BHUMI RAJANI KALIMANTAN
Di tengah Samudra Hindia yang luas,
Di bawah langit biru yang menyinari,
Kalimantan berdiri tegak, sebuah pertiwi purba,
Bumi yang dulu suci, dihormati oleh leluhur.
Dari hutan lebat yang penuh misteri,
Hingga sungai besar yang mengalir bagai darah,
Bumi ini adalah saksi kehidupan yang penuh hikmah,
Namun kini, semuanya berubah menjadi serpihan debu.
Oh, sungai Kapuas, engkau adalah Narmada,
Airmu mengalir, membawa kehidupan,
Namun, dalam gemuruh laju zaman,
Engkau kini tercemar, oleh tangan yang tamak,
Engkau yang dulu jernih, kini muram oleh racun.
Apakah itu karma dari para penguasa dunia,
Yang mengejar artha tanpa memandang dharma?
Di balik rimba Kalimantan, suara burung berkicau,
Namun, kini suara itu teredam oleh mesin,
Hutan-hutan yang dulu rimbun dengan keharmonisan,
Kini dipotong, dihancurkan, tanpa belas kasihan.
Manusia datang dengan nafsu yang membara,
Mereka menanamkan duri ke dalam dada bumi,
Demi kekayaan, demi ambisi yang tak terpuaskan.
Apakah mereka lupa, bahwa bumi ini bukan milik mereka?
Dewa-Dewa yang dahulu menyaksikan keagungan tanah ini,
Menangis, menatap hutan yang terbakar,
Swargaloka yang penuh kedamaian, kini terhenyak,
Brahmana yang bijak, kini bisu, tanpa suara.
Bumi yang dahulu menjadi ladang dharma,
Kini menjadi medan perang bagi kekuasaan,
Tak ada lagi keseimbangan antara alam dan manusia,
Yang ada hanya kehancuran yang tanpa akhir.
Di sini, pohon-pohon yang berdiri tegak seperti Dewa,
Telah tumbang satu per satu, tanpa henti,
Tak ada yang tersisa, kecuali kenangan akan kejayaan,
Hanya serpihan daun dan batang yang terbuang.
Brahma yang menciptakan alam semesta ini,
Kini menangis melihat ciptaan-Nya dirusak,
Bumi yang adalah bagian dari tubuh-Nya,
Kini terluka, tercabik-cabik oleh kerakusan.
O Kalimantan, engkau yang dulu suci,
Bumi yang memelihara segala jenis kehidupan,
Kini hampir tak dikenali,
Engkau diubah menjadi lahan gersang dan tandus,
Akankah engkau bisa kembali, seperti dahulu?
Atau apakah semua ini hanyalah sebuah mitos belaka,
Yang terlupakan dalam kesibukan duniawi?
Di mana-mana, suara alam kini terhenti,
Dengung serangga, nyanyian burung, semuanya sunyi,
Kalimantan, tanah yang kaya dengan kehidupan,
Kini dipenuhi dengan aspal, beton, dan logam,
Manusia datang, dengan senjata peradaban mereka,
Menghancurkan segala yang ada, tanpa rasa takut,
Tanpa menyadari, bahwa mereka hanya tamu,
Di bumi yang telah lama menunggu kehadiran mereka.
Dewa Wisnu, pelindung dunia, kini merenung,
Mengapa umat manusia begitu buta?
Mereka tidak tahu, bahwa setiap tindakan mereka,
Akan kembali kepada mereka, melalui hukum karma,
Bahwa setiap pohon yang mereka tebang,
Setiap sungai yang mereka cemari,
Akan menjadi beban yang mereka tanggung.
Namun apakah ada yang peduli,
Ketika hasrat telah menguasai segala?
Dari langit yang tinggi, Bhairava mengamati,
Dia yang menjaga keseimbangan alam semesta,
Dengan tatapan yang tajam, dia menyaksikan,
Bagaimana Kalimantan, tanah yang dulu penuh berkah,
Kini dilahap oleh kerakusan manusia.
Sementara itu, tanah yang dulu hijau dan segar,
Telah berubah menjadi lahan tandus dan kosong,
Di mana burung-burung terbang jauh mencari tempat baru,
Di mana binatang-binatang hutan mengungsi,
Mencari ruang yang semakin sempit.
Namun, Kalimantan bukanlah tanah yang mudah mati,
Di bawah lapisan tanah yang keras,
Tertanam semangat yang tak akan padam,
Bumi ini, meski terluka, akan bangkit,
Bergantung pada apakah manusia mau mendengar,
Apakah mereka siap untuk membuka hati,
Dan menerima kenyataan bahwa alam ini,
Memiliki kuasa yang jauh lebih besar dari mereka.
Sādhu, Kalimantan, tanah yang penuh rahasia,
Berkah yang datang dari gunung dan laut,
Bahkan dalam keterpurukan, engkau tak akan lenyap,
Keberanianmu tertanam dalam setiap pepohonan,
Setiap aliran sungai yang berliku,
Setiap batu yang terhampar, menunggu untuk bersinar.
Mungkin tidak hari ini, mungkin tidak besok,
Namun suatu saat, cahaya dharma akan kembali bersinar,
Dan Kalimantan akan bangkit kembali,
Menjadi tempat yang penuh kedamaian,
Menjadi contoh bagi dunia,
Bahwa alam, jika dihancurkan, akan bangkit,
Dan manusia harus belajar untuk menghormatinya.
Karya : Andi Irwan
Rumah Literasi, 5 Desember 2024
-----------------------------------
PERTANGGUNG JAWABAN & MAKNA :
Puisi Bhumī Rajani Kalimantan mengandung makna mendalam yang terkait dengan kerusakan alam, spiritualitas, dan tanggung jawab manusia terhadap lingkungan. Berikut adalah penjelasan makna beberapa diksi utama dalam puisi ini:
1. "Bumi yang dulu suci, dihormati oleh leluhur"
Diksi ini menggambarkan Kalimantan sebagai tanah yang memiliki nilai sakral dan dihormati oleh masyarakatnya, khususnya oleh leluhur yang menjaga keharmonisan dengan alam. Ini menandakan bahwa bumi Kalimantan dahulu dianggap sebagai tempat yang penuh berkah dan keharmonisan antara manusia dan alam.
2. "Sungai Kapuas, engkau adalah Narmada"
Sungai Kapuas disamakan dengan Sungai Narmada, yang dalam tradisi Hindu dianggap suci dan penuh berkah. Diksi ini menunjukkan betapa pentingnya sungai dalam kehidupan masyarakat Kalimantan, dan simbolisme ini mengingatkan pada kerusakan yang kini terjadi di sungai tersebut akibat polusi dan eksploitasi.
3. "Bumi ini adalah saksi kehidupan yang penuh hikmah"
Kalimantan digambarkan sebagai tempat yang telah menyaksikan perjalanan kehidupan dengan kebijaksanaan yang terkandung dalam ekosistemnya. Namun, dengan kerusakan yang terjadi, makna kehidupan yang penuh hikmah tersebut kini terancam hilang.
4. "Rimba Kalimantan, suara burung berkicau"
Diksi "rimba" dan "suara burung berkicau" menggambarkan keharmonisan alam yang kaya akan kehidupan. Namun, di tengah kerusakan hutan, suara-suara alami ini semakin teredam, menandakan hilangnya keseimbangan ekologis.
5. "Bumi yang dahulu menjadi ladang dharma"
Kalimantan diartikan sebagai tanah yang penuh dengan ajaran dharma (kebenaran atau kewajiban moral), yang memberi kehidupan dan keberkahan bagi umat manusia. Kini, ladang dharma ini telah berubah menjadi tempat konflik dan kerusakan akibat ambisi manusia.
6. "Bumi yang memelihara segala jenis kehidupan"
Diksi ini merujuk pada peran penting Kalimantan dalam menjaga kelestarian berbagai jenis flora dan fauna, yang kini terancam oleh eksploitasi sumber daya alam tanpa mempertimbangkan keberlanjutan.
7. "Keberanianmu tertanam dalam setiap pepohonan"
Kalimantan digambarkan sebagai tanah yang memiliki kekuatan dan semangat juang, yang meski terluka tetap memiliki potensi untuk bangkit. Pepohonan menjadi simbol ketahanan alam yang tidak mudah dihancurkan.
8. "Karma" dan "Dewa-Dewa"
Puisi ini mencerminkan pandangan dunia Hindu tentang karma, yang menyatakan bahwa setiap tindakan akan mendatangkan akibat. Dewa-dewa dalam puisi ini bukan hanya menjadi saksi, tetapi juga simbol kekuatan moral yang mengingatkan umat manusia akan konsekuensi dari tindakan mereka terhadap alam.
9. "Cahaya dharma akan kembali bersinar"
Diksi ini menandakan harapan bahwa meskipun Kalimantan telah mengalami kerusakan, akan ada peluang bagi pemulihan jika manusia kembali ke jalan dharma—menghormati dan menjaga alam, serta menjalankan kewajiban moral mereka.
Secara keseluruhan, diksi-diksi dalam puisi ini membawa makna yang mendalam tentang bagaimana kerusakan alam dapat disebabkan oleh tindakan manusia yang tidak bertanggung jawab. Namun, ada pula pesan harapan bahwa bumi, meskipun terluka, dapat bangkit kembali jika manusia mampu mendengarkan dan menghormati alam serta menjalankan dharma.
------------------
JENIS PUISI :
Puisi Bhumī Rajani Kalimantan dapat dikategorikan dalam genre puisi ekologi atau puisi lingkungan, karena fokus utama puisi ini adalah menggambarkan kerusakan alam, khususnya hutan Kalimantan, serta hubungan manusia dengan lingkungan yang semakin terabaikan. Puisi ini juga mengandung pesan moral dan spiritual tentang pentingnya menjaga alam sebagai bagian dari kehidupan yang lebih besar.
Selain itu, puisi ini juga bisa dikategorikan sebagai puisi filosofis dan puisi kontemplatif, karena mengajak pembaca untuk merenungkan keberadaan alam, tanggung jawab manusia, dan hubungan spiritual dengan bumi. Puisi ini mencerminkan pandangan dunia Hindu melalui penggunaan istilah seperti "karma" dan "dharma", yang menambah kedalaman filosofis.
Dengan gaya bahasa yang melibatkan simbolisme dan metafora, puisi ini juga bisa dikatakan sebagai puisi simbolik, di mana unsur-unsur alam dan mitologi digunakan untuk menggambarkan realitas sosial dan ekologi yang lebih besar.