Jumat, 25 April 2025

PRIHAL AKU DAN KECEWA

 PRIHAL AKU DAN KECEWA

Karya : Pena_Lingga


Aku sudah terbiasa dengan kecewa. Rasanya seperti bayangan yang tak pernah pergi, selalu menempel di tiap langkahku. Saat harapan tumbuh, kecewa datang seperti badai, menggugurkan semua yang sempat membuatku percaya.


Kecewa tak lagi kutakuti. Ia datang dan pergi sesuka hati, kadang tanpa permisi. Tapi dari situlah aku belajar bahwa tak semua hal berjalan sesuai keinginan. Dunia tak selalu ramah, dan itu tak apa.


Lama-lama, kecewa menjadi semacam pelajaran. Ia mengajarkan untuk tidak terlalu menggantungkan bahagia pada manusia. Ia menamparku dengan kenyataan bahwa cinta, janji, dan harapan bisa sewaktu-waktu menjadi abu.


Aku tak lagi menangis ketika kecewa hadir. Air mataku sudah kering untuk hal-hal yang tidak pasti. Aku memilih untuk diam, karena dalam diam pun aku tahu, kecewa sedang menepuk pundakku pelan, menyapa seperti kawan lama.


Kecewa menjadi teman dalam sepi. Ia datang saat semua orang pergi. Ia menemani malam-malam panjang ketika aku bertanya-tanya, apa salahku, kenapa lagi, dan untuk apa semua ini.


Dengan kecewa, aku belajar menerima. Aku tahu tak semua yang aku inginkan harus jadi milikku. Tak semua orang yang kucintai akan tinggal. Dan tak semua luka bisa segera sembuh, tapi semua bisa dilewati, pelan-pelan.


Kini, aku berjalan berdampingan dengan kecewa. Kadang kami saling diam, kadang kami saling bicara. Ia tak lagi mengagetkanku. Justru kadang aku merasa lebih tenang saat ia datang, karena aku tahu, aku masih punya hati yang bisa merasa.


Kecewa memang menyakitkan, tapi ia jujur. Ia tak memberi harapan palsu. Ia datang dan mengungkapkan segalanya tanpa basa-basi. Aku lebih suka begitu, dibanding kebahagiaan yang hanya jadi umpan untuk dikhianati.


Sudah terlalu sering aku menaruh hati pada hal yang salah. Sudah terlalu sering aku menanti sesuatu yang tak pernah datang. Jadi saat kecewa muncul, aku tak lagi menyambutnya dengan marah, tapi dengan senyum lelah yang tulus.


Aku sudah terbiasa dengan kecewa, bahkan kecewa sudah kuanggap teman. Ia mengajariku banyak hal—tentang sabar, tentang kuat, dan tentang bagaimana mencintai diri sendiri, meski dunia berkali-kali membuatku merasa tidak layak.


Kota Duka, 26 April 2025

Minggu, 20 April 2025

BUNGA TERAKHIR

 Bunga Terakhir 

Karya : Pena_Lingga


Aku sedang belajar, dengan segala getir dan getirnya, bagaimana cara mencintai tanpa menggenggam. Aku memintal harapan dari sisa kenangan, menenun tawa yang dulu kau beri menjadi selimut untuk malam-malam yang kini terlalu sunyi. Sejak kepergianmu, waktu seolah kehilangan arah, dan aku menjadi penumpang yang tak tahu lagi ke mana harus pulang.


Rindu itu seperti hujan yang tak mengenal musim—datang tiba-tiba, deras tanpa peringatan. Aku terjebak di bawah langit yang dulu pernah menjadi saksi janji kita. Kini, hujan hanya membawa aroma kehilangan. Dan aku, yang tak bisa berlindung di pelukmu lagi, hanya bisa menengadah, membiarkan air mata menyamar sebagai gerimis.


Ada luka yang tak bisa sembuh hanya karena waktu. Kehilanganmu bukan luka yang bisa kupoles dengan senyum palsu. Ini bukan sekadar perpisahan, ini perampasan. Aku dirampas dari semua yang membuatku utuh. Kau pergi, membawa separuh dari jiwaku, dan menyisakan ruang hampa yang tak pernah benar-benar bisa terisi lagi.


Kadang aku marah pada semesta. Mengapa tak diberi kesempatan untuk sekadar berkata, “Tunggu sebentar lagi”? Mengapa pertemuan kita secepat itu menjadi akhir? Tapi entah bagaimana, marahku selalu tumpul di hadapan wajahmu yang hanya hidup dalam ingatanku. Wajah yang tenang, seperti menidurkan semua kekacauan yang kutahan dalam dada.


Aku belajar merelakan, tapi merelakan tak pernah sesederhana kata. Ia seperti menahan air laut dengan telapak tangan. Aku bisa berpura-pura tegar di hadapan dunia, tapi setiap malam, hatiku pecah berkeping-keping di balik senyap. Doa menjadi jembatan satu-satunya, semacam pelukan yang tak bisa disentuh, hanya bisa dirasakan dalam hening.


Cintaku padamu tak berubah. Ia tak tumbuh, karena sudah matang sejak dulu. Ia juga tak layu, karena kematian tak cukup kuat untuk merobohkannya. Kau tetap hidup, dalam bisik-bisik kecil yang kuucapkan sebelum tidur, dalam bunga yang kutaburkan setiap tanggal yang tak pernah kulupakan.


Aku menyimpan semua tentangmu dalam rak-rak hati yang kususun rapi. Setiap sudutnya berisi tawa, tangis, dan cerita-cerita yang tak pernah selesai. Di sana, kau tak pernah benar-benar pergi. Kau hanya berpindah tempat, dari dunia nyata ke ruang tak kasat mata yang bernama kenangan.


Waktu boleh melaju, tapi aku masih berdiri di tempat kita terakhir kali berpamitan, walau tanpa kata. Aku menanti tanpa menunggu, berharap tanpa menggantungkan. Karena aku tahu, ini bukan tentang memintamu kembali, tapi tentang mengikhlaskanmu pergi dengan tenang.


Dan jika suatu saat aku pun harus menyusul jejakmu, biarlah cinta ini yang menjadi penuntunku. Bukan tangisan, bukan penyesalan, tapi cinta yang telah belajar banyak tentang melepaskan. Cinta yang diam-diam selalu menyebut namamu di antara sepertiga malam.


Sebab kau adalah BUANGA TERAKHIR—bunga yang mekar di antara luka, yang harumnya tak pernah pudar meski tertiup waktu, yang abadi dalam hati yang tak pernah lelah mencintaimu dalam diam.


Bumi duka, 21 April 2025

Sabtu, 19 April 2025

BELAJAR MERELAKANMU IBU

 "Pelan-Pelan Aku Belajar Merelakanmu, Ibu"

Karya : Pena_Lingga


Pagi itu datang seperti biasa, tapi ia kehilangan jiwanya. Matahari menyusup lewat celah jendela seperti pencuri cahaya, tapi sinarnya gagal menembus dingin yang merambat dari ruang kosong bernama kehilangan. Dapur masih berdiri di tempatnya, tapi ia membisu. Kompor yang dulu menari bersama tanganmu kini hanya menyimpan abu waktu.


Aku masih ingat caramu membangunkanku. Suaramu seperti doa yang menjelma bisikan, menggelitik kesadaranku dari mimpi. Kini, alarm telepon menggantikanmu—ia berteriak tanpa kasih, memaksaku bangun dari tidur yang tak lagi hangat. Aku sering diam, membiarkan kenangan tentangmu menetes pelan, seperti embun yang ragu jatuh dari daun.


Setiap sudut rumah adalah penjaga rahasia tentangmu. Kursi reyot itu, cangkir teh yang kusimpan seperti pusaka, mukena putihmu yang masih menyimpan harum surga—semuanya menjadi saksi bahwa kau pernah begitu nyata di sini. Tapi kini, semua hanya bayang-bayang yang menari dalam sepi.


Aku mencoba menjadi batu, Ibu. Tapi setiap kali kutatap langit, ia selalu menurunkan hujan rindu. Katanya, waktu adalah obat. Tapi untuk luka yang kutanggung ini, waktu hanya menabur garam di atasnya. Aku ingin mendengar suaramu lagi, mengatakan, “Sabar ya, Nak. Semua akan baik-baik saja.” Tapi bahkan gema suaramu pun mulai kabur ditelan angin.


Hari-hari berlalu seperti arloji rusak—bergerak, tapi tak menuju ke mana pun. Aku hidup, tapi hanya sebagai bayang-bayang dari diriku yang dulu. Kau adalah mentari di langitku, dan kini langitku redup, digelayuti awan kehilangan yang tak kunjung pergi.


Orang-orang bilang kau telah tenang di sana. Tapi bagaimana aku bisa tenang, jika malam selalu menusuk dada dengan pisau rindu? Aku ingin kau tahu, Ibu, cintaku padamu tak mengenal batas waktu. Bahkan setelah kematian memisahkan kita, cinta itu terus tumbuh seperti akar yang menembus tanah paling dalam.


Aku sering menulis surat untukmu—huruf-huruf yang kutitipkan pada angin, berharap mereka tahu jalan menuju surga. Aku tahu tak akan ada balasan, tapi menulis adalah caraku memelukmu dalam diam. Cinta ini tak perlu jawaban; cukup aku tahu kau masih menjadi alasan hatiku berdetak.


Kadang aku membayangkan kita duduk di beranda senja, kau menyeduh teh, dan aku menyandarkan kepala di pangkuanmu. Tapi imaji itu selalu runtuh sebelum selesai, hancur seperti cermin retak yang tak bisa dipasang kembali. Yang tersisa hanya aku, dan cangkir teh yang tak pernah terisi.


Aku sedang belajar mengikhlaskanmu, Bu. Bukan karena aku tak cinta, tapi karena cinta yang sejati tahu kapan harus melepas. Rindu ini adalah hujan yang tak pernah selesai, tapi aku akan terus berjalan, walau dalam genangan air mata yang tak kunjung surut.


Jika kelak waktuku tiba, aku ingin kau jadi fajar pertama yang menyambutku. Aku akan berlari, menembus segala batas, memelukmu seperti anak kecil yang menemukan rumahnya kembali. Tapi untuk sekarang, biarkan aku mencintaimu dari kejauhan—dalam diam, dalam doa, dalam setiap hembusan napas yang menyebut namamu tanpa suara.


Raja Ampat, 20 April 2025

Jumat, 18 April 2025

KEMBALI KECEWA

 Kembali kecewa

Karya : Pena_Lingga


Aku mencintaimu sepenuh hati. Tanpa syarat, tanpa banyak tanya. Semua tentangmu pernah menjadi poros hidupku. Namamu selalu kusematkan dalam doa-doa paling sunyi, dan wajahmu adalah alasan mengapa aku selalu ingin pulang. Tapi ternyata, cinta saja tak pernah cukup untuk membuatmu menetap, apalagi berubah.


Setiap luka yang kamu torehkan, aku balut dengan pengertian. Setiap janji yang tak kamu tepati, aku tutupi dengan alasan-alasan yang kubuat sendiri, hanya supaya hatiku tetap percaya bahwa kamu masih layak untuk diperjuangkan. Tapi kenyataannya, aku mulai kehilangan diriku sendiri. Aku berubah menjadi seseorang yang selalu mengalah, bahkan ketika hatiku sudah remuk berkali-kali.


Kamu tahu betul aku menggenggam hubungan ini begitu erat, bahkan saat kamu mulai perlahan melepaskannya. Aku tetap bertahan. Aku menunggu. Aku berharap kamu akan kembali menjadi seperti dulu—penuh cinta, penuh perhatian. Tapi ternyata, kamu hanya mampir untuk memastikan bahwa aku masih di sini, masih mencintaimu dengan cara yang sama.


Aku terlalu sering menunggu pesan yang tak pernah datang. Terlalu sering merindukan seseorang yang sibuk mencintai dirinya sendiri. Dalam diam, aku sering menenangkan hatiku sendiri, menguatkan diriku sendiri, memaafkan kesalahanmu sendiri—semua kulakukan sendiri, karena kamu tak pernah benar-benar ada.


Kecewa ini tak bisa lagi kusembunyikan. Luka ini sudah terlalu dalam untuk sekadar disembuhkan oleh kata "maaf" atau pelukan sesaat yang tak pernah benar-benar tulus. Aku kecewa karena pernah percaya. Aku kecewa karena pernah berharap. Tapi yang paling menyakitkan, aku kecewa karena tahu kamu tidak merasa bersalah.


Kamu selalu punya cara untuk membuatku merasa bersalah karena mencintaimu terlalu dalam. Aku jadi seolah-olah terlalu cengeng, terlalu sensitif, terlalu banyak menuntut. Padahal, aku hanya ingin kamu mencintaiku seperti aku mencintaimu—penuh, utuh, dan tidak setengah hati.


Kupikir kamu berbeda. Kupikir hatimu akan merawat hatiku. Tapi yang kamu lakukan hanyalah singgah, membuat berantakan, lalu pergi tanpa permisi. Aku butuh waktu lama untuk menyadari bahwa tidak semua kehadiran berarti untuk tinggal, dan tidak semua cinta layak untuk diperjuangkan.


Sekarang, aku mulai merasa lelah. Lelah menjadi satu-satunya yang bertahan, satu-satunya yang peduli, satu-satunya yang mencoba. Aku tak ingin jadi seseorang yang terus-menerus memohon perhatian dari orang yang bahkan tak ingin menoleh ke arahku.


Kamu mengajarkanku banyak hal. Salah satunya, bagaimana rasanya dikhianati oleh orang yang paling aku percaya. Dari situ, aku belajar: tidak semua rasa harus dipertahankan, dan tidak semua cinta harus dimenangkan.


Dan yang paling menyakitkan dari semua ini adalah kenyataan bahwa aku masih mencintaimu, bahkan setelah semua yang kamu lakukan. Aku masih menunggumu, meski kutahu kamu tak pernah benar-benar ingin kembali. Aku masih mencari-cari alasan untuk membenarkan sikapmu, padahal hatiku sudah berkali-kali kamu hancurkan tanpa ragu. Aku tetap di sini, meratapi serpihan rasa yang tak lagi kamu anggap berharga. Dan itu, mungkin adalah kebodohan paling menyedihkan yang pernah aku pelihara dalam diam.


Sorong, 19 April 2025

Senin, 14 April 2025

RUMAH SINGGAH

 Rumah singgah

Karya : Pena_Lingga


Ternyata benar, jadi rumah persinggahan itu menyakitkan. Aku baru benar-benar paham artinya ketika kamu memutuskan pergi, tanpa benar-benar menoleh ke belakang. Aku sempat mengira aku cukup, bahwa hangatku bisa jadi alasan untuk kamu tinggal. Nyatanya, aku cuma tempat menepi. Tempat kamu singgah sebentar, mengisi ulang rasa, sebelum melanjutkan perjalananmu lagi.


Banyak momen yang masih terpatri jelas di kepala. Cara kamu tersenyum di pagi hari, tawa yang tiba-tiba muncul saat kita bicara hal sepele, bahkan tatapan matamu saat diam. Semuanya melekat, seperti luka yang belum sempat sembuh, tapi sudah dipaksa dilupakan. Padahal aku belum siap, padahal aku masih berharap.


Rasanya aneh, bagaimana sesuatu yang hanya sebentar bisa meninggalkan bekas yang begitu lama. Tapi itulah yang terjadi. Kamu datang seperti musim hujan—tiba-tiba, menyejukkan, lalu pergi ketika aku baru saja menyesuaikan diri dengan dinginnya. Tanpa aba-aba, tanpa pamit yang layak.


Aku terus bertanya-tanya, di mana salahku. Apakah terlalu memberi? Atau justru terlalu berharap? Tapi sepertinya, tidak ada yang salah kecuali hatiku yang terlalu percaya. Aku mengira kamu mencari rumah, padahal kamu cuma butuh tempat singgah. Dan aku terlalu sibuk merapikan segalanya, agar kamu merasa nyaman, hingga lupa bahwa kenyamanan tak pernah cukup untuk membuat seseorang menetap.


Kini, yang tersisa hanya aku—dan keheningan yang menggantung di antara dinding-dinding kosong. Ruangan yang dulu penuh suara kini hanya dipenuhi gema dari kenangan. Aku mencoba menghapus jejakmu, tapi semuanya sudah terlalu dalam. Seperti bekas paku di tembok—meski dicabut, tetap ada lubang yang tertinggal.


Ada banyak malam di mana aku terbangun karena mimpi tentangmu. Mimpi yang terasa nyata, padahal kamu sudah jauh. Kadang aku berpura-pura kamu masih di sini, hanya agar hatiku tidak terlalu hampa. Tapi pagi selalu datang membawa kenyataan, dan kenyataan selalu lebih dingin dari yang kubayangkan.


Aku belajar menahan kecewa sendirian. Menutup luka tanpa suara. Tidak ada pelukan yang menenangkan, tidak ada kata-kata yang menyejukkan. Hanya aku dan diriku sendiri, belajar mengikhlaskan seseorang yang bahkan tidak pernah benar-benar kumiliki.


Semakin hari, aku menyadari, menjadi rumah tidak selalu membuat seseorang ingin tinggal. Kadang orang hanya datang karena lelah, bukan karena cinta. Dan saat lelahnya hilang, mereka pun pergi, seolah tak pernah ada apa-apa. Sementara aku, masih duduk di depan pintu, menunggu yang tak pernah kembali.


Aku tak lagi marah. Hanya sedih, karena pernah percaya. Karena pernah berharap. Karena pernah yakin bahwa kamu adalah tujuan. Tapi ternyata, aku hanya persimpangan. Tempat kamu singgah sebelum menemukan yang sebenarnya kamu cari.


Dan kini, aku harus belajar jadi rumah untuk diriku sendiri. Menerima kenyataan bahwa tidak semua yang datang akan tinggal. Bahwa tidak semua yang terasa hangat akan abadi. Bahwa kadang, kita memang ditakdirkan hanya untuk menyambut, lalu melepaskan.


Sorong, 15 April 2025

Kamis, 10 April 2025

KITA YANG MENJADI ASING

 Kita Yang menjadi asing

Karya : Pena_Lingga


Dulu, aku mengenalmu lebih dari siapa pun. Aku tahu cara matamu berbinar saat kamu bahagia, cara suaramu berubah saat kamu sedang kesal, bahkan cara kamu diam yang penuh makna. Tapi hari ini, semua itu tinggal kenangan yang perlahan memudar, seperti debu yang tertiup angin dan hilang dari pandangan.


Setelah kita berpisah, segalanya menjadi sepi. Bukan hanya karena tak ada lagi percakapan larut malam, tapi karena tak ada lagi kamu di sana. Aku masih membuka ponsel, berharap ada pesan darimu, padahal aku tahu, harapan itu sudah lama mati.


Lucu ya, betapa cepat dunia berubah. Orang yang dulu menjadi rumah, kini jadi asing. Kita berjalan di semesta yang sama, di bawah langit yang sama, tapi seperti dua orang yang tak pernah saling mengenal. Tak ada lagi sapa, tak ada lagi tanya kabar.


Aku pernah berpikir, mungkin waktu bisa mempertemukan kita lagi. Tapi nyatanya, waktu malah menjauhkan. Setiap hari yang berlalu, membuat kita semakin tidak saling tahu. Kamu tumbuh menjadi seseorang yang asing bagiku, dan aku pun tak yakin masih menjadi bagian dari ingatanmu.


Ada luka yang tak terlihat, tapi terasa dalam. Seperti sekarang, ketika aku menulis ini dengan dada yang berat dan mata yang basah. Bukan karena aku membencimu, tapi karena aku merindukan versi kita yang dulu—saat belum ada jarak, saat belum ada kata ‘selesai’.


Kadang, aku bertanya-tanya, apakah kamu juga merasa seaneh ini? Merasa kehilangan seseorang yang masih hidup, masih ada, tapi tak lagi bisa kau sentuh? Kita bukan kehilangan karena maut, tapi karena keadaan… dan mungkin, karena kita saling melepaskan.


Kita pernah berbagi rahasia, tawa, tangis, dan mimpi. Tapi sekarang, semua itu tinggal potongan-potongan masa lalu yang hanya aku simpan sendiri. Kamu tak lagi menjadi bagian dari hariku, dan itu menyakitkan lebih dari yang bisa aku gambarkan.


Setiap pertemuan membawa kemungkinan perpisahan, aku tahu itu. Tapi aku tak pernah siap untuk menjadi asing bagimu. Aku tak pernah siap untuk menatapmu dari jauh tanpa keberanian untuk menyapa, tanpa hak untuk lagi peduli.


Jika suatu hari kita berpapasan di jalan, mungkin kita akan saling tersenyum kaku. Mungkin juga kita akan pura-pura tak saling melihat. Tapi di dalam hati, aku yakin, akan ada luka kecil yang terbuka kembali—luka karena rindu yang tak pernah tersampaikan.


Kita selesai, bukan karena cinta kita tak cukup kuat, tapi karena kita terlalu lelah bertahan. Dan kini, setelah semua yang kita lewati, aku hanya bisa mendoakanmu dari kejauhan. Semoga kamu baik-baik saja, wahai orang asing yang dulu kucintai sepenuh jiwa.


Raja Ampat, 11 April 2025

( Dialog Y.T.S.A.M.S )

 Yang Tertinggal Setelah Aku Memberi Segalanya ( Part 1 ) Karya : Pena_Lingga 🤵: Hai ! Lama tak bertemu ya Kali ini aku datang dengan niat ...