Rabu, 18 Juni 2025

( Dialog Y.T.S.A.M.S )

 Yang Tertinggal Setelah Aku Memberi Segalanya

( Part 1 )

Karya : Pena_Lingga


🤵:

Hai ! Lama tak bertemu ya

Kali ini aku datang dengan niat baik

Bukan bermaksud untuk membuatmu kecewa lagi


Emmm... Aku ingin bertanya padamu 

Bisakah kau membuka pintu maaf untukku ?

Aku benar-benar merasa bersalah selepas kejadian itu

Kini aku datang untuk menebus semuanya.



👰:

Kau datang saat aku sedang berjuang menyusun ulang puing-puing hidupku. Kau mengetuk pintu hatiku dengan kelembutan yang membuatku percaya, bahwa tak semua luka harus berakhir dengan kehilangan. Kau hadir seperti pagi yang menjanjikan harapan, membuatku menaruh segala keyakinan pada matamu.


Aku menanggalkan segalanya demi bisa menjadi satu-satunya untukmu. Harga diriku, batas yang kujaga, bahkan luka yang belum sembuh sepenuhnya. Kukira dengan mencintaimu tanpa syarat, kau akan melihat betapa aku layak untuk diperjuangkan, bukan ditinggalkan.


Tapi kini, yang kulihat hanya punggungmu yang menjauh, bersama seseorang yang bukan aku. Dan aku terdiam, membiarkan air mata jatuh tanpa suara, karena cinta yang kuberi ternyata tak cukup untuk menahanmu di sisiku.


🤵:

Aku datang padamu dengan kekosongan yang tak kupahami. Dan di matamu, aku melihat rumah. Di pelukmu, aku menemukan damai yang tak pernah kurasakan. Tapi ketenangan itu, ternyata tidak cukup untuk menyembuhkan kegelisahan yang ada di hatiku sendiri.


Kau mencintaiku dengan cara yang tak pernah kulihat dari siapa pun. Kau menaruh harapan di tiap langkahku, dan aku merasa seperti manusia paling dicintai di dunia. Tapi semakin kau dekat, semakin aku merasa takut. Takut tak bisa membalas semua yang kau beri.


Aku mulai menjauh bukan karena aku tak merasa, tapi karena aku tak siap. Cinta sebesarmu menekan dadaku dengan rasa bersalah yang tak tertanggung. Dan aku… memilih kabur daripada tinggal dan menghancurkanmu perlahan.


👰:

Kalau benar kau takut, mengapa tidak jujur dari awal? Mengapa kau biarkan aku meyakini bahwa kau adalah jawaban dari seluruh doa-doaku? Tak tahukah kau, bahwa aku membuka seluruh benteng yang kubangun selama bertahun-tahun, hanya untukmu?


Aku bukan wanita sempurna, tapi aku mencintaimu dengan ketulusan yang tak terukur. Bahkan saat kau mulai berubah, aku tetap bertahan. Aku pikir, cinta bisa mengalahkan segalanya. Tapi ternyata, cinta tak bisa menyelamatkan kita dari pengkhianatan.


Sekarang, aku bahkan malu menatap cermin. Malu pada diriku sendiri karena percaya terlalu dalam. Aku telah menjadi milikmu dalam seluruh arti, tapi ternyata yang kau genggam bukan tanganku, melainkan luka yang tak bisa kau sembuhkan.


🤵:

Jangan salahkan dirimu, karena yang salah adalah aku. Aku yang datang dengan hati yang belum selesai. Aku yang menerima cintamu, padahal aku tahu aku tak mampu menjaganya. Aku yang menuntunmu ke jurang, saat seharusnya kutuntunmu ke pelaminan.


Aku mencoba mencintaimu dengan cara yang pantas. Tapi setiap malam, ada bayangan masa laluku yang terus menjerit di dalam dada. Dan ketika dia datang—perempuan yang pernah mengisi lembar lama hidupku—aku goyah.


Aku tahu kau akan terluka. Tapi aku tetap memilihnya, bukan karena dia lebih baik, tapi karena dia menawarkan sesuatu yang familiar. Aku bodoh, dan sayangnya, kebodohanku menjadi neraka bagimu.


👰:

Aku melihat dia di matamu sebelum kau mengenalkannya padaku. Perubahanmu, sikapmu, kata-katamu yang mulai tak lagi hangat seperti dulu. Tapi aku diam. Aku menahan semua curiga karena aku masih percaya padamu.


Kau tahu apa yang paling menyakitkan? Bukan hanya karena kau memilih orang lain. Tapi karena kau membuatku merasa tidak cukup, padahal aku telah memberikan segalanya. Segalanya, termasuk hal yang seharusnya hanya kumiliki seumur hidup.


Kau mengambil itu dariku, lalu pergi tanpa menoleh. Seolah aku hanya persinggahan, bukan tujuan. Dan sekarang, aku hanya tinggal sebagai cerita patah hati yang tak sempat selesai.


🤵:

Aku ingin minta maaf, tapi aku tahu maafku tak akan cukup. Aku tahu ada hal-hal yang tak bisa diperbaiki dengan kata. Tapi izinkan aku mengatakannya, meski dengan suara yang gemetar dan hati yang tercabik: maaf, karena aku telah membuatmu jatuh untuk lalu kutinggalkan.


Aku tak tahu bagaimana cara memperbaiki hidupmu yang telah kubuat berantakan. Tak tahu bagaimana menebus malam-malam panjangmu yang dipenuhi isak. Aku pengecut, dan di balik semua itu, hanya ada penyesalan yang semakin menggila.


Setiap malam, aku masih terjaga. Dan di balik pelukan orang yang kini bersamaku, aku menyebut namamu dalam diam. Tak pernah ada yang benar-benar menggantikanmu, hanya ada kepura-puraan yang kubangun untuk menutupi dosaku.


👰:

Penyesalanmu datang terlambat. Dan yang terlambat, tak bisa lagi kembali. Aku telah belajar menahan tangis dalam sunyi, telah belajar bagaimana cara berdiri dalam gelap tanpa seseorang yang dulu kujadikan cahaya.


Aku masih mencintaimu, tapi cinta itu kini kutanam dalam tanah paling dalam. Tak lagi kusiram, tak lagi kuharapkan tumbuh. Biarlah dia membusuk bersama harapan yang pernah kautinggalkan.


Aku tak berharap kau kembali. Yang aku harapkan hanyalah kau tahu betapa kau telah menghancurkan perempuan yang hanya ingin dicintai dengan sederhana.


🤵:

Aku tak bisa memaafkan diriku sendiri. Karena kini aku tahu, bukan perempuan itu yang kucari, tapi damai yang dulu kau berikan dengan tulus. Tapi saat sadar, semuanya telah hilang.


Aku menatap hidup tanpa arah, meski ada seseorang di sampingku. Karena apa yang kurasakan bersamanya hanya separuh. Separuh yang lain tertinggal bersamamu, dan itu tak bisa kupaksakan berpindah.


Kau tak lagi ada di hidupku, tapi kau hidup dalam luka yang kupikul. Luka yang tak sembuh oleh waktu, karena luka itu bukan goresan... melainkan lubang, yang tak bisa kututup lagi.


👰:

Aku tak ingin kau menderita, meski kau membuatku menderita begitu lama. Aku tak akan mendoakan celaka untukmu, tapi aku juga tak bisa mendoakan bahagia. Biarlah semesta yang menyeimbangkan semuanya.


Kini aku berjalan sendiri. Belajar mencintai diriku yang hancur. Aku tak tahu apakah bisa pulih, tapi setidaknya, aku ingin bangkit—meski pelan, meski terseok.


Aku akan menyimpan kisah ini sebagai pelajaran. Bahwa tak semua cinta harus dimenangkan. Dan tak semua kehilangan harus ditangisi selamanya.


🤵:

Jika nanti hidup membawamu kepada seseorang yang mencintaimu sepenuh hati, peluklah dia dengan tenang. Jangan takut memberi lagi, meski kau pernah disakiti oleh orang sepertiku.


Aku mungkin adalah kesalahan yang paling kau sesali. Tapi kau... adalah satu-satunya cinta yang paling benar dalam hidupku. Sayangnya, cinta yang benar pun bisa datang di waktu yang salah.


Mungkin ini adalah akhir kita. Tapi dalam akhir ini, ada satu hal yang akan terus kutitipkan: terima kasih, karena pernah mencintaiku bahkan saat aku tak layak dicintai.



Republik Rubik, 19 Juni 2025

Masih Ada Tahun Depan

 Masih Ada Tahun Depan

Karya : Pena_Lingga


Kalau tahun ini kita gagal, bukan berarti kita sepenuhnya kalah. Mungkin semesta hanya ingin kita belajar bahwa tak semua hal bisa dipaksakan selesai sesuai rencana. Kadang waktu punya caranya sendiri untuk menyiapkan kita menjadi versi yang lebih siap, lebih kuat, dan lebih paham arah.


Gagal bukan akhir dari segalanya. Ia cuma jeda. Hentakan yang menyakitkan, tapi perlu. Supaya kita tahu rasanya jatuh, agar saat berdiri nanti kita lebih menghargai prosesnya. Supaya kita lebih hati-hati melangkah, bukan takut, tapi bijak.


Banyak hal memang tak berjalan sesuai harap. Tapi bukan berarti harapan itu mati. Ia hanya tertunda. Dan selama masih ada waktu, selalu ada ruang untuk memperbaiki. Selalu ada celah untuk mencoba ulang.


Aku tahu tahun ini berat. Ada lelah yang tak sempat diceritakan. Ada kecewa yang terlalu dalam untuk diungkapkan. Tapi lihatlah, kita masih di sini. Masih berdiri. Itu tandanya kita belum habis. Kita masih bisa melangkah lagi.


Kalau semesta belum berpihak sekarang, barangkali karena kita masih harus menyusun ulang fondasi. Mungkin ada yang harus dibongkar lebih dulu sebelum dibangun lebih tinggi. Dan itu tidak apa-apa. Hancur bukan berarti musnah.


Tahun depan adalah halaman kosong. Kita bisa menulis ulang cerita yang sempat berantakan. Kita bisa merancang ulang mimpi yang sempat nyaris kita lupakan. Kita bisa mencoba lagi. Kali ini dengan bekal luka dan pelajaran.


Percayalah, kegagalan hari ini akan membuat keberhasilan esok terasa jauh lebih manis. Karena kita tahu betapa perihnya gagal, betapa beratnya bertahan, dan betapa mahalnya sebuah harapan.


Jangan menyerah hanya karena sekali gagal. Dunia tidak selalu lunak. Tapi bukan berarti kita harus selalu kalah. Kita diciptakan untuk terus mencoba. Untuk tumbuh dari patah, dan tersenyum meski tertatih.


Pelan-pelan, tak apa. Asal tetap melangkah. Kita tidak sedang berlomba dengan siapa-siapa. Hidup ini bukan tentang siapa yang paling cepat, tapi siapa yang paling tahan berdiri saat badai datang.


Kalau tahun ini gagal, maka tahun depan kita perbaiki. Dengan sabar, dengan tekad, dan dengan hati yang lebih kuat. Karena kita pantas untuk bahagia. Kita layak untuk berhasil. Kita hanya belum sampai — tapi sedang menuju.


Kamarku, 18 Juni 2025

Belajar Sembuh Bersama Alam

 Belajar Sembuh Bersama Alam

Karya : Pena_Lingga


Kadang kita terlalu sibuk mencari pelukan dari manusia, padahal semesta sudah menyediakan pelukan paling jujur lewat alam. Hutan yang sunyi bisa lebih mengerti daripada keramaian yang tak peduli. Langkah kaki di atas tanah basah jauh lebih menenangkan daripada janji-janji yang tak pernah ditepati.


Luka tak selalu butuh kata-kata untuk sembuh. Kadang, cukup duduk diam di tepi danau, membiarkan airnya mencuri tangis yang tak sempat tumpah di depan siapa pun. Cukup melihat burung-burung melayang bebas di langit, lalu iri—sebab mereka tahu arah pulang, sementara kita sering tersesat di hati orang lain.


Pernah suatu pagi, aku duduk di antara kabut yang turun pelan dari perbukitan. Tak ada suara selain angin yang menyisir rambut dan suara dedaunan yang saling bersentuhan. Tapi justru dari sunyi itu, aku belajar bahwa luka bisa diterima, bukan dilawan. Bahwa sakit tidak selalu harus disembuhkan oleh orang yang membuatnya.


Alam tidak menuntut. Ia tidak bertanya kenapa kamu menangis, tidak menyuruhmu untuk kuat, tidak menyuruhmu untuk move on. Ia hanya ada. Menemanimu. Menampung lelahmu. Membiarkanmu menjadi rapuh, tanpa menghakimi.


Air terjun tidak pernah takut jatuh. Ia tahu, dari ketinggian mana pun, ia akan kembali menjadi aliran yang tenang. Mungkin kita pun begitu—hanya perlu jatuh lebih dulu untuk tahu cara mengalir lagi. Untuk tahu bahwa jatuh tidak membuat kita berakhir.


Pohon-pohon tua tetap berdiri, meski telah kehilangan ratusan daun. Mereka tidak menyerah. Mereka tahu, musim selalu berganti. Dan aku ingin seperti itu. Tidak marah pada yang pergi, cukup percaya bahwa suatu hari yang baru akan datang membawa yang lebih baik.


Aku memeluk angin, dan untuk pertama kalinya aku merasa dipeluk balik. Bukan pelukan yang menjanjikan apa-apa, tapi cukup hangat untuk menyadarkanku: aku tak sendiri. Bahwa meski tidak ada manusia yang tinggal, masih ada bumi yang menampungku dengan segala luka.


Langit sore dengan semburat jingganya seperti bisikan pelan yang berkata, “Kamu sudah cukup berjuang.” Dan mungkin itu cukup. Mungkin aku tak perlu lagi pengakuan dari seseorang yang bahkan tak pernah benar-benar melihatku. Cukup dari alam yang diam-diam menjaga.


Di antara bebatuan dan rumput liar, aku akhirnya bisa bernapas lega. Tidak lagi menyesali apa yang telah pecah, tapi mulai mengumpulkan serpih-serpih yang masih bisa aku rangkai jadi utuh. Dan alam jadi saksi, bahwa aku akhirnya memilih sembuh.


Karena kadang, yang paling kita butuhkan bukan tempat untuk bersembunyi dari luka, tapi ruang untuk berdamai dengannya. Dan alam, dengan segala kesederhanaannya, selalu tahu caranya.


Kamarku, 17 Juni 2025

Sabtu, 14 Juni 2025

Nanti Kita Usahakan Lagi

 Nanti Kita Usahakan Lagi 

Karya : Pena_Lingga


Kita pernah mencoba, bukan? Dalam diam yang saling kita bagi, dalam luka yang tak sempat kita obati. Lalu semua terlepas perlahan, seperti air hujan yang jatuh dari jemuran, tak lagi berguna. Tapi entah kenapa, setiap kali kau sebut tentang "kita", aku masih merasa itu sesuatu yang bisa diselamatkan—atau minimal, dipertanyakan.


Ada masa di mana perpisahan hanyalah jeda, bukan akhir. Kita tahu caranya saling diam tapi tetap berharap. Kita tahu caranya saling menjauh, tapi dalam hati masih menggenggam erat nama masing-masing. Begitulah kita, dua orang keras kepala yang masih percaya pada pertemuan meski jalannya tak kunjung benar.


Kau dan aku bukan tak berusaha. Kita hanya terlalu sering mendahulukan ego daripada pelukan. Terlalu cepat menyimpulkan bahwa semuanya sudah habis, padahal mungkin hanya lelah. Mungkin yang kita butuhkan bukan perpisahan, tapi waktu yang bisa meluruhkan amarah dengan pelan.


Aku ingin sekali bilang, ayo kita coba lagi. Tapi mulut ini terlalu sering diajari diam oleh kecewa. Aku ingin menyebut namamu tanpa beban, tapi setiap hurufnya membawa kenangan yang belum juga sembuh. Jadi aku tulis saja semua ini, berharap kau menangkap maksudnya di antara jeda dan titik.


Kita pernah sepakat untuk saling bertahan. Tapi kesepakatan itu, seperti janji-janji lainnya, akhirnya juga menjadi bangkai. Kita tahu apa yang kita cari, tapi tak tahu bagaimana caranya sampai. Mungkin karena kita terlalu sibuk menyalahkan arah, lupa bahwa yang hilang sebenarnya adalah kompasnya: saling pengertian.


Aku masih ingat caramu tersenyum ketika segalanya terasa ringan. Ketika tak ada beban masa lalu, tak ada asumsi masa depan. Kita hanya duduk, menikmati waktu, menertawakan hal-hal sepele. Kalau waktu bisa diputar, aku ingin kembali ke detik itu, sebelum semuanya berubah jadi rumit dan sunyi.


Beberapa hal memang tak selesai dengan logika. Termasuk kita. Kita yang pernah saling meneduhkan, kini saling menghindar seperti hujan dan atap bocor. Tidak karena benci, tapi karena takut mengulang luka yang sama. Tapi bukankah luka bisa sembuh kalau dirawat, bukan dihindari?


Aku mulai sadar, mungkin bukan soal siapa yang salah atau benar. Tapi siapa yang mau memulai duluan. Siapa yang cukup berani membuka pintu, meski tahu bisa saja ditolak. Dan kalau bukan aku yang duluan, mungkin kita akan terus jadi kisah yang hanya dikenang, tak pernah dilanjutkan.


Kalau masih ada sisa rindu yang belum basi, mari kita usahakan lagi. Bukan karena kita lemah menghadapi kesepian, tapi karena kita tahu: tidak semua yang retak harus dibuang. Beberapa bisa dipeluk, disusun ulang, dijadikan utuh dengan cara yang baru. Kita bisa jadi yang itu.


Dan kalau nanti ternyata kita gagal lagi, setidaknya kita sudah mencoba. Tidak berhenti di mungkin. Tidak tenggelam dalam andai. Kita akan tahu rasanya berusaha sampai akhir, bukan hanya menebak-nebak di ujung doa. Karena mencintai bukan hanya tentang memiliki, tapi juga tentang memperjuangkan yang pernah kita mulai.


Raja Ampat, 15 Juni 2025

Jumat, 13 Juni 2025

MASIH TERTINGGAL DI HALAMAN TERAKHIR

 Masih Tertinggal Di Halaman Terakhir

Karya : Pena_Lingga


Waktu terus berjalan, tapi rasanya aku masih tertinggal di tempat yang sama—di hari ketika kamu pergi tanpa kata pasti. Aku terus bertanya-tanya, apakah semua yang pernah kita lalui benar-benar nyata, atau hanya ilusi yang kuhidupi terlalu dalam? Aku berharap ini hanya mimpi panjang, namun setiap pagi aku terbangun dengan hati yang tetap kosong.


Aku mulai belajar berbicara dengan sepi, menjadikannya teman yang paling setia. Ia tak pernah pergi, tak pernah bosan mendengarkan tangisku, bahkan saat aku sendiri pun tak paham apa yang sedang ku tangisi. Barangkali, inilah caraku mencintai dalam diam—meski tak lagi bersama, aku tetap menyimpanmu dalam doa-doa yang tak pernah kamu dengar.


Ada begitu banyak tempat yang kini terasa berbeda tanpamu. Jalan-jalan yang dulu kita lewati berdua kini menjadi saksi diam dari jarak yang tak terjembatani. Lagu-lagu yang pernah kita nyanyikan bersama kini hanya menyayat lebih dalam. Semesta seperti sengaja menebarkan jejakmu di mana-mana, seolah-olah ingin terus mengujiku: sudahkah aku benar-benar ikhlas?


Dan jawabannya masih sama: belum. Aku belum bisa sepenuhnya melepaskan. Masih ada harapan kecil yang ku sembunyikan rapat-rapat, harapan yang mungkin bodoh—bahwa suatu hari kamu akan kembali. Bukan sebagai kenangan, tapi sebagai seseorang yang pernah berjanji akan tetap tinggal.


Namun aku juga sadar, harapan seperti itu hanya memperpanjang luka. Kamu mungkin sudah bahagia dengan dunia barumu, dengan cerita yang tak lagi menyebut namaku. Sedangkan aku masih berdiri di sini, menunggu sesuatu yang bahkan tak pasti akan datang. Aku mulai lelah, tapi belum bisa berhenti.


Rindu ini tidak lagi terasa manis. Ia berubah menjadi beban yang menyesakkan, memaksa aku untuk terus mengingat saat aku justru ingin melupakan. Tapi semakin aku melawan, semakin kenangan itu menjeratku. Mungkin karena aku mencintaimu terlalu dalam, hingga sulit membedakan antara kenangan dan kenyataan.


Jika dulu kamu adalah alasan aku tersenyum, kini kamu juga alasan aku terus menangis dalam diam. Kita hanyalah kisah yang tak selesai, bab yang ditutup paksa tanpa titik. Dan aku—aku adalah halaman kosong setelahnya, masih menunggu kamu menulis satu kalimat terakhir, entah itu perpisahan atau harapan.


Kamarku, 13 Juni 2025


SEPI YANG MENYIMPAN NAMAMU

 Sepi yang Menyimpan Namamu

Karya : Pena_Lingga


Kini, sepi menjadi pelarianku saat ingin menangis. Tidak ada lagi tempat untuk bersandar, tidak ada lagi telinga yang dengan sabar mendengar setiap keluhku. Aku hanya ditemani suara hening malam yang menelanku perlahan, memberi ruang bagi air mata yang tak mampu lagi ku bendung. Dulu, kamu adalah tempatku kembali. Sekarang, aku bahkan tak tahu harus berjalan ke mana.


Banyak kenangan yang kurindukan, tentang kita. Tentang tawa kecil di sore yang tenang, tentang percakapan panjang yang tak pernah ingin kuakhiri. Semua terasa nyata kala itu, begitu hangat, begitu indah. Tapi kini semua itu hanya potongan cerita yang berdebu di sudut hatiku, tak lagi bisa kusentuh, hanya bisa kuingat.


Aku sering bertanya pada diriku sendiri, bagaimana bisa sesuatu yang begitu indah berubah menjadi luka yang tak kunjung sembuh. Mungkin karena aku terlalu percaya bahwa kita akan selamanya. Mungkin aku terlalu buta untuk melihat bahwa tak semua hal bisa diperjuangkan sendirian. Dan pada akhirnya, aku harus menerima kenyataan: kamu bukan lagi milikku.


Dulu, setiap pagi aku menantikan pesan darimu, hanya sekadar “selamat pagi” yang mampu membuat hatiku berbunga. Sekarang, pagi datang tanpa suara, hanya dingin yang merambat hingga ke hati. Malam pun berlalu dengan doa yang sama, semoga kamu bahagia, meski bukan lagi bersamaku.


Yang paling menyakitkan adalah ketika kenangan terus memanggil, sementara kamu tak lagi menoleh. Aku masih di sini, menyimpan setiap tawa dan air matamu, seakan semuanya masih layak untuk kupertahankan. Tapi aku tahu, kenyataan tak sebaik itu. Kamu telah melangkah, sementara aku masih terjebak di hari kita yang lalu.


Aku mencoba merelakan, sungguh. Tapi bagaimana aku bisa melupakan sesuatu yang dulu begitu kuanggap rumah? Bagaimana aku bisa berpura-pura tidak merindukanmu, saat setiap hal kecil mengingatkanku pada kamu? Bahkan sunyi pun kini terasa lebih jujur daripada semua kata-kata perpisahan yang pernah kita ucapkan.


Kini, kisah kita hanyalah cerita usang yang mungkin hanya aku yang mengingatnya. Kamu mungkin telah menemukan halaman baru, sementara aku masih membaca ulang kalimat yang sama, berharap maknanya berubah. Tapi tidak. Aku hanya harus belajar hidup dengan kehilangan, meski hatiku belum benar-benar siap untuk itu.



kamarku, 13 Juni 2025

Kamis, 12 Juni 2025

ADA RINDU YANG MASIH MARAH

 Ada Rindu Yang Masih Marah

Karya : Pena_Lingga


Jujur saja, aku masih rindu. Rindu yang tidak tahu malu, datang tanpa aba-aba, lalu diam-diam tinggal lama-lama. Di tengah malam yang seharusnya tenang, ia mengetuk pelan dinding hati yang kupaksa untuk tertutup rapat. Aku membencinya, tapi juga memeluknya diam-diam. Seperti itu, aku menyimpan rindu dalam kamar yang sama dengan kecewa.


Aku masih kecewa. Bukan karena kamu pergi, tapi karena cara kamu meninggalkan. Seolah-olah yang pernah kita bangun tidak berarti. Seolah-olah aku hanya tempat persinggahan, bukan tujuan yang kamu doakan. Kau memilih diam sebagai perpisahan, dan itu terlalu nyaring untuk hati yang sudah lelah menebak-nebak.


Aku tidak sedang ingin mengenang, tapi segala hal kecil tentangmu tetap berisik di kepala. Tawa yang kamu tinggalkan, cara kamu menyebut namaku, bahkan cara kamu menarik napas sebelum bercerita. Semua masih tinggal, tak peduli sekeras apa aku mencoba mengusirnya. Rindu seperti pengunjung tak diundang yang tahu kode masuk rumah.


Kadang aku berharap aku bisa membenci kamu sepenuhnya. Tapi bagaimana membenci seseorang yang pernah membuat dada ini penuh, bukan sesak? Kamu pernah jadi hangat di hari paling dingin. Sayangnya, hangat yang kamu bawa pergi begitu saja, meninggalkan beku yang tak tahu cara mencair.


Aku tidak ingin mengulang, tidak juga ingin memulai dari awal. Aku hanya ingin dimengerti bahwa kehilanganmu bukan hal yang mudah aku terima. Banyak hal yang masih tersangkut. Kata-kata yang tak sempat diucapkan, peluk yang tidak jadi, dan tanya-tanya yang tak pernah mendapat jawab.


Kecewa ini bukan soal patah hati saja. Ini tentang kepercayaan yang aku beri sepenuh hati, lalu kamu biarkan jatuh pecah berkeping. Kamu tahu, kan, aku bukan orang yang mudah terbuka? Tapi saat kamu datang, aku biarkan pintu terbuka lebar. Kini aku berdiri di depan pintu yang sama, tapi hanya angin yang lewat.


Rindu ini pun bukan jenis yang bisa sembuh dengan waktu. Ia seperti luka lama yang basah setiap kali hujan turun. Mungkin orang-orang bilang aku terlalu berlarut, tapi siapa mereka? Mereka tidak pernah tahu bagaimana rasanya menjadi aku yang kamu tinggalkan tanpa pamit.


Setiap malam, aku berusaha berdamai. Dengan memori, dengan diriku sendiri, dengan kamu. Tapi damai tidak datang seperti yang dijanjikan orang-orang. Kadang aku menangis, kadang aku marah, tapi lebih sering aku diam. Karena kecewa punya bahasa sendiri, yang bahkan air mata pun enggan menerjemahkan.


Aku masih belajar. Belajar bahwa tidak semua rindu harus dituju. Belajar bahwa tidak semua yang kita cintai harus kita miliki. Tapi proses belajar ini tidak sederhana. Ia memerlukan keberanian untuk menerima bahwa mungkin kamu tidak akan pernah kembali, dan kalaupun kembali, kamu bukan lagi kamu yang dulu.


Dan pada akhirnya, jujur saja aku masih rindu. Tapi aku juga masih kecewa. Mungkin keduanya akan tetap tinggal dalam waktu yang lama. Dan kalau suatu hari kamu membaca ini, tenang saja. Aku tidak sedang ingin kamu kembali. Aku hanya ingin kamu tahu, bahwa aku pernah benar-benar menunggumu pulang.


Kamarku, 12 Juni 2025

( Dialog Y.T.S.A.M.S )

 Yang Tertinggal Setelah Aku Memberi Segalanya ( Part 1 ) Karya : Pena_Lingga 🤵: Hai ! Lama tak bertemu ya Kali ini aku datang dengan niat ...