Senyum Terakhir Part 2
Karya : Pena_Lingga
Di hadapan nisan ini, aku berdiri dengan dada yang sesak. Angin berembus pelan, membawa wangi tanah basah yang bercampur dengan bunga yang mulai layu. Langit mendung seakan ikut berduka, menggantung berat di atas kepalaku. Aku ingin berbicara padamu, seperti dulu, tapi kini kau tak bisa lagi menjawab. Aku hanya bisa berbicara pada batu yang dingin, pada tanah yang telah menelan tubuhmu.
Kita pernah mengikrarkan janji di bawah rembulan, bersumpah bahwa takdir tak akan mampu memisahkan kita. Namun, ternyata takdir adalah tangan dingin yang mencengkeram tanpa ampun. Kau pergi lebih cepat dari yang bisa kupahami, meninggalkanku dalam kehampaan yang menggigil. Dunia yang dulu penuh warna kini berubah menjadi kelabu. Tanpa hadirmu, segalanya terasa hampa, seperti lukisan yang kehilangan nyawanya.
Aku mencarimu dalam setiap hembusan angin, dalam rintik hujan yang jatuh ke bumi, dalam bayang-bayang yang berkelebat di sudut mataku. Tapi kau tak ada di mana pun. Aku berharap ini hanya mimpi buruk, bahwa aku akan terbangun dan menemukanmu masih di sisiku. Namun kenyataan tidak sebaik itu—kau tetap tak ada, dan aku tetap sendiri.
Rasa sesal menggigit lebih dalam dari dinginnya angin sore. Seandainya aku bisa mengulang waktu, aku akan lebih lama menatap matamu, lebih erat menggenggam tanganmu, lebih banyak mengucapkan betapa aku mencintaimu. Tapi sekarang, semua itu tak ada artinya. Kata-kata yang seharusnya terucap kini hanya tersangkut dalam tenggorokan, berubah menjadi isak tertahan yang menyayat dada.
Orang-orang mengatakan aku harus merelakanmu, tapi bagaimana caranya? Bagaimana aku bisa melanjutkan hidup, sementara sebagian dari diriku telah terkubur bersamamu? Aku mencoba tersenyum, mencoba berdamai dengan kehilangan ini, tapi setiap kali aku mengingatmu, luka itu kembali menganga. Aku lelah, sayang. Lelah menjalani hari-hari yang terasa tak berarti tanpamu.
Aku bersimpuh di depan nisanmu, membiarkan jemariku menyentuh namamu yang terukir di batu. Hujan mulai turun, menyamarkan air mata yang kembali jatuh. Mungkin ini cara semesta menangis bersamaku, atau mungkin ini hanya kebetulan. Aku tidak peduli. Aku hanya ingin berada di sini sedikit lebih lama, berbicara denganmu meski aku tahu kau tak bisa mendengar.
Aku menutup mata, membiarkan kesedihan membawaku semakin dalam. Dalam hening, aku menyadari sesuatu—aku tidak ingin kembali ke dunia tanpa dirimu. Aku tidak ingin menjalani kehidupan yang terasa separuh. Perlahan, tanganku merogoh saku, jemariku menggenggam sesuatu yang dingin dan tajam.
Jika takdir telah merenggutmu dariku, maka aku akan menjemput takdirku sendiri. Aku akan menemuimu di tempat di mana kematian tak bisa lagi memisahkan kita. Ini bukan keputusan yang mudah, tapi ini satu-satunya jalan agar aku bisa bersamamu lagi.
Hujan semakin deras. Langit makin gelap. Dan dalam senyap, air mataku jatuh untuk terakhir kalinya.
Ruang Duka, 14 Februari 2025
--------Naskah yang terinspirasi dari Air Mata Terakhir karya Penyair Tanpa Nama-------
Tidak ada komentar:
Posting Komentar