Seni Menyembuhkan Luka Sendiri
Karya : Pena_Lingga
Ada luka yang tak kunjung sembuh meski waktu telah melewati banyak musim. Ia seperti duri yang tertanam dalam dada, tak terlihat, tapi menusuk setiap kali kita menarik napas terlalu dalam. Malam menjadi pelukis sunyi, melukis kenangan di dinding kepala dengan warna-warna sendu. Di saat semua lampu mati dan dunia terlelap, luka itu bangkit dari tidur panjangnya dan menatap kita dengan mata yang basah.
Beberapa luka lahir bukan dari badai, tapi dari gerimis yang pelan—terus menetes tanpa henti hingga membanjiri jiwa. Sepatah kata yang tak pernah sampai, sepasang mata yang tak lagi menoleh, dan waktu yang berjalan menjauh tanpa menunggu. Kita menumpuk semua itu dalam dada seperti menimbun abu dalam guci, berharap suatu hari bisa kita buang ke laut. Tapi laut pun kini terlalu jauh untuk dijangkau.
Rasa yang hancur menjelma reruntuhan di hati, mengubur harapan yang dulu tumbuh seperti bunga liar. Kita melangkah di antara puing-puing kenangan, telapak kaki berdarah tapi tetap maju. Setiap senyum yang kita berikan hanyalah topeng—rapuh dan nyaris retak. Dan saat malam kembali datang, kita menyesap kesedihan seperti secangkir kopi dingin: pahit, tapi harus ditelan.
Yang paling menyakitkan bukan hanya ditinggalkan, tapi dilupakan seolah-olah kita hanya sekadar angin lalu. Kita pernah menjadi rumah, tapi tak lagi diingat alamatnya. Kita memberi segalanya—jiwa, waktu, bahkan nama kita sendiri—namun ditinggal begitu saja, tanpa salam, tanpa pamit. Hanya sunyi yang tinggal dan mengisi setiap sudut hari.
Luka menjadikan kita pejalan sunyi dalam hidup yang bising. Kita belajar diam di tengah riuh, menyembunyikan tangis di balik tawa yang dipaksakan. Diri kita yang dulu bercahaya, kini redup seperti lampu tua di sudut kamar. Dan setiap kali mencoba bicara, kata-kata patah di tenggorokan seperti ranting yang tak kuat menahan beban angin.
Malam-malam panjang menjelma seperti lorong tanpa ujung, dan di dalamnya, kita menggenggam perih dengan tangan yang mulai gemetar. Kita bicara pada langit yang tak pernah menjawab, pada bulan yang hanya bisa menyinari tapi tak bisa memeluk. Dan dalam doa yang lirih, kita bertanya, "Masih bisakah aku disembuhkan?"
Seni menyembuhkan luka sendiri bukan tentang menjadi pahlawan. Ia adalah puisi yang ditulis dalam tangis, langkah-langkah pelan yang menapak di jalan penuh duri. Kita belajar berdiri saat tubuh ingin rebah, belajar tertawa saat hati ingin menyerah. Karena hidup menolak berhenti, meski kita merasa tak punya tenaga lagi.
Di antara gelap, kita mencari setitik cahaya—bukan untuk menerangi jalan, tapi sekadar mengingat bahwa kita belum sepenuhnya hilang. Luka-luka itu tetap menyapa, tapi kita mulai bisa menjawab dengan senyuman kecil. Kita tahu, mungkin tidak akan pernah benar-benar sembuh, tapi setidaknya kita belajar berdamai.
Dan di ujung segala pedih, kita menemui diri sendiri—sosok yang telah lama terabaikan. Ia masih ada, meski penuh tambalan. Ia masih hidup, meski pernah ingin mati. Dari sanalah kita sadar, bahwa luka adalah guru paling jujur, dan kesepian adalah cermin yang memperlihatkan betapa kuatnya kita bertahan.
Akhirnya, pagi datang membawa seberkas hangat. Luka masih di sana, tapi ia tak lagi bicara sekeras dulu. Ia duduk diam di sudut, membiarkan kita berjalan tanpa rasa bersalah. Dan dari reruntuhan itu, kita membangun rumah—rumah kecil bernama penerimaan, tempat hati bisa pulang tanpa takut diusir.
Bumi hening, 9 Mei 2025
Tidak ada komentar:
Posting Komentar