ANAK KECIL DAN BULAN
(Senandika)
Karya : Andi Irwan [ Pena_Lingga ]
#PROLOG.
--------------------
(Di suatu malam yang sunyi, seorang anak kecil duduk sendiri di halaman rumah. Langit gelap tanpa bintang, kecuali bulan yang bersinar sendirian. Di sekelilingnya, angin malam berhembus lembut, seolah membawa bisikan dari dunia yang jauh. Anak itu menatap bulan dengan penuh harap, seolah mencari jawaban yang selama ini ia simpan dalam hatinya. Matanya sembab, pipinya basah dengan air mata.)
Anak Kecil:
Bulan... Kenapa engkau selalu ada di sini? Terang di malam yang gelap, sepertimu yang selalu menerangi malamku. Tapi... tapi bulan, kenapa sekarang aku merasa begitu sendiri? Ibu... ibu selalu bilang kalau bulan itu adalah pelita di kegelapan. Tapi sekarang... sekarang aku merasa gelap, bulan. Hati ini kosong, seperti malam yang tak berbintang. Ibu... ibu pergi begitu saja. Tanpa kata, tanpa peringatan. Kenapa, bulan? Kenapa Tuhan mengambil ibu dariku?
(Anak itu terisak, air matanya mengalir deras. Ia mendongakkan kepalanya, menatap bulan dengan mata penuh tanya.)
Anak Kecil:
Ibu selalu berkata, kalau aku merasa takut, cukup menatap bulan dan berdoa. Ibu bilang bulan akan menjaga dan melindungiku. Tapi sekarang, bulan... apa kau masih bisa melindungiku? Ibu tak ada lagi di sini untuk melindungiku. Ibu... ibu yang selalu ada saat aku terbangun di malam hari, yang mengusap rambutku dengan lembut. Kenapa ibu harus pergi? Kenapa tidak bisa ibu tetap di sini, bersama aku? Apa ibu tak sayang padaku lagi?
(Anak itu merunduk, hatinya penuh kesedihan yang tak bisa diungkapkan dengan kata-kata. Tangan kecilnya memeluk tubuhnya yang menggigil. Ia menatap bulan, berharap ada jawaban yang bisa menghibur hatinya.)
Anak Kecil:
Bulan, kenapa ibu pergi begitu cepat? Kami belum sempat banyak bicara... kami belum sempat berpelukan dengan erat. Apa ibu merasa aku sudah besar dan tak perlu lagi pelukan itu? Apa ibu tak ingin aku lagi? Ibu... kenapa ibu tidak bisa tetap tinggal? Kenapa engkau harus pergi, meninggalkan aku sendirian di dunia yang sepi ini?
(Anak itu terdiam sejenak, mencoba menahan tangisannya yang semakin dalam. Suara angin malam seakan semakin berbisik di telinganya, tapi semua itu hanya membuatnya merasa lebih sunyi.)
Anak Kecil:
Ibu... aku masih kecil, bulan. Aku belum siap tanpa ibu. Aku takut. Aku takut kalau aku lupa bagaimana rasanya dipeluk ibu. Aku takut jika aku tak bisa lagi mendengar suara ibu menyebut namaku. Bulan, aku ingin ibu kembali. Aku ingin ibu datang, hanya sekali saja. Aku ingin merasakan pelukan ibu, mendengar suaranya, merasakan kehangatannya. Tapi ibu sudah pergi, bulan... ibu sudah pergi, dan aku tak tahu bagaimana caranya hidup tanpa ibu.
(Air mata anak itu jatuh lagi. Ia menatap bulan dengan penuh harap, seolah-olah bulan bisa memberinya jawaban. Tapi bulan hanya bersinar dengan lembut, tak bisa menjawab kesedihan yang mengoyak hatinya.)
Anak Kecil:
Bulan, bisakah engkau memberitahuku di mana ibu sekarang? Apakah ibu sedang melihatku dari sana? Apakah ibu mendengar aku menangis? Ibu... ibu pasti tahu aku sangat merindukannya. Aku tak bisa lagi tidur seperti dulu, tanpa mendengar suara ibu. Aku tak bisa lagi tertawa tanpa ibu di sini. Semua terasa kosong, bulan... semua terasa kosong.
(Anak itu berdiri, melangkah perlahan ke depan, tangan kecilnya terangkat seakan ingin meraih bulan di langit.)
Anak Kecil:
Bulan, kenapa kau tak bisa membawaku ke tempat ibu? Aku ingin bertemu ibu, bulan. Aku ingin memeluk ibu, mencium pipinya. Aku ingin ibu berkata bahwa semuanya akan baik-baik saja, dan aku tak perlu takut lagi. Tapi bulan, kau tahu? Aku tak bisa... Aku tak bisa menjangkau ibu, karena ibu sudah jauh... jauh dari aku, lebih jauh dari yang bisa kubayangkan.
(Dengan perlahan, anak itu kembali duduk di tanah. Tangannya memeluk lututnya erat-erat, seperti mencari kenyamanan yang tak bisa ditemukan.)
Anak Kecil:
Bulan, aku hanya ingin ibu kembali. Aku ingin ibu duduk di sampingku, mengusap rambutku, memelukku... tapi itu semua hanya mimpi, kan? Ibu tak akan pernah kembali, kan? Aku hanya ingin ibu tahu betapa aku sangat merindukannya. Aku ingin ibu tahu kalau aku sangat mencintainya. Tapi ibu sudah tak ada lagi... dan aku tak tahu harus bagaimana tanpa ibu di sisiku.
(Suasana malam semakin sepi. Bulan yang bersinar tetap tampak jauh di atas sana, sementara anak itu semakin terisak, air matanya tak bisa dihentikan. Semua yang ia rasakan, tak bisa diungkapkan. Semua yang ia inginkan, tak bisa terwujud.)
Anak Kecil:
Ibu... aku ingin ibu tahu... kalau aku berjanji, aku akan selalu mengingat ibu. Aku akan selalu mencintainya. Walaupun ibu tak ada di sini, aku akan berusaha kuat, seperti ibu selalu bilang padaku. Tapi bagaimana bisa aku kuat, bulan, kalau hatiku merasa hancur seperti ini? Ibu... kenapa engkau tinggalkan aku sendirian di dunia ini?
(Ia terdiam, menggenggam erat tanah di bawahnya. Sesaat, dunia terasa begitu berat. Tanpa ibu, tanpa pelukan yang dulu selalu ada. Hati anak itu terasa kosong dan tak bisa diisi oleh apa pun.)
Anak Kecil:
Bulan... aku ingin ibu kembali. Aku ingin ibu tahu, aku tak akan pernah lupa padanya. Tapi aku juga tahu, ibu tak akan pernah kembali. Aku tak bisa lagi mendengar ibu memanggil namaku. Tak ada lagi senyum ibu, tak ada lagi pelukan hangatnya. Ibu sudah pergi, dan aku... aku harus belajar hidup tanpanya. Tapi bagaimana, bulan? Bagaimana aku bisa hidup tanpa ibu?
(Anak itu terisak, tubuh kecilnya gemetar. Ia menatap bulan yang seakan semakin jauh, semakin sulit untuk dijangkau. Dan di tengah kesunyian itu, ia akhirnya terlelap di bawah sinar bulan, masih memeluk tubuhnya yang lemah, berharap pada keajaiban yang tak akan pernah datang.)
Raja Ampat
20 Desember 2024
Tidak ada komentar:
Posting Komentar