[ Prosais ]
Suara Di Antara Kita ( Kita Hanya Virtual )
Karya : Pena_Lingga
Aku tidak pernah menyangka bahwa suara seseorang bisa begitu menghangatkan. Di balik layar ponsel, kau selalu hadir dalam bentuk kata-kata dan nada yang menenangkan. Kita tidak pernah bertemu, tidak pernah saling menatap secara nyata, tapi setiap malam kau bercerita, dan aku mendengarkan. Suaramu adalah rumah bagi rinduku yang tak pernah kumengerti asalnya.
"Apa yang kau lakukan hari ini?" tanyamu suatu malam. Aku tersenyum kecil sebelum menjawab, seolah kau benar-benar ada di hadapanku. Kita bercerita tentang hal-hal sederhana—tentang hujan yang turun di kotaku, tentang kopi yang kau teguk di sore hari. Aku bisa membayangkan ekspresi wajahmu, meski aku tidak tahu seperti apa rupa aslimu.
Perkenalan kita terjadi begitu saja. Sebuah aplikasi mempertemukan kita di satu ruang obrolan suara, tempat orang-orang asing berbincang tanpa perlu memperlihatkan wajah. Aku ingat bagaimana pertama kali aku mendengar suaramu—tenang, dalam, dan mengundang. Sejak saat itu, aku selalu menantikan notifikasi darimu.
"Apa kau percaya bahwa seseorang bisa jatuh cinta hanya dengan mendengar suara?" tanyaku iseng suatu malam. Ada jeda sebelum kau menjawab, lalu kau tertawa kecil. "Mungkin bukan hanya suara, tapi bagaimana cara seseorang bercerita," katamu.
Setiap malam, kita mengukir kisah dalam percakapan yang tak pernah kehabisan topik. Kau tahu segala kebiasaanku, seperti bagaimana aku selalu menguap setiap pukul sepuluh malam, atau bagaimana aku senang mendengar lagu-lagu lama sebelum tidur. Aku tahu bahwa kau suka berbicara sambil berjalan-jalan di balkon, menikmati angin malam yang menerpa kulitmu.
Namun, sekuat apa pun kedekatan yang kita rasakan, ada batas yang tak bisa kita langkahi. Kita hanya suara di dunia satu sama lain. Kita tak bisa merasakan sentuhan, tak bisa melihat ekspresi nyata saat tertawa atau terdiam. Kita hanya bisa menebak-nebak, dan itu kadang terasa menyakitkan.
"Apa kau ingin kita bertemu?" tanyaku suatu hari. Lama kau terdiam, sebelum akhirnya menjawab, "Aku takut." Aku mengerti maksudmu. Takut bahwa dunia nyata tidak seindah percakapan kita. Takut bahwa kenyataan akan merusak apa yang telah kita bangun dalam gelap.
Aku ingin mengatakan bahwa perasaan ini nyata, meski tanpa tatap. Bahwa setiap detik yang kita habiskan untuk berbincang bukan sekadar kebiasaan, tetapi kebutuhan. Namun, aku juga tahu, ada kemungkinan bahwa kau hanya nyaman di balik suara. Nyaman tanpa perlu menghadapi kenyataan yang mungkin berbeda dari bayangan kita.
Pada akhirnya, kita tetap seperti ini. Aku masih menunggu suaramu setiap malam, masih tersenyum setiap kali kau tertawa, masih merasakan debaran yang sama meski tanpa genggaman. Kita mungkin tidak akan pernah bertemu, mungkin hanya akan menjadi kisah yang hidup di dalam suara.
Tapi jika suatu saat aku kehilanganmu, aku ingin percaya bahwa setidaknya, di suatu malam, suaramu pernah menjadi bagian dari hidupku.
Raja Ampat, 07 Februari 2025
Tidak ada komentar:
Posting Komentar