Anak Bungsu: Tahun Kehilangan
Karya : Pena_Lingga ( Andi Irwan )
Aku adalah anak bungsu, satu-satunya yang belum berkeluarga. Tinggal berdua bersama ibu di rumah kecil yang penuh kenangan. Aku selalu merasa rumah ini adalah tempat paling aman, tempat aku bisa pulang kapan saja, tempat aku merasa hangat dan dicintai. Tapi siapa sangka, di tahun 2023, rumah ini berubah menjadi saksi dari kehilangan yang membuatku hancur berkeping-keping.
Februari 2023, bulan yang akan selalu kuingat. Aku kehilangan seseorang yang telah menemaniku selama sembilan tahun. Kami membangun hubungan ini dengan cinta, meskipun penuh liku-liku. Aku percaya dia adalah rumahku yang lain, tempat aku berbagi cerita dan mimpi. Tapi nyatanya, harapan itu hancur. Dia memilih pergi, memilih seseorang yang baru dikenalnya selama dua minggu.
Kepergiannya begitu tiba-tiba. Aku mencoba mencari jawaban, mencoba memahami di mana letak kesalahanku. Tapi semakin aku mencari, semakin aku tenggelam dalam rasa sakit. Aku tahu aku harus melepaskannya, tapi hatiku menolak. Aku berusaha terlihat tegar di depan orang lain, tapi di dalam, aku rapuh.
Dalam proses memulihkan hati, aku memilih untuk memusatkan perhatian pada satu-satunya orang yang tersisa: ibuku. Beliau sudah sakit-sakitan sejak lama, dan aku tahu ini adalah saatnya aku sepenuhnya merawatnya. Aku ingin menjadi anak yang berbakti, meski aku sendiri sedang patah hati.
Hari-hariku diisi dengan merawat ibu. Setiap dua bulan sekali, kami harus ke rumah sakit. Aku menjaga, menemani, bahkan menghiburnya dengan segala cara. Aku ingin dia merasa nyaman, meski tubuhnya semakin lemah. Di sela-sela itu, aku juga berusaha menyembuhkan diriku sendiri, meski terasa sulit.
Tapi hidup punya caranya sendiri untuk menguji kesabaran dan kekuatan seseorang. Di akhir Oktober, aku kembali kehilangan. Kali ini, lebih besar, lebih menyakitkan. Ibuku, satu-satunya orang yang selalu menjadi sandaran hidupku, meninggalkanku untuk selamanya.
Hari itu, aku merasa dunia berhenti. Rasanya seperti berdiri di tengah badai tanpa tempat berlindung. Aku kehilangan dua orang yang paling berarti dalam hidupku dalam waktu yang berdekatan. Rasa hampa menyelimuti setiap sudut hidupku.
Rumah kecil kami berubah menjadi sunyi. Tidak ada lagi suara ibu yang memanggilku. Tidak ada lagi senyumnya yang menyemangatiku. Hanya ada aku, berdiri di tengah kekosongan. Aku sering menatap sudut-sudut rumah, berharap keajaiban mengembalikan semuanya seperti dulu. Tapi aku tahu, itu mustahil.
Aku mencoba melangkah, mencoba mencari alasan untuk bangkit. Tapi rasanya begitu sulit. Setiap kali aku bertemu orang baru, aku merasa gagal. Bukan karena mereka tidak cukup baik, tapi karena hatiku masih terikat pada kehilangan yang belum sepenuhnya terobati.
Malam-malamku penuh dengan air mata. Aku menangis diam-diam, berharap beban ini menjadi lebih ringan. Tapi rasa sakitnya tetap sama. Bahkan, semakin dalam. Aku mencoba untuk kuat, tapi sering kali aku merasa lelah.
Kehilangan ini mengajarkanku betapa berharganya waktu. Andai saja aku bisa memutar kembali waktu, aku ingin lebih lama berada di sisi ibu. Aku ingin memeluknya lebih erat, mendengar suaranya lebih lama. Tapi waktu terus berjalan, meninggalkan aku dengan penyesalan yang tak terungkapkan.
Meski begitu, aku tahu aku tidak bisa terus seperti ini. Aku tahu ibu tidak ingin melihatku terpuruk. Aku tahu dia ingin aku bahagia, meski tanpanya. Tapi menerima kenyataan ini butuh waktu, lebih banyak waktu daripada yang kukira.
Sekarang, aku mencoba mencari makna baru dalam hidupku. Aku mencoba membangun kembali mimpi-mimpi yang sempat hancur. Meski langkahnya kecil, aku percaya bahwa perlahan, aku akan menemukan jalan untuk melanjutkan hidup.
Aku belajar bahwa tidak apa-apa untuk merasa sedih. Tidak apa-apa untuk menangis. Kehilangan adalah bagian dari hidup, dan rasa sakit ini adalah bukti bahwa aku pernah mencintai dengan tulus. Aku hanya perlu waktu untuk menerima semuanya.
Meski rasa sepi dan sunyi masih sering datang, aku tahu aku tidak benar-benar sendiri. Kenangan mereka akan selalu ada di hatiku. Dan suatu saat nanti, aku yakin aku akan menemukan cara untuk menjalani hidup dengan senyuman, meski tanpa mereka di sisiku.
Rongga sunyi, 24 Januari 2025
------------------------------------------------------
Senandika ini terinspirasi dari kisah nyata sahabat saya yang bernama M.Khairul Lambang.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar