting Komentar