TANGIS RINTIH ANAK NEGERI
Karya : Pena_lingga
( Puisi esai )
Di pagi yang dibalut kabut pegunungan Arfak,
seorang anak muda berdiri di tepi jalan,
melihat truk tambang berlalu dengan muatan penuh—
bukan emas yang ia cari,
melainkan pekerjaan.
Ia pernah bermimpi jadi mekanik,
memperbaiki mobil rusak, membangun bengkel kecil,
di kampung yang tak banyak suara,
tapi penuh semangat untuk hidup.
Namun mimpi itu kini seperti jalan berlubang
yang tak pernah diperbaiki,
karena dana desa lebih sering jadi bisik-bisik
di warung kopi,
ketimbang bukti di lapangan.
Di tanah yang kaya akan nikel, tembaga, dan gas,
perut bumi Papua disayat demi dunia yang tak pernah datang melihat
mata anak-anak yang kehilangan harapan,
karena pabrik berdiri tapi tak menerima tangan mereka,
karena investor datang tanpa menyisakan meja untuk rakyatnya.
Mereka berkata,
"Ini kemajuan."
Tapi kemajuan macam apa
yang membuat anak negeri jadi penonton
di panggung milik leluhurnya sendiri?
Aku berjalan di sepanjang jalan trans Papua,
bukan mencari petualangan,
tapi jawaban:
mengapa lulusan SMK otomotif harus kembali ke kebun,
menanam keladi,
sementara suara mesin hanya untuk orang-orang luar?
Ekonomi tumbuh, kata televisi di kota.
Tapi siapa yang memanen pertumbuhan itu?
Orang-orang Papua masih menjual pinang di pinggir jalan,
sambil berkata pelan,
"Kami tidak malas, hanya tak diberi kesempatan."
Seorang ibu di Yahukimo bercerita,
anaknya lulus kuliah tiga tahun lalu,
tapi kini membantu di ladang karena tak ada kantor
yang membuka pintu bagi kulit gelap dan logat timur.
Bukan karena ia tak bisa kerja,
tapi karena sistem tak mengenal namanya.
Di Wamena, Jayapura, Sorong,
harga barang melambung melebihi doa.
Satu sak semen bisa semahal tiket pesawat,
dan listrik yang mati lebih sering dari gaji yang datang.
Bagaimana mau maju,
jika malam lebih gelap dari masa depan?
Anak-anak muda bergelar sarjana
kembali ke honai dengan rasa malu,
karena ijazah mereka tak sanggup membuka satu pintu pun
di gedung-gedung yang punya AC.
Dan mereka mulai bertanya dalam hati:
untuk apa sekolah tinggi,
jika akhirnya tanah sendiri
tak memberi tempat untuk berdiri?
Lalu siapa yang bisa disalahkan?
Apakah Jakarta yang terlalu jauh?
Apakah pemerintah daerah yang kehilangan arah?
Ataukah sistem yang terlalu sibuk membangun gedung
dan lupa membangun manusia?
Kami tidak minta kasihan,
tidak juga ingin dilabeli "daerah tertinggal."
Kami hanya ingin punya ruang:
untuk bekerja,
untuk belajar,
untuk menjadi tuan di negeri sendiri.
Papua bukan sekadar sumber daya,
tapi sumber cita dan daya juang.
Kami punya laut, hutan, gunung,
dan lebih dari itu: kami punya semangat.
Tapi selama ekonomi tak berpihak,
selama lapangan kerja tetap jadi mimpi,
maka pembangunan hanya akan jadi kabar
yang tak pernah benar-benar kami alami.
Dan setiap malam,
ketika lampu padam dan radio tua menyala,
kami mendengar suara-suara dari Jakarta:
tentang keberhasilan, pertumbuhan, dan masa depan cerah.
Tapi di sini,
masa depan itu masih tertutup kabut.
Dan anak-anak muda tetap berdiri di tepi jalan,
menunggu kesempatan
yang tak kunjung datang.
Sorong, 17 Mei 2025
Tidak ada komentar:
Posting Komentar