Sabtu, 29 Maret 2025

TOLAK RUU TNI

 RUU TNI: Negeri dalam Bayang Sepatu Laras

Karya : Pena_Lingga


Di negeri yang katanya merdeka,

kuasa beringsut ke arah lama,

atas nama stabilitas katanya,

tapi rakyat dipaksa lupa.


Sepatu lars mengetuk pintu,

masuk ke ruang yang bukan miliknya,

hukum ditundukkan, sipil tersisih,

demokrasi perlahan kehilangan nyawa.


Mereka bilang ini demi bangsa,

tapi yang terasa hanyalah cekikan,

hak bicara bagai bunga layu,

dipetik sebelum sempat berkembang.


Sejarah pernah menuliskan luka,

di mana suara dibungkam paksa,

apakah kita ingin mengulang,

mimpi buruk yang mencekik dada?


Jika tentara mengatur sipil,

siapa yang mengatur tentara?

Jika hukum bisa dibelokkan,

di mana keadilan bercahaya?


Mereka berdiri penuh percaya,

mengira rakyat diam tak bersuara,

padahal kami ingat betul,

negeri ini bukan untuk segelintir saja.


Kursi empuk mereka genggam erat,

menganggap rakyat sekadar angka,

tapi kami tak akan diam,

demokrasi bukan barang dagangan mereka.


Jika diam adalah jalan yang kau pilih,

bersiaplah melihat hakmu tersapu,

karena kekuasaan tanpa batas,

hanya akan melahirkan tirani baru.


Bukan takut yang harus kita simpan,

tapi keberanian untuk bersuara,

agar negeri ini tetap milik rakyat,

bukan panggung bagi mereka yang serakah.


Maka mari bersatu, mari menolak,

RUU ini bukan jalan keluar,

sebelum demokrasi jadi abu,

kita harus bangkit dan melawan!


Raja Ampat, 29 Maret 2025

Kamis, 27 Maret 2025

DOREMI ( satire )

 DO RE MI

Karya: Pena_Lingga


Do... dompet menipis, janji manis tak ada habis

Re... rakyat bersuara, tapi telinga mereka tuli saja

Mi... mimpi sejahtera, berubah jadi utang negara

Fa... fakta diputar, dijahit rapi dalam berita besar


So... sogok menyogok, hukum pun rontok

La... lantang bicara, ujungnya hilang entah ke mana

Si... siapa yang waras?, dunia penuh topeng dan sandiwara

Do... doakan saja, semoga kita tak gila bersama!


Do... dokumen bocor, katanya rahasia negara

Re... remuk harapan, tapi mereka tetap tertawa

Mi... minyak naik, padahal janji harga baik

Fa... fakir miskin, tetap digusur tanpa izin


So... sosial media, jadi alat propaganda

La... lagu perjuangan, kini hanya nostalgia kenangan

Si... silakan protes, asal siap masuk bui

Do... dongeng manis, jadi undang-undang tragis


Do... dosa berlapis, ditutup dengan jas berdasi

Re... rezim berganti, aktornya tetap itu lagi

Mi... miris sekali, rakyat lapar, mereka pesta

Fa... fatwa moral, dikalahkan isi modal


So... sombong berkuasa, lupa daratan lupa segalanya

La... lantang bicara, hanya bikin mereka tertawa

Si... siapa peduli?, selama masih dapat subsidi

Do... doakan negeri, sebelum tenggelam sendiri!


Do... dongkrak suara, musim pemilu tiba-tiba ramah

Re... retorika panjang, tapi janji selalu gundah

Mi... mirip sandiwara, aktor lama ganti peran

Fa... fakta dikubur, demi kepentingan tuan


So... sudut gelap, penuh orang-orang kalah

La... lari ke mimpi, sebab kenyataan terlalu parah

Si... siasat licik, tumbuh subur dalam sistem

Do... doa dipanjatkan, entah Tuhan masih mau mendengarkan?


Raja Ampat, 27 Maret 2025

Senin, 24 Maret 2025

PERAYAAN LUKA

 Perayaan Luka

Karya : Pena_Lingga


Malam ini, aku merayakan luka seperti seorang penyair yang menyesap racun dalam cawan emas. Aku membiarkan duka mengalir perlahan, seperti sungai Sarasvati yang membawa kesunyian ke samudra tak bertepi. Aku tak ingin buru-buru melepaskannya, sebab ada keindahan dalam luka yang tak terucapkan—seperti mantra yang kehilangan suaranya, menggantung di antara bumi dan nirwana.


Aku adalah reruntuhan candi di bawah rembulan, menyimpan kisah-kisah lama yang tak lagi dibaca. Batu-batuku retak, lumut tumbuh di sudut-sudut yang terlupakan, tapi aku tetap berdiri, memeluk sejarah yang enggan pudar. Malam ini, aku mengizinkan masa lalu menari di antara puing-puingku, menghidupkan kembali bayangan yang telah lama tertidur.


Duka ini adalah angin sepoi yang membawa bisikan para leluhur, merambat di setiap pori seperti jejak karma yang tak terhindarkan. Aku mendengar suaranya dalam hening, dalam detak jantung yang berusaha melupakan tetapi selalu kembali pada titik yang sama. Barangkali ini takdir—sebuah samsara, siklus yang tak kunjung usai, menjeratku dalam lingkaran kenangan yang tak bisa kuhindari.


Aku menatap ke dalam cawan luka yang kupegang, isinya lebih pekat dari malam, lebih pahit dari Soma yang telah kehilangan nektarnya. Aku menyesapnya perlahan, membiarkan racunnya meresap ke dalam jiwa, sebab tidak semua kepedihan harus dienyahkan, tidak semua luka harus segera disembuhkan. Beberapa luka ada untuk dikenang, menjadi tilaka di dahi perjalanan yang panjang.


Malam ini, aku adalah bayangan yang menari di antara cahaya lampu minyak. Aku mengulangi mantra-mantra lama, bukan untuk memanggil kesembuhan, tetapi untuk menyatu dengan kehampaan. Aku tidak lagi mencari obat, karena aku tahu, beberapa luka bukan untuk disembuhkan, tetapi untuk diterima seperti air sungai Gangga yang mengalir ke laut tanpa bertanya ke mana akhirnya.


Aku telah menjadi kertas yang diisi dengan aksara yang luntur, cerita yang tak lagi terbaca. Tetapi di antara noda dan sobekan ini, masih ada puisi yang tertulis dalam bahasa yang hanya bisa dimengerti oleh mereka yang pernah patah. Mungkin duka ini bukan kutukan, tetapi prasasti yang mengabadikan bahwa aku pernah benar-benar mencintai, meski akhirnya harus kehilangan.


Aku menatap ke langit dan bertanya pada bintang-bintang, apakah mereka juga menyimpan kesedihan dalam kilaunya? Apakah mereka juga merayakan kehilangan dengan bersinar lebih terang? Barangkali kita sama—menjadi cahaya dalam kegelapan, tetapi di dalamnya menyimpan kehampaan yang tak terukur.


Biarkan malam ini menjadi yajña bagi luka-luka yang tak bisa kuhapus. Biarkan angin membawa kesedihan ini ke sudut-sudut semesta, seperti abu yang dilepaskan ke sungai suci. Aku tidak meminta kebahagiaan, tidak meminta penghiburan. Aku hanya ingin duduk di antara bayangan masa lalu, mengangkat gelas bersama duka, dan bersulang untuk kehilangan yang telah menjadikanku seperti ini.


Karena mungkin, beberapa luka memang tak ditakdirkan untuk sembuh. Seperti gunung yang tetap menyimpan api dalam diamnya, seperti langit yang menyimpan gerimis di balik birunya. Aku tidak lagi melawan. Aku hanya membiarkan semuanya mengalir, membiarkan luka itu menjadi bagian dari diriku, seperti malam yang selalu berdampingan dengan fajar.


Dan ketika matahari esok terbit, aku tidak akan berpura-pura utuh. Aku hanya akan berjalan dengan luka-luka yang telah menjadi bagian dari jiwaku, seperti mantra yang tak perlu diucapkan untuk tetap memiliki makna.


Raja Ampat, 24 Maret 2025

Sabtu, 22 Maret 2025

BATU NISAN UNTUK YANG BERNAMA KEADILAN

 BATU NISAN UNTUK YANG BERNAMA KEADILAN

Karya: Pena_Lingga & Jejak Aksara


Riuh suara dari ibu kota, menggema hingga pelosok desa.

Orang-orang bercakap tentang keadilan, yang kini tinggal cerita lama.

Di meja-meja warung kopi, di jalan-jalan yang mulai sepi,

hanya ada keluh kesah mereka yang tak tahu harus berharap pada siapa.


Di sisi lain, ada yang hidup tanpa beban,

bersandar nyaman di kursi empuk dengan senyum menawan.

Mereka terbang ke negeri seberang, menikmati senja di pantai asing,

sementara di sini, ada yang tak bisa tidur karena perutnya keroncongan.


Harga melambung, nasib terpuruk,

rakyat kecil dipaksa tunduk.

Mereka yang haus keadilan justru disuruh bersabar,

sementara mereka yang menindas bebas tertawa tanpa beban.


Hukum tak pernah benar-benar tajam ke atas,

hanya tajam ke bawah, menghunus yang tak punya kuasa.

Koruptor dihukum ringan lalu kembali bersulang,

sementara pencuri nasi dipukul hingga tak berdaya.


Dan begitulah negeri ini terus berjalan,

dengan janji-janji yang tak pernah ditunaikan.

Rakyat hanya diminta bersyukur dan diam,

sementara mereka terus berpesta tanpa rasa malu sedikit pun.


Bahkan banyaknya kalam penenang dari para maling negeri, tak lain hanya sebatas bualan tanpa kinerja yang pasti. Lalu apa yang hendak dibanggakan? Sedangkan kemerdekaan berubah menjadi kesengsaraan.


Tuntutan rakyat pun hanya sekedar melintasi gendang telinga, namun penindasan masih saja merajalela. Selayaknya desir badai yang berhembus, meski merobohkan ribuan pohon tanpa harus ada dosa yang ditebus.


Tak heran jika rakyat mengutuk atas obralan janji mulut sampah berbau busuk. Sedikit kerja nyata, namun mengeruk pundi-pundi rupiah tanpa jeda.


Harus bagaimana lagi kami menuntut? Sedangkan banyaknya nyawa yang teriak beradu nadi dianggap sebagai kumpulan benang kusut.


Kami hanya menginginkan hak kemerdekaan yang seharusnya beralih menjadi kesejahteraan, bukan bualan penjahat negeri yang menindas tanpa rasa kasihan. Rakyat mati perlahan memeluk sumpah serapah atas kelakuan bajingan berpangkat yang tak takut kepada Tuhan.


Negeri gelap, 22 Maret 2025

Rabu, 19 Maret 2025

PART PALING INDAH ADALAH BERSAMAMU

 Part Paling Indah Adalah Bersamamu

Karya : Pena_Lingga


Denganmu adalah part yang tidak ingin kuakhiri. Seperti alur cerita yang selalu kutunggu kelanjutannya, kamu adalah bab yang ingin terus kubaca tanpa pernah mencapai kata tamat. Setiap detik bersamamu adalah halaman-halaman indah yang kuhafal di luar kepala, karena begitu berharga untuk kulupakan.


Aku tak butuh akhir bahagia jika itu berarti harus sampai di penghujung kisah. Sebab, bersamamu sendiri sudah cukup membuatku merasa utuh, membuatku percaya bahwa kebahagiaan bukan tentang tujuan, melainkan tentang perjalanan yang kita jalani bersama.


Kau adalah tempatku pulang, rumah yang selalu kurindukan meski baru saja kutinggalkan. Setiap senyummu adalah pintu yang terbuka lebar, menyambutku dengan ketenangan yang tak bisa kutemukan di mana pun. Aku ingin selamanya berada di dalamnya, bernaung di bawah kasihmu tanpa takut tersesat.


Jika hidup adalah sebuah lagu, maka kamu adalah nadanya. Tanpamu, melodi ini akan terdengar hampa, kehilangan makna dan keindahan yang membuatnya layak untuk didengar. Kau membuat segalanya lebih berwarna, lebih berarti, dan lebih hidup.


Aku ingin terus menggenggam tanganmu, bukan hanya saat kita berjalan di bawah langit cerah, tetapi juga saat badai menerpa. Aku ingin menjadi perahu kecil yang selalu berlayar di samudramu, mengarungi setiap gelombang dengan keyakinan bahwa kau adalah tujuanku.


Dunia mungkin penuh ketidakpastian, tetapi satu hal yang selalu kuyakini adalah perasaanku padamu. Aku tak ingin mengucapkan selamat tinggal, karena bagiku, kita adalah cerita yang seharusnya terus berlanjut, tanpa jeda, tanpa titik akhir.


Denganmu, aku belajar bahwa mencintai bukan hanya tentang memiliki, tetapi juga tentang berbagi kebahagiaan, memahami tanpa diminta, dan bertahan meski badai datang menghadang. Kau mengajariku bahwa cinta bukan tentang mencari kesempurnaan, tetapi tentang menerima dengan hati yang lapang.


Aku ingin terus menulis kisah kita, mencatat setiap tawa dan air mata dalam kenangan yang tak akan pernah pudar. Aku ingin kita tetap di halaman yang sama, membaca kisah ini bersama, tanpa takut kehilangan satu sama lain.


Jika takdir mengizinkan, aku ingin selamanya berada di sisimu. Menjadi hangatnya mentari di pagi harimu, menjadi lembutnya angin yang menemani langkahmu, menjadi segala sesuatu yang kau butuhkan tanpa harus kau pinta.


Jadi, bisakah kita terus berjalan bersama? Tanpa takut pada waktu, tanpa khawatir akan akhir. Sebab, denganmu, aku menemukan rumah, menemukan makna, dan menemukan cinta yang tidak ingin kutinggalkan. Karena denganmu, segalanya terasa cukup—dan aku tak ingin mengakhirinya.


Samarinda, 20 Maret 2025

Selasa, 18 Maret 2025

JEJAK LUKA DI TAPAL SENJA

 Jejak Luka di Tapal Senja 

Karya : Pena_Lingga


Dulu aku meniti jejak di ujung cakrawala, menapaki bayangan senja yang kau tinggalkan. Langit bersenandung dalam bisikan angin, melarutkan rinduku dalam gemuruh waktu yang tak berbelas kasih. Aku mengejarmu, melawan arus takdir yang tak pernah berpihak, menggapai siluetmu yang kian menjauh.


Kusulam harap dalam gemintang yang berpendar di lazuardi. Setiap langkah, setiap desir napas, adalah persembahan bagi hadirmu yang tak kunjung nyata. Kau serupa ilusi dalam kidung dewata, mengalun tanpa bentuk, namun suaramu mengakar di dasar dada. Aku menari dalam bayang-bayang semu, mengira genggamanku telah erat, padahal hanya udara yang kujangkau.


Kulempar rinduku ke samudra tak bernama, berharap gelombang membawanya ke hatimu. Namun, angin telah berkhianat, menyeretnya ke jurang tak bertepi. Ombak menelan setiap bisikan, menguburnya di palung yang tak bisa kuraih. Kau berlari bagai bayang dalam candra kala, semakin samar, semakin jauh, meninggalkanku dengan gema keheningan.


Tanganku pernah menaut langit nan tinggi, menantang takdir dengan doa-doa yang kutanam di langit senja. Kukira, semesta akan berbisik padamu tentang perjalananku. Namun, waktu menari dengan pedang durjana, mengoyak harapan yang kugenggam erat. Kidung yang dulu indah, kini menjelma nyanyian duka yang merintih dalam kesunyian.


Kini langkahku bagai kidang kehilangan rimba, tersesat dalam lorong waktu yang menelan cahayaku. Aku menapak duri di sepanjang jalan, membiarkan luka mengukir jejaknya di kulit dan hati. Setiap rintik hujan yang jatuh, mengalirkan perih yang tak bisa kukeluhkan. Kau, yang dulu kunanti, kini menjelma samar di balik kabut kepedihan.


Aku bukan lagi pejuang dalam takdir yang membisu, bukan lagi pelari dalam pengejaran yang sia-sia. Kau telah menjadi mantra yang tak terucap, menjelma gaung dalam malam yang enggan berakhir. Keberadaanmu adalah bayangan yang tak lagi kuburu, namun tetap melekat, bagai aroma yang tertinggal di udara yang kusesap.


Ruang-ruang kosong di jiwaku telah dipenuhi bayangmu, namun tak ada kehangatan di sana. Hanya sepi yang bersemayam, hanya luka yang menganyam waktu. Aku bukan pemilik takdir, bukan pula pemahat nasib yang bisa menulis ulang kisah ini. Kau dan aku, hanyalah garis yang tak akan pernah bertemu di persimpangan.


Wahai bayu yang menyimpan bisik purba, bawalah keluhku ke ufuk yang tak berwarna. Biarkan dunia tahu bahwa aku pernah mengejar, pernah berlari tanpa henti, hanya untuk berakhir dalam kelelahan yang tiada ujung. Aku tak meminta kau kembali, aku hanya ingin kehilangan ini menjadi nyata, agar tak ada lagi fatamorgana yang menggodaku untuk berharap.


Duka ini telah menancapkan akarnya, menjadikanku tanah tandus tanpa musim semi. Aku tak ingin menyesali jejak yang telah kutinggalkan, namun perihnya tetap mengakar. Biarkan luka ini menjadi batu tak bernyawa, menjadi saksi bisu bahwa aku pernah mencintai, pernah berjuang, dan kini memilih menyerah.


Di pusaran takdir yang meluluhlantakkan rasa, aku berhenti melawan. Tak ada lagi langkah yang mengejarmu, tak ada lagi tangan yang terulur dalam kekosongan. Aku berdiri di ambang kehampaan, membiarkan waktu menghapus sisa namamu dari ingatanku. Jika esok aku tak lagi mengingatmu, itu bukan karena aku tak pernah mencintai, melainkan karena aku telah selesai dengan luka ini.


Samarinda, 18 Maret 2025

Senin, 17 Maret 2025

MUNGKIN TANPAMU AKAN LEBIH BAIK

 Mungkin Tanpamu Akan Lebih Baik

Karya : Pena_Lingga


Mungkin tanpamu, hidupku akan lebih tenang. Tak ada lagi debar cemas yang mengusik tidurku, tak ada lagi ketakutan yang datang tiba-tiba setiap kali bayangan kehilangan melintas di kepala. Aku tak perlu lagi menunggu pesan yang tak kunjung datang atau mencari kepastian di tengah keraguan yang kau ciptakan sendiri.


Tanpamu, mungkin aku bisa merasakan damai yang selama ini hanya menjadi angan. Seperti ombak yang akhirnya menemukan kesunyian di tepi pantai, tak lagi dihantam gelombang ketidakpastian. Aku bisa berhenti bertanya-tanya apakah kehadiranku benar-benar berarti, atau hanya sekadar nama yang kau sebut saat sepi datang menyapamu.


Mungkin tanpamu, aku akan lebih mengenal diriku sendiri. Tak ada lagi perasaan harus membuktikan segalanya, tak ada lagi usaha sia-sia untuk meyakinkanmu bahwa perasaanku nyata. Aku bisa berjalan tanpa bayang-bayangmu membuntuti langkahku, tanpa harus terus menoleh ke belakang, mencari jejak yang mungkin tak pernah benar-benar ada.


Namun anehnya, meski kutahu tanpamu lebih baik, hatiku tetap enggan melepaskan. Ada sisa-sisa kenangan yang masih menggantung di sudut pikiranku, ada jejak suara yang sesekali menggema di antara sunyi. Aku masih bisa merasakan hangatnya genggaman yang dulu pernah begitu nyata, meski kini hanya sebatas ilusi yang perlahan memudar.


Aku ingin percaya bahwa tanpa hadirmu, aku akan lebih bahagia. Aku ingin meyakinkan diriku sendiri bahwa cinta tidak selalu tentang mempertahankan, tetapi juga tentang merelakan. Namun, mengapa setiap kali mencoba melangkah pergi, ada sesuatu yang menarikku kembali? Seakan ada bagian dari diriku yang tertinggal di sana, di tempat di mana kau masih berdiri.


Barangkali ini hanyalah bias dari hati yang terlalu lama bertahan. Barangkali ini hanya luka yang belum sepenuhnya kering, yang masih nyeri saat tersentuh ingatan. Tapi aku tahu, jika terus seperti ini, aku hanya akan berputar di lingkaran yang sama—terjebak dalam harapan yang kian lama kian pudar.


Aku lelah berjalan dalam ketidakpastian, lelah mempertanyakan hal-hal yang seharusnya sudah kutinggalkan sejak lama. Aku ingin berhenti berharap pada sesuatu yang tak lagi nyata, pada perasaan yang perlahan kau redupkan tanpa pernah benar-benar memberi jawaban.


Mungkin tanpamu, aku tak lagi harus meraba-raba apakah aku cukup berarti. Aku tak perlu lagi berusaha keras untuk dimengerti, tak perlu lagi mencari-cari alasan atas sikapmu yang semakin menjauh. Aku ingin percaya bahwa melepaskan bukanlah akhir dari segalanya, melainkan awal dari sesuatu yang lebih baik.


Jadi, kali ini aku akan mencoba. Mencoba untuk berhenti mencari namamu di antara keramaian, berhenti mengingat hal-hal yang dulu membuatku tersenyum, namun kini hanya menyisakan perih. Aku akan belajar menerima bahwa tidak semua yang kita genggam harus tetap kita pertahankan.


Mungkin tanpamu, aku akan lebih baik. Dan mungkin, hanya mungkin, aku akhirnya bisa menemukan bahagia yang tidak lagi bergantung pada hadirmu.


Samarinda, 17 Maret 2025


Rabu, 12 Maret 2025

👻DENDAM

 DENDAM

Karya : Pena_Lingga


Malam mencekam. Angin berembus dingin, membawa aroma tanah basah yang bercampur dengan bau busuk. Pohon randu di belakang rumah berdiri kokoh, akar-akarnya mencengkeram bumi seolah menyembunyikan sesuatu.


Aku duduk bersila di beranda, menyalakan dupa. Kopi hitam mengepul dalam cangkir, rokok di tangan perlahan terbakar. Udara mendadak terasa lebih berat, lebih dingin.

Lalu, wangi melati menyeruak tajam.


" Keluarlah, Aku tau kau ada disini "


"Kuntilanak... Kuntilanak...kuntilanak, Keluarlah.."



Dari balik pohon randu, sosok itu muncul. Gaun putihnya compang-camping, penuh noda tanah dan bercak darah mengering. Rambut panjangnya kusut, wajahnya pucat, matanya hitam legam seperti lubang tanpa dasar.


Ia berjalan tertatih, tubuhnya berguncang menahan isak.


Hiii... hiii... hiii...


" Hei ! Manusia Laknat,Pendosa"

"Apa kau tau, bahwa Aku... mati di sini..." 

"Mereka membunuhku... mereka menyiksaku... mereka Memperkosaku dan tertawa saat aku menangis..."


" Hiii...hiii...hiii.."


"Aku berteriak... aku memohon... aku merintih... Tapi mereka tidak peduli! Mereka mencabik tubuhku, menendangku, menusukiku dengan pisau! Kulitku robek, darahku mengalir... aku kesakitan... aku menggigil..."

"Lalu mereka menyeretku ke sini... ke bawah pohon randu ini... Aku masih hidup saat itu!"


Ia tertawa pelan, tawa yang serak dan dingin.


"Aku bisa mendengar suara mereka... Aku bisa merasakan tanah menimbunku... Aku mencoba menggaruk tanah, mencoba keluar... Tapi tubuhku semakin lemah... Nafasku semakin pendek... Aku mati perlahan..."


Ia menatapku tajam, matanya mulai berkilat merah.


"Tapi mereka salah... Mereka pikir aku sudah lenyap... Mereka pikir mereka bisa melupakanku..."


Suaranya berubah menjadi lebih dalam, penuh amarah.


"Aku akan datang pada mereka... Aku akan menyusup ke dalam mimpi mereka... Aku akan berdiri di sudut kamar mereka, menatap mereka saat mereka tidur..."


Ia mendekat, sangat dekat, hingga aku bisa mencium bau anyir dari tubuhnya.


"Aku akan berbisik di telinga mereka..." suaranya berubah menjadi lirih. "Aku akan membuat mereka merasa apa yang aku rasakan... Aku akan menyentuh kulit mereka dengan jari-jari dinginku... Aku akan menindih mereka di ranjang, membuat mereka tak bisa bergerak..."


Ia tertawa lagi, lebih kencang, lebih menyeramkan.


"Aku akan mencakar tubuh mereka, menyayat kulit mereka, menusukkan jari-jariku ke mata mereka... Aku akan menyeret mereka ke bawah pohon randu ini! Aku akan membuat mereka mati perlahan... sama seperti yang mereka lakukan padaku..."


Angin tiba-tiba berembus kencang, nyala dupa bergetar hebat. Daun-daun randu berguguran, suara-suara aneh berbisik di sekitarku.


Ia mengangkat tangannya tinggi, matanya kini merah menyala.


"MEREKA AKAN MERASAKAN SIKSAKU!!!"


Dalam sekejap, tubuhnya melayang ke udara, rambutnya berkibar liar, gaunnya mengepak seperti sayap.


Lalu, ia menghilang.


Tapi aku tahu...


Ia sedang menuju mereka yang telah membunuhnya.

Dan mereka... tidak akan bisa lari.



Samarinda, 13 Maret 2025


Selasa, 11 Maret 2025

🫀 PERKENALKAN

 Perkenalkan, Aku Adalah Hati yang Pernah Kau Lukai


Karya : Pena_Lingga


Perkenalkan, aku adalah hati yang pernah kau lukai. Aku bukan siapa-siapa, hanya sebuah hati yang dulu pernah percaya, pernah berharap, dan pernah mencintai dengan seluruh ketulusan yang kupunya. Namun, kau datang bukan untuk tinggal. Kau hanya singgah, membawa kebahagiaan sesaat lalu pergi meninggalkan luka yang tak kuketahui bagaimana cara menyembuhkannya.


Aku memilih diam, bukan karena aku tak mampu membalas, tetapi karena aku tak tahu bagaimana cara melukai seseorang yang pernah kucintai sedalam itu. Aku bertanya-tanya, apakah kau sadar akan jejak luka yang kau tinggalkan? Ataukah bagimu, aku hanyalah salah satu dari banyak hati yang pernah kau singgahi tanpa benar-benar ingin menetap?


Aku menghabiskan banyak waktu mencoba memahami, apakah salahku sehingga kau pergi tanpa menoleh? Apakah aku terlalu lemah dalam mencintai atau justru terlalu kuat hingga kau takut terikat? Namun, sekeras apa pun aku mencari jawaban, yang kudapati hanyalah keheningan yang semakin menyiksa.


Hari-hari berlalu, dan aku tetap di sini, bersama diamku. Aku tidak meminta kau kembali, aku juga tidak ingin kau merasakan sakit yang sama. Aku hanya ingin mengerti, bagaimana mungkin seseorang bisa melupakan secepat itu, sementara aku masih terjebak dalam bayang-bayang yang kau tinggalkan?


Diamku bukan tanda menyerah, bukan pula tanda pasrah. Diamku adalah caraku menjaga hati ini agar tidak semakin hancur. Aku pernah berpikir untuk membalas semua luka ini, untuk membuatmu merasakan pedih yang sama, tapi aku sadar, aku bukan seperti itu. Aku tidak ingin menjadikan luka sebagai warisan yang terus berulang.


Mungkin di matamu aku terlihat bodoh, terlalu lemah untuk melawan rasa sakit ini. Tapi bagiku, bertahan dalam diam adalah keberanian yang paling besar. Aku memilih untuk tetap percaya bahwa suatu hari, luka ini akan sembuh dengan sendirinya. Bukan karena waktu, tetapi karena aku akhirnya belajar menerima bahwa tidak semua yang kita cintai akan tinggal selamanya.


Jika suatu saat kau membaca ini, aku ingin kau tahu bahwa aku baik-baik saja. Luka ini mungkin masih ada, tapi aku tidak akan membiarkannya menguasai seluruh hidupku. Aku telah belajar bahwa mencintai tidak selalu tentang memiliki, dan kehilangan bukan akhir dari segalanya.


Aku bukan lagi hati yang sama seperti dulu. Aku telah tumbuh, telah belajar, dan perlahan-lahan, aku menemukan cara untuk berdamai dengan masa lalu. Aku tidak menyesal pernah mencintaimu, meskipun kau memilih untuk pergi. Sebab, dari luka ini, aku belajar mencintai diriku sendiri lebih dalam.


Jadi, terima kasih telah menjadi bagian dari perjalanan ini. Terima kasih telah mengajarkan aku tentang kehilangan, tentang kesabaran, dan tentang bagaimana melepaskan seseorang tanpa harus membenci. Kini, aku melangkah maju, bukan untuk melupakan, tapi untuk menemukan kebahagiaan yang benar-benar layak untuk hatiku.


Samarinda, 12 Maret 2025

TERNYATA SESAKIT INI YA

 Ternyata sesakit ini ya

Karya : Pena_Lingga


Ternyata sakit, ya, menjadi orang yang diduakan. Rasanya seperti berdiri di tengah hujan deras tanpa payung, basah oleh luka yang tak terlihat. Aku pikir cinta itu cukup ketika aku memberi yang terbaik, tapi ternyata tidak semua orang melihat ketulusan sebagai sesuatu yang berharga.


Aku pernah percaya bahwa jika aku mencintai dengan sepenuh hati, aku akan dicintai dengan cara yang sama. Nyatanya, aku hanya menjadi pilihan kedua—sesuatu yang ia jaga ketika yang lain tidak ada. Aku bukan rumah, aku hanya persinggahan.


Rasanya menyakitkan mengetahui ada orang lain yang lebih diutamakan dariku. Bukan sekadar rasa cemburu, tapi lebih kepada perasaan tak dihargai. Aku mempertanyakan diriku sendiri: apakah aku kurang baik? Kurang cukup? Kurang layak untuk dicintai sepenuhnya?


Aku mencoba memahami, berusaha mencari alasan. Mungkin aku terlalu menuntut, atau mungkin aku yang terlalu berharap lebih. Tapi semakin aku mencari jawaban, semakin aku sadar bahwa cinta seharusnya tidak membuat seseorang merasa kalah.


Aku ingin menjadi satu-satunya, bukan salah satunya. Aku ingin dicintai tanpa harus berbagi. Jika aku berusaha sepenuh hati, mengapa aku hanya mendapatkan separuh? Bukankah cinta yang tulus seharusnya tidak butuh perbandingan?


Lama-lama, aku lelah. Aku tidak ingin terus-menerus bertanya apakah aku cukup baik. Aku tidak ingin merasa tersisihkan oleh pilihan yang ia buat. Aku berhak untuk bahagia, bukan hanya menunggu sisa-sisa perhatian yang mungkin tersisa.


Aku sadar, bertahan dalam hubungan yang tidak menempatkanku sebagai prioritas hanya akan membuatku kehilangan diriku sendiri. Aku tidak ingin menjadi seseorang yang terus-menerus memohon untuk dicintai. Aku ingin seseorang yang melihat keberadaanku sebagai sesuatu yang berharga.


Ternyata, melepaskan seseorang yang tidak benar-benar memilihku jauh lebih baik daripada bertahan dalam ketidakpastian. Aku ingin melangkah maju, menemukan cinta yang tidak membuatku merasa tersisih. Aku ingin dicintai dengan utuh, tanpa ragu, tanpa perbandingan.


Aku belajar dari luka ini. Aku belajar bahwa mencintai diri sendiri jauh lebih penting daripada bertahan dalam hubungan yang tidak menghargai. Jika aku bukan yang pertama di hatinya, maka aku lebih baik pergi. Aku lebih baik sendiri daripada merasa sendirian dalam hubungan.


Dan pada akhirnya, aku percaya bahwa suatu hari nanti, aku akan menemukan seseorang yang tidak akan membuatku merasa diduakan. Aku akan menemukan cinta yang tidak setengah-setengah, cinta yang tidak membuatku bertanya apakah aku cukup. Aku akan menemukan cinta yang utuh, seperti yang seharusnya.


Samarinda, 12 Maret 2025

Senin, 10 Maret 2025

🦋MARIPOSA🦋

 🦋MARIPOSA🦋

Karya : Pena_Lingga


Cinta ini seperti Mariposa—halus, lembut, dan tak kasatmata, menari di udara dengan aroma yang memikat. Ia adalah anak rusa yang selalu ingin bebas, terbang ke segala penjuru dunia tanpa bisa dikekang. Aku bisa melihatnya, bisa merasakannya, tetapi tak bisa benar-benar memilikinya.


Engkau datang seperti rembulan di malam tanpa cahaya, membawa sinar dalam gelapku. Hatiku yang dulu seperti kehampaan, kosong tanpa warna, kini bermekaran dengan bunga yang kau tebarkan. Senyummu adalah permata, kilauannya membuat segalanya tampak lebih indah. Namun, aku takut, rembulan itu akan tenggelam dan meninggalkan malamku kembali gulita.


Cinta kita bagai angin di musim kemarau, membelai lembut tapi tak bisa disentuh. Aku tahu ia ada, aku bisa merasakannya, tetapi ia terlalu halus untuk digenggam. Ia membisikkan janji seperti mantra, tetapi janji itu seperti ilusi, sesuatu yang hanya bisa dipercaya saat kita masih ingin memercayainya.


Engkau adalah matahari, menerangi jalanku yang dulu penuh bayangan. Aku berjalan di bawah sinarmu, merasa hangat dan damai. Namun, sinar itu kini terasa berbeda—dingin, seperti senja yang bersiap tenggelam. Aku takut kau akan pergi seperti matahari yang bersembunyi di balik cakrawala.


Waktu mengalir seperti sungai, deras tanpa bisa dihentikan. Kita adalah dua daun yang hanyut di arus yang sama, tapi pusaran kehidupan membuat kita perlahan terpisah. Aku ingin bertahan, ingin menggenggam erat. Namun, engkau seperti gumpalan tanah basah, semakin aku mencengkram, semakin engkau hancur dalam genggamanku.


Cintamu seperti hujan di musim gugur, datang membawa kesegaran, menyirami tanah hatiku yang retak. Aku merasa hidup, merasa napas yang kau berikan mengalir dalam setiap inci diriku. Tapi hujan itu mulai reda, menyisakan tanah yang kembali kering, dan aku takut kemarau akan datang lebih panjang dari sebelumnya.


Tatapanmu adalah kilat, cahaya sekejap yang membelah gelap, mengubah kebimbangan menjadi keyakinan. Senyummu adalah air kehidupan, meneteskan kebahagiaan yang tak bisa kugambarkan. Tapi, kilat tak pernah bertahan lama, ia hanya sekejap, seperti bayangan yang ditelan malam.


Aku ingin menjadi rumah bagimu, tempat kau kembali setelah lelah mengarungi dunia. Aku ingin menjadi hutan yang selalu kau rindukan, tempat di mana kau bisa melepaskan segala beban tanpa takut kehilangan jati diri. Namun, aku sadar, burung sepertimu tak bisa dikurung dalam sangkar.


Jika cinta ini seperti Mariposa, biarkan ia terbang menuju langit. Jika ia memang ditakdirkan kembali, aku akan menjaganya dengan penuh keyakinan dan sepenuh hati. Tapi jika ia memilih pergi, aku akan merelakannya, melepaskannya dengan senyuman. Karena cinta sejati tak butuh rantai—ia hanya tahu jalan pulang.


Samarinda, 11 Maret 2025

Minggu, 09 Maret 2025

MAAF PALING MAAF UNTUK IBU

 Maaf Paling Maaf untuk Ibu

Karya: Pena_Lingga


Bu, aku hanyalah setetes embun di ujung daun, sementara engkau laksana samudra yang luas tak bertepi. Aku terlalu kecil untuk memahami seberapa dalam kasihmu, terlalu rapuh untuk membalas segala pengorbananmu. Dalam riak waktu yang berputar, aku hanyut dalam kesibukanku, melupakan akar yang selalu menghidupi ranting-ranting rapuhku.


Kau adalah cakrawala yang selalu menanti kepulanganku, sementara aku hanya burung yang terbang tanpa arah. Aku mengepakkan sayap sejauh mungkin, mengira dunia adalah tempatku berpijak, padahal rumah sejati adalah pelukanmu. Maaf, Bu, jika selama ini aku lebih memilih keindahan fatamorgana dunia, alpa bahwa sumber cahaya sejati telah lama menunggu dalam sunyi.


Duhai Ibu, engkau bagai cahaya surya yang tak pernah redup, meski aku sering menutup mata. Engkau adalah manik-manik kasih yang terus mengalir tanpa pamrih. Tapi aku? Aku adalah anak angin yang sering lupa arah, hanya kembali ketika badai menghantamku, meminta perlindungan tanpa pernah benar-benar menetap.


Aku sadar, aku terlalu sering menyakitimu dengan diamku. Engkau menanti kata-kataku, sementara aku sibuk berbicara dengan dunia. Engkau menanti genggamanku, sementara aku justru lebih erat menggenggam egoku. Aku adalah anak yang bodoh, yang baru menyadari arti tanganmu ketika waktu mulai mengikis kekuatannya.


Bu, betapa ingin aku mengembalikan masa kecilku, ketika aku bisa bersembunyi dalam dekapmu dan dunia terasa begitu aman. Tapi waktu bagaikan sungai yang terus mengalir, tak bisa kuhentikan, tak bisa kuputar kembali. Aku hanya bisa menatapmu, dengan mata yang semakin basah, menyadari bahwa aku telah menyia-nyiakan banyak waktu yang seharusnya kuluangkan untukmu.


Jika kasihmu adalah cahaya, maka aku adalah bayangan yang selalu tertinggal. Jika doamu adalah mantra suci, maka aku adalah bisikan yang sering lalai. Maaf, Bu, untuk setiap luka yang mungkin pernah kau sembunyikan demi aku. Aku tahu kau tak pernah meminta balasan, tapi biarkan aku kali ini mengucap janji—bahwa aku akan menjadi anak yang lebih baik, sebelum semesta memisahkan kita.


Aku takut, Bu. Takut suatu hari aku pulang, tapi rumah itu telah sepi. Takut suatu hari aku menyesali segalanya, tapi penyesalan itu hanya tinggal gema di lorong waktu yang tak dapat kugapai. Aku ingin lebih lama bersamamu, ingin menjadi anak yang kau banggakan, ingin membayar setiap tetes keringat yang kau tumpahkan demi aku.


Engkau adalah kidung kehidupan yang tak pernah henti berdendang, sementara aku hanya seruling yang kadang lupa mengalunkan nada untukmu. Engkau adalah rembulan yang memanduku dalam gelap, sementara aku adalah pengembara yang sering tersesat. Jika bisa, aku ingin berlutut di hadapanmu dan berkata, "Ajari aku mencintaimu dengan benar, sebelum waktu merenggut segalanya."


Bu, maaf yang paling maaf. Jika ada kata yang lebih dalam dari maaf, ingin sekali aku mengucapkannya. Jika ada waktu yang bisa kubayar dengan pengorbananku sendiri, ingin sekali aku menukarnya untukmu. Aku tidak ingin sekadar mengucapkan kata cinta, tapi juga membuktikannya dalam setiap detik yang tersisa.


Semoga Tuhan menjagamu dengan tangan-Nya yang paling lembut, semoga semesta membalas semua kebaikanmu dengan cahaya yang abadi. Dan semoga, meski aku terlambat menyadari, masih ada waktu untukku menebus semua yang telah terlewat. Aku mencintaimu, Bu. Dengan segenap yang kupunya, dengan segala yang belum sempat kukatakan.


Samarinda, 10 Maret 2025

Sabtu, 08 Maret 2025

ALEGORI ELEGI DALAM ROMANSA

 Alegori Elegi dalam Romansa

Karya : Pena_Lingga


Duduklah, Puan, di kursi yang selalu kosong,

di antara sunyi yang menjahit luka.

Aku menunggu dalam bait-bait patah,

menuliskan cinta yang tak pernah sempurna.


Kita ini elegi yang merintih lirih,

seperti senja yang kehilangan jingga.

Bukan puisi, bukan prosa yang utuh,

hanya bayang-bayang yang saling menduga.


Aku layar yang terombang-ambing,

kau angin yang tak pernah pulang.

Kita bertemu di simpang keraguan,

namun selalu takut berpegang tangan.


Tak tahu mana yang lebih perih,

mencintai dengan luka yang sama,

atau merelakan kau menjadi kenangan,

yang hanya hadir dalam aksara.


Romansa kita perahu rapuh,

terhanyut dalam laut tanpa batas.

Mencari pelabuhan yang tak pernah ada,

menanti takdir yang selalu bias.


Aku tetap di sini, merawat sunyi,

menjadi rumah bagi rindu yang tak usai.

Sementara kau, bagai bintang jatuh,

datang sebentar, lalu lenyap tanpa jejak.


Mungkin kau takut pada kepastian,

mungkin aku takut pada kehilangan.

Kita menunda perpisahan dalam hening,

mengulur harapan yang semakin usang.


Jika cinta hanya menjadi elegi,

haruskah ia tetap kutulis?

Atau biarkan saja ia luruh sendiri,

agar tak lagi menyesakkan tangis?


Kau berkata, biarkan ia jadi alegori,

agar tetap abadi dalam kata.

Namun, adakah abadi yang tanpa nyeri,

di dunia yang terlalu nyata?


Dan malam ini, aku kembali menulis,

tentang kita yang tak pernah tuntas.

Menyulam rindu dalam sajak sendu,

mencintai dalam luka yang ikhlas.


Samarinda, 09 Maret 2025

YATIM-PIATU ( DIALOG )

 Yatim-Piatu

Karya : Pena_Lingga & Ilusi


Adek: 

Kak… perutku sakit… aku lapar sekali… Dari pagi tadi aku belum makan apa pun… Aku coba bertahan, Kak, tapi rasanya makin perih… Aku lemas, Kak… Aku nggak kuat lagi… Aku takut kalau malam ini kita nggak bisa makan lagi…


Kaka: 

Sabar ya, Dek… Kakak baru pulang kerja. Maaf Kakak lama… Kakak berusaha cari uang sebanyak mungkin hari ini, meskipun hasilnya nggak seberapa… Ini, Kakak bawa sedikit nasi dan tempe untuk kita… Maaf ya, Dek, Kakak belum bisa membelikan makanan yang lebih enak…


Adek: 

Kak… kenapa cuma segini? Kakak juga harus makan, kan? Kakak pasti juga lapar… Kakak kerja dari pagi, Kakak capek… Aku nggak mau makan kalau Kakak nggak makan juga… Aku nggak mau cuma aku yang kenyang sementara Kakak kelaparan…


Kaka:

 Kakak nggak apa-apa, Dek… Kakak udah biasa nahan lapar… Yang penting kamu makan dulu, ya? Kakak mau kamu kenyang, supaya kamu nggak sakit… Kamu masih kecil, kamu butuh makan lebih banyak… Kakak kuat, sungguh…


Adek: 

Kakak bohong… Aku lihat wajah Kakak pucat… Kakak makin kurus… Kakak selalu bilang kuat, tapi aku tahu Kakak juga menderita… Kak, kalau Kakak sakit, nanti siapa yang jagain aku? Aku cuma punya Kakak di dunia ini… Aku nggak mau kehilangan Kakak juga…


Kaka:

 Sini, Kakak peluk dulu… Kakak janji nggak akan ninggalin kamu… Kakak akan tetap kuat buat kamu… Kakak cuma ingin kamu tetap sehat… Kakak rela lapar asal kamu bisa bertahan…


Adek: 

Tapi Kak… kalau Kakak terus kayak gini, nanti Kakak nggak punya tenaga buat kerja… Aku takut, Kak… Aku takut suatu hari Kakak pingsan karena terlalu capek dan kelaparan… Aku nggak bisa hidup sendirian tanpa Kakak…


Kaka:

 Kakak janji akan tetap bertahan… Tapi Adek juga harus janji nggak akan menyerah… Kita harus kuat bareng-bareng… Kita harus bisa keluar dari semua kesulitan ini… Suatu hari nanti, kita pasti akan hidup lebih baik…


Adek:

 Kak… aku rindu Ayah dan Ibu… Aku rindu rumah kita dulu… Dulu kita nggak pernah kelaparan, nggak pernah merasa takut… Dulu Ibu selalu masak buat kita… Ibu selalu memastikan kita kenyang sebelum tidur… Sekarang… setiap malam aku takut… Aku takut besok nggak bisa makan… Aku takut kita nggak bisa bertahan…


Kaka:

 Kakak juga rindu mereka, Dek… Rasanya dunia ini jadi sangat kejam sejak mereka pergi… Dulu kita selalu merasa aman, tapi sekarang… kita harus berjuang sendiri… Tapi Adek tahu nggak? Kakak yakin Ayah dan Ibu pasti ngelihat kita dari atas sana… Mereka pasti ingin kita tetap bertahan… Mereka pasti ingin kita tetap bersama, saling menjaga…


Adek: 

Kak, aku ingin bantu Kakak cari uang… Kalau aku juga kerja, pasti Kakak nggak akan sesusah ini… Aku bisa jualan di jalan, aku bisa bantu orang cuci piring di warung… Aku nggak mau Kakak sendirian… Aku ingin berjuang bareng Kakak…


Kaka:

 Adek masih kecil… Kakak nggak mau kamu kerja… Kakak mau kamu tetap sekolah, tetap belajar, supaya nanti kamu punya masa depan yang lebih baik… Kakak rela susah sekarang, asal nanti kamu bisa hidup dengan nyaman…


Adek: 

Tapi Kak… aku nggak tahan lihat Kakak menderita seperti ini… Setiap hari Kakak pulang dalam keadaan capek, kadang Kakak sakit tapi Kakak tetap kerja… Aku nggak mau Kakak terus-terusan begini… Aku ingin Kakak bisa istirahat…


Kaka: 

Kakak memang lelah, Dek… Kadang Kakak juga merasa ingin menyerah… Tapi setiap kali Kakak lihat kamu, Kakak ingat kalau Kakak harus tetap bertahan… Kamu adalah satu-satunya alasan Kakak masih kuat sampai sekarang…


Adek:

 Kak, aku janji… Kalau aku sudah besar, aku akan membalas semua yang Kakak lakukan buat aku… Aku akan kerja keras… Aku akan cari uang sebanyak mungkin supaya Kakak nggak perlu kerja berat lagi… Aku ingin lihat Kakak bahagia…


Kaka: 

Kakak nggak butuh balasan apa pun, Dek… Kakak cuma ingin lihat kamu bahagia… Cuma itu yang Kakak inginkan… Kakak ingin kamu bisa sekolah tinggi, bisa jadi orang sukses, supaya kamu nggak harus merasakan kesulitan seperti Kakak…


Adek: 

Kak, aku kangen makan ayam goreng buatan Ibu… Aku kangen masakan Ibu… Aku ingin makan enak lagi, Kak… Aku capek makan seadanya… Kapan kita bisa makan seperti dulu lagi?


Kaka:

 Kakak juga rindu masakan Ibu… Tapi untuk sekarang, kita harus bersabar dulu… Kakak janji, kalau nanti Kakak sudah punya cukup uang, Kakak akan belikan kamu makanan yang enak… Kita akan makan ayam goreng seperti dulu…


Adek: 

Kakak janji? Kakak nggak akan lupa janjinya?


Kaka:

 Kakak janji, Dek… Tapi kamu juga harus janji tetap kuat, tetap berusaha… Kita harus bertahan sama-sama, supaya nanti kita bisa keluar dari kesulitan ini…


Adek:

 Aku janji, Kak… Aku akan tetap kuat… Aku akan belajar dengan sungguh-sungguh… Aku ingin sukses supaya aku bisa bahagiakan Kakak…


Kaka: 

Itulah yang Kakak harapkan… Kakak ingin kamu bisa hidup lebih baik… Kakak nggak mau kamu merasakan penderitaan seperti Kakak…


Adek:

 Kak… aku sayang Kakak… Aku nggak tahu apa jadinya aku kalau nggak ada Kakak…


Kaka: 

Kakak juga sayang kamu, Dek… Kamu adalah alasan Kakak tetap bertahan…


Adek: 

Aku percaya Kakak… Selama Kakak ada di sini, aku nggak takut menghadapi apa pun…


Kaka: 

Dan selama kamu ada, Kakak punya alasan untuk terus hidup dan berjuang…


Samarinda, 8 Maret 2025

AYAH, AKU RINDU PELUKANMU

 Ayah, Aku Rindu Pelukanmu

Karya : Pena_Lingga


Ayah, dunia ini terasa semakin sesak, seperti malam tanpa bintang yang enggan memberi cahaya. Aku berjalan dalam gelap, tersandung beban yang semakin hari kian berat. Jika saja aku bisa berlari ke pelukanmu, mungkin semua ini tak akan terasa sehampa ini.


Aku lelah, Yah… Seperti ombak yang terus menerjang pantai, aku dihantam oleh kenyataan yang tak pernah berpihak. Langkahku terasa rapuh, seakan berjalan di atas jembatan kayu yang hampir patah. Aku butuh sandaran, aku butuh kamu.


Masih teringat jelas bagaimana dulu kau menepuk pundakku dengan lembut, menenangkanku dengan suara yang selalu terdengar seperti lagu pengantar tidur. Tapi kini, hanya sepi yang menggantikan suaramu. Hanya kenangan yang menjadi teman setiaku.


Aku mencoba kuat, mencoba berdiri tegak di tengah badai. Tapi tanpa pelukanmu, aku hanyalah layang-layang yang putus, terombang-ambing tanpa arah. Aku ingin menyerah, Yah… tapi aku tahu kau tak akan mengizinkanku tenggelam dalam kesedihan.


Setiap malam, aku berbicara dengan bintang-bintang, berharap mereka bisa mengantarkan rinduku padamu. Aku tahu itu mustahil, tapi apa lagi yang bisa kulakukan selain berharap? Rindu ini semakin menyesakkan, seperti tangan tak terlihat yang perlahan mencekik dadaku.


Andai waktu bisa diputar, aku ingin kembali ke masa kecil, saat aku bisa memelukmu kapan saja tanpa takut kehilangan. Saat dunia masih sederhana, dan kebahagiaan hanya sesederhana genggaman tanganmu. Kini, aku hanya bisa menggenggam udara kosong, merasakan dinginnya kehilangan.


Aku sering bermimpi bertemu denganmu, dan saat terbangun, aku berharap itu nyata. Tapi kenyataan selalu datang seperti tamparan keras, mengingatkanku bahwa kau sudah tak di sini. Ayah, mengapa perpisahan harus terasa sepedih ini?


Hidup terus berjalan, tapi langkahku terasa semakin berat. Seperti burung yang kehilangan sayapnya, aku tak tahu bagaimana bisa terbang lagi. Aku rindu pelukanmu, rindu setiap nasihat yang dulu sering kali kuabaikan. Kini, aku mengerti betapa berharganya setiap kata yang kau ucapkan.


Ayah, jika kau bisa mendengarku dari kejauhan, ketahuilah bahwa aku sedang berusaha bertahan. Aku tahu kau ingin melihatku tetap kuat, tapi terkadang aku tak bisa menahan air mata ini. Aku hanya ingin pulang, kembali ke dalam pelukan yang tak pernah menghakimi, hanya memberi kehangatan.


Aku akan tetap melangkah, meski kakiku gemetar. Aku akan tetap berjuang, meski hatiku hancur. Sebab aku tahu, kau pasti mengawasiku dari kejauhan, memastikan aku baik-baik saja. Ayah, tunggu aku dalam doa-doaku… sampai suatu hari nanti, aku bisa memelukmu lagi.


Samarinda, 09 Maret 2025

Jumat, 07 Maret 2025

JANGAN TANYAKAN SETIA PADAKU

 Jangan Tanyakan Setia Padaku

Karya : Pena_Lingga


Jangan menanyakan perihal cinta sejati padaku, karena aku pernah mencintaimu tanpa ukuran. Seperti laut yang merelakan dirinya menampung air mata langit, aku mencintaimu tanpa batas, tanpa tanya, tanpa ragu. Aku memberimu segalanya, bahkan lebih dari yang kupunya, hingga akhirnya aku sendiri yang terbenam dalam luka yang tak kunjung reda.


Aku mencintaimu dengan cara yang bahkan tak mampu kupahami. Seperti angin yang tak terlihat tapi selalu terasa, perasaanku padamu mengalir tanpa henti. Aku tak tahu kapan aku mulai jatuh, tapi aku tahu aku jatuh terlalu dalam. Dan kini, aku terjebak di dasar jurang yang kau gali tanpa pernah berpikir untuk menolongku naik kembali.


Mereka bilang cinta sejati adalah yang bertahan meski diterpa waktu. Tapi bagiku, waktu adalah badai yang merobek segalanya. Aku mencintaimu dengan segenap keberanian, namun kau memilih pergi dengan ringan, seolah aku hanyalah dedaunan kering yang mudah diterbangkan angin. Aku mencoba mengerti, tapi hatiku masih memberontak, menolak kenyataan bahwa aku hanyalah persinggahan sementara.


Aku berusaha berdamai dengan kehilangan, seperti malam yang harus menerima perpisahannya dengan senja. Tapi, semakin aku mencoba, semakin aku terseret ke dalam pusaran kenangan. Seakan setiap langkahku bergaung dengan suara langkahmu yang dulu selalu menemani. Aku lelah, tapi ingatan tentangmu masih mencengkeram erat, seperti bayangan yang tak bisa diusir bahkan dalam gelap.


Jangan menanyakan perihal cinta sejati padaku, karena luka ini masih berdenyut seperti ombak yang terus menghantam karang. Aku berjalan dengan hati yang koyak, mencoba menyulamnya dengan harapan, namun benang yang kupakai selalu putus di tengah jalan. Aku ingin percaya bahwa aku akan pulih, tapi entah kapan itu akan terjadi.


Aku ingin membencimu, ingin melupakan setiap hal tentangmu, tapi hatiku seperti ranting yang rapuh—hanya bisa patah, tapi tak bisa melupakan pohon tempatnya pernah tumbuh. Kau pernah menjadi keindahan yang kusyukuri, bagaimana mungkin aku bisa menghapusmu begitu saja? Aku hanya bisa menerima bahwa tak semua yang kita cintai akan bertahan selamanya.


Aku mencoba menemukan kebahagiaan di tempat lain, mencoba mencintai diri sendiri seperti bunga yang tetap mekar meski ditinggalkan musim semi. Tapi setiap kali seseorang mendekat, aku selalu takut. Takut jatuh, takut terluka, takut mencintai dengan cara yang sama seperti dulu. Karena aku tahu, jika aku jatuh lagi, mungkin aku tak akan sanggup bangkit.


Mereka bilang waktu akan menyembuhkan segalanya. Tapi bagiku, waktu hanyalah perahu tanpa dayung yang mengambang di lautan sepi. Aku terbiasa dengan sakit ini, bukan karena sembuh, tapi karena tak ada pilihan lain. Aku masih ingat bagaimana caramu menyebut namaku, bagaimana suaramu pernah menjadi lagu terindah. Kini, semua itu hanya gema yang menggantung di dinding ingatanku.


Jangan menanyakan perihal cinta sejati padaku, karena aku pernah percaya sepenuh hati. Aku pernah berharap, pernah berjuang, pernah mencintai dengan segenap jiwaku. Tapi aku juga pernah kehilangan segalanya dalam sekejap. Cinta sejati? Mungkin ada, tapi aku tak ingin lagi membahasnya.


Aku hanya ingin hidup tanpa bayang-bayangmu. Aku ingin berhenti meraba luka yang tak kunjung sembuh. Aku ingin meyakinkan diriku bahwa suatu hari nanti, cinta tak akan lagi terasa seperti kehilangan. Tapi sebelum hari itu tiba, biarkan aku menyimpan semua ini dalam diam.


Samarinda, 8 Maret 2025

Rabu, 05 Maret 2025

SEBATAS MERAYAKAN

 SEBATAS MERAYAKAN

Karya : Pena_Lingga


Aku sedang belajar merayakan kepergianmu, seperti senja yang tetap indah meski tahu malam akan datang menggantikannya. Bukan karena aku tak ingin bertahan, tapi karena aku sadar, beberapa kisah memang ditakdirkan untuk selesai.


Kita pernah menjadi puisi yang kutulis dengan sepenuh hati, namun kini kau menjelma bait yang harus kusudahi. Aku masih membaca kembali kisah kita, bukan untuk menyesali, hanya sekadar memastikan bahwa itu memang pernah terjadi.


Kau adalah angin yang pernah membelai lembut jiwaku, kini berubah menjadi bayang samar yang perlahan menjauh. Aku tak lagi mengejarmu, sebab aku tahu, yang ingin tinggal tak perlu dipertahankan.


Aku tak pernah benar-benar kehilanganmu, seperti embun yang selalu datang setiap pagi, meski akhirnya harus menguap oleh terik. Aku hanya belajar menerima, bahwa tak semua yang datang ditakdirkan untuk menetap.


Kenangan tentangmu masih menggantung di udara, seperti aroma hujan yang tertinggal setelah reda. Aku menghirupnya dalam-dalam, bukan untuk kembali merindu, hanya sekadar merayakan bahwa dulu aku pernah sebahagia itu.


Kita adalah perahu yang berlayar dalam lautan takdir, namun akhirnya berlabuh di dermaga yang berbeda. Aku tak menyalahkan angin atau ombak, sebab mungkin inilah perjalanan yang harus kita tempuh masing-masing.


Aku berdiri di persimpangan, menatap langkahmu yang semakin menjauh. Tak ada tangis, tak ada jerit kehilangan—hanya sebuah senyum tipis, sebagai tanda bahwa aku merayakan kebahagiaanmu, meski bukan denganku.


Aku bukan tak ingin melupakan, hanya saja, beberapa kenangan terlalu indah untuk dihapus begitu saja. Seperti lukisan lama yang tetap tergantung di dinding, meski rumah ini telah lama kutinggalkan.


Kini aku merayakan sunyi, menjadikannya sahabat dalam malam-malamku. Aku tak lagi takut pada sepi, sebab aku tahu, di dalamnya ada ruang untuk mengenang tanpa harus berharap kembali.


Aku menulis namamu di langit hatiku, bukan untuk menunggu kau kembali, tapi sebagai tanda bahwa pernah ada seseorang yang begitu kucintai dengan seluruh jiwa. Kau akan tetap ada, meski tak lagi dalam genggaman.


Jadi, jika suatu hari kau bertanya apakah aku baik-baik saja, jawabannya adalah ya. Aku tak lagi menunggu, tak lagi bertanya, tak lagi berharap. Aku hanya merayakan, bahwa kita pernah ada, meski kini menjadi cerita yang tak lagi sama.


Dan jika takdir mempertemukan kita kembali, semoga kita bertemu bukan sebagai dua hati yang menyesali, melainkan sebagai dua jiwa yang telah berdamai dengan apa yang seharusnya terjadi.


Samarinda, 06 Maret 2025

Senin, 03 Maret 2025

PATAH HATI PALING SEKARAT-PART3

 Patah Hati Paling Sekarat – Part 3

Karya : Pena_Lingga


Aku adalah angin yang kehilangan arah, melayang tanpa tujuan di antara puing-puing kenangan. Seperti cakra yang terus berputar, tak henti-henti membawa luka yang tak jua sembuh. Dalam gulungan takdir yang kau ukir dengan kebohongan, aku menjadi sekadar bayangan yang terlupa.


Kau adalah surya yang pernah menghangatkanku, lalu berubah menjadi dahana yang membakar segala harapan. Dalam api cintamu, aku luluh lantak, menjadi abu yang ditiup oleh waktu. Aku hanya bisa menatap kehancuran ini, tanpa daya mengumpulkan serpihan yang berserakan.


Sumpah yang kau ucap dulu kini tak lebih dari aksara hampa, hilang terbawa gelombang takdir yang kejam. Aku masih mengingat suaramu, seperti mantra yang dulu menenangkan, kini berubah menjadi kutukan yang membuatku tersesat dalam gulita.


Rindu ini menjelma belati, menancap tanpa ampun di dadaku. Seperti karma yang tak bisa kuhindari, bayangmu terus menghantuiku, menari di setiap sudut sunyi. Aku ingin lari, namun jejakmu telah tertanam dalam tapak takdirku.


Kau tinggalkan aku seperti janji yang tak pernah ditepati, terombang-ambing di antara harapan dan kepahitan. Aku hanyalah aksara yang kau tulis lalu kau hapus tanpa peduli, hilang sebelum sempat terbaca oleh semesta.


Seandainya aku adalah padma yang tumbuh di hatimu, mungkin aku bisa bertahan. Tapi aku hanyalah kelopak yang kau buang sebelum sempat mekar, layu sebelum sempat mencium cahaya cintamu.


Waktu berputar seperti chakra yang tak kenal lelah, tapi sakit ini tetap tinggal. Aku mencoba menghapusmu seperti ombak yang menghapus jejak di pasir, tapi entah mengapa, namamu tetap terukir dalam batinku.


Jika cinta ini adalah samsara, maka aku telah terjebak di lingkaran tak berujung, jatuh berulang kali ke dalam luka yang sama. Aku ingin bebas, tapi setiap langkah menuju kebebasan justru membawaku kembali kepadamu.


Kini aku berdiri di ambang takdir yang kau tinggalkan, bertanya pada semesta yang bisu. Adakah aku hanya seorang pejalan yang kau persilakan masuk untuk kemudian kau usir tanpa alasan? Ataukah aku memang ditakdirkan hanya sebagai persinggahan dalam perjalanan cintamu?


Aku bukan lagi seorang pecinta, hanya sisa dari sebuah kisah yang tak selesai. Aku akan pergi, membawa luka ini sebagai tanda bahwa aku pernah ada di hidupmu. Dan semoga, di kehidupan berikutnya, kita tidak perlu lagi saling kehilangan.


Samarinda,04 Maret 2025

Minggu, 02 Maret 2025

CORETAN SEDERHANA UNTUKMU YANG KUCINTA

 Coretan Sederhana untukmu yang Kucinta

Karya: Pena_Lingga


Seperti angin yang berembus di antara daun-daun nyiur, namamu hadir dalam relung hatiku, meneduhkan, menenangkan. Aku menyebutmu dalam sunyi, dalam jeda waktu yang terasa abadi, seakan semesta pun mengerti bahwa namamu adalah mantra yang meneduhkan jiwaku.


Engkau bagai cahaya Chandra yang membelah gelap malam, sinarmu meresap ke dalam setiap sudut pikiranku, memberi ketenangan yang tak dapat kudefinisikan. Bahkan saat awan kelam menghalangi, aku tahu sinarmu tetap ada, menungguku dalam kesabaran yang tak bertepi.


Cintaku padamu seperti aliran sungai Saraswati, mengalir abadi, melintasi ruang dan waktu, tak pernah kering walau diterpa kemarau keraguan. Aku hanyalah seorang musafir yang mengikuti arusnya, terseret dalam pesonanya, dan rela tenggelam dalam derasnya rindu.


Setiap langkah yang kutempuh adalah jejak-jejak doa yang kuselipkan untukmu. Aku titipkan harapan pada angin yang berhembus dari barat, agar ia menyampaikan rinduku ke arahmu, membisikkan betapa namamu adalah kidung yang kudendangkan dalam setiap detak nadiku.


Seandainya cinta ini adalah aksara, maka engkau adalah aksara suci dalam kitab hatiku. Setiap kata yang kususun adalah untaian puja bagi hadirmu, dan setiap titiknya adalah tanda bahwa cintaku tak mengenal akhir, seperti cakra waktu yang terus berputar.


Aku mencintaimu dalam diam, seperti semesta yang menyembunyikan rahasia di balik cakrawala. Namun, diam ini bukanlah kesunyian, melainkan kidung yang hanya bisa didengar oleh hati yang peka, hati yang telah lama bersemayam dalam rindu.


Engkau adalah Tirtha Amerta, air keabadian dalam dahaga hatiku. Aku meneguk hadirmu dalam setiap bait doa, berharap tak akan pernah kehabisan rasa yang menghidupkan, sebab tanpamu, aku hanyalah padang gersang yang merindu tetesan hujan.


Biarlah waktu menguji kita dengan jarak dan ragu, sebab aku percaya, seperti cakra yang terus berputar, takdir akan membawa kita kembali pada satu titik temu. Aku tak takut pada gelap, sebab aku tahu di ujung malam, engkau adalah fajar yang akan selalu menyapa.


Jika cintaku adalah bintang, maka engkau adalah langit yang menampungnya. Tanpamu, aku hanyalah serpihan cahaya yang tersesat dalam kehampaan. Hanya dalam hadirmu, aku menemukan makna, menemukan tempat untuk berlabuh.


Maka biarkan aku mencintaimu dengan cara semesta mencintai pagi, dengan sabar, dengan keyakinan bahwa fajar akan selalu datang. Aku akan mencintaimu hingga waktu berhenti, hingga tak ada lagi jarak yang bisa memisahkan kita, hingga namamu menjadi satu dengan napasku.


Samarinda, 02 Maret 2025

Sabtu, 01 Maret 2025

KENANGAN YANG TAK LURUH

 Kenangan yang Tak Luruh

Karya : Pena_Lingga


Kenangan itu masih kuingat dengan jelas, meski kisah kita begitu singkat. Seperti kidung senja yang dinyanyikan bayu di pelataran cakrawala, namamu masih menggema dalam lorong-lorong ingatanku. Kita pernah menjadi sepasang lakon dalam sandiwara takdir, di mana pertemuan adalah anugerah, dan perpisahan adalah karma yang tak bisa dielakkan.


Kau datang seperti angin yang membelai dedaunan, lembut tapi sulit kugenggam. Wajahmu pernah menjadi aksara yang kutulis di cakrawala jiwa, sementara suaramu bagai mantra yang menggema dalam ruang heningku. Tak kusangka, pertemuan itu hanyalah sekejap dharma yang berlalu sebelum sempat kurapal dalam doa.


Waktu menggulung kita seperti ombak yang mencumbu pantai, mengikis jejak langkah tanpa ampun. Aku masih bisa merasakan jejak kehangatan jemarimu yang pernah menyentuh duniaku, meski kini hanya menjadi bayangan dalam cermin embun. Kau adalah nadir dan zenit dalam semestaku, titik tertinggi sekaligus terendah dalam takdirku.


Ada getar yang masih tersimpan di sudut hati, meski realita telah memisahkan kita. Kau seperti aroma dupa yang menyelinap di udara, hadir tanpa rupa, tetapi mampu mengisi ruang kosong dalam batin. Cinta kita, seperti embun di ujung daun, indah namun rapuh, hadir hanya untuk lenyap seiring terbitnya sang surya.


Aku bertanya pada rembulan, apakah kisah kita hanya ilusi yang diciptakan semesta? Ataukah ini adalah lila—sebuah permainan takdir yang mempertemukan kita hanya untuk saling kehilangan? Namun, semesta tak pernah menjawab, ia hanya diam, membiarkan waktu mengikis semua yang pernah ada.


Setiap langkahku kini terasa seperti menapaki bayangan, di mana aku mengejarmu tetapi tak pernah bisa menggenggammu lagi. Aku adalah pejalan sunyi yang menapaki jalan takdir dengan membawa kenanganmu sebagai lentera. Namun, lentera itu perlahan meredup, seiring waktu yang terus berjalan tanpa ampun.


Aku mencoba menghapus jejakmu dari jiwaku, tetapi cinta ini seperti akar banyan yang menjalar dalam tanah, tak terlihat di permukaan tetapi tetap menghujam di kedalaman. Aku ingin melupakan, tetapi ingatan tentangmu seperti riak di sungai yang tak pernah berhenti mengalir.


Mungkin dalam kehidupan ini kita hanyalah sepasang bintang yang berpapasan dalam gelap, bersinar sesaat sebelum tenggelam dalam semesta yang luas. Namun, apakah kau tahu? Bahkan bintang yang redup masih menyisakan cahayanya di kanvas langit, seperti kenanganmu yang masih berpendar dalam ruang hatiku.


Kini aku hanya bisa menerima, bahwa takdir telah menulis kisah kita dengan tinta fana. Kita adalah puisi yang ditulis angin, tak pernah abadi, tetapi pernah ada. Dan meski kau telah menjauh, kenangan tentangmu tetap menjadi bait tak selesai dalam kitab kehidupanku.


Maka biarlah kisah ini menjadi angin yang berembus di antara helai-helai waktu. Tak perlu kurapal sebagai doa, tak perlu kuratapi sebagai duka. Cukuplah ia menjadi saksi bahwa kita pernah ada, meski hanya sekejap mata.


Samarinda, 01 Maret 2025

( Dialog Y.T.S.A.M.S )

 Yang Tertinggal Setelah Aku Memberi Segalanya ( Part 1 ) Karya : Pena_Lingga 🤵: Hai ! Lama tak bertemu ya Kali ini aku datang dengan niat ...