Rabu, 29 Januari 2025

KOTA YANG TAK PERNAH TIDUR

 Puisi Esai

---++++---


Kota Yang Tak Pernah Tidur

Karya : Pena_Lingga


Aku mendengar bisikan itu,

dari balik kabut yang tak pernah habis,

dari ruang-ruang yang sepi

di antara terik matahari yang menjerat kita

dan bayangan malam yang mengintai di sudut-sudut jalan.

Di sini, di kota ini,

waktu tidak bergerak.

Ia hanya berputar-putar,

menggigit dengan gigih,

seperti seekor tikus yang terperangkap dalam perangkapnya sendiri.

Dan aku,

berdiri di tengahnya,

mencoba mengingat,

atau lebih tepatnya, mencoba untuk melupakan.


Apakah kau tahu?

Kau yang hilang dalam senyap,

dalam bisu yang lebih keras dari teriakan.

Apa yang tersisa darimu hanyalah mata yang kosong,

seperti cermin yang tak pernah memantulkan gambar

tetapi hanya memantulkan kesedihan.

Aku memandang mata itu,

dan aku tahu—

mereka melihatku dengan cara yang berbeda,

seperti mereka melihat apa yang seharusnya tak pernah ada.

Seperti mereka melihat luka yang tak bisa dihapus,

seperti mereka melihat cerita yang tak akan pernah selesai.


Di sini,

di kota yang tak pernah tidur,

di bawah langit yang tak pernah cerah,

waktu berdetak seperti suara langkah kaki yang hampa.

Ada sebuah ruang kosong yang mengelilingi kita,

ruang yang tak bisa diisi oleh apapun,

ruang yang tak pernah bisa kita sentuh,

meski kita mencoba menggapainya dengan segenap daya.

Dan di tengah-tengahnya,

aku berdiri, mencari jawaban yang tak pernah ada,

mencari potongan-potongan dari dirimu

yang telah lama hilang.


Mereka berkata,

"luka ini adalah sesuatu yang harus diterima."

Tetapi bagaimana aku bisa menerima

sesuatu yang terus mengubah bentuknya,

sesuatu yang tidak pernah cukup nyata untuk disentuh?

Setiap kali aku berpikir aku mengerti,

luka itu berubah lagi,

seperti bayangan yang terus menghindar

setiap kali aku mencoba menggapainya.


Aku ingin berteriak,

tetapi mulutku terasa terkunci,

seperti pintu yang tidak bisa dibuka meski ada kunci di tangan.

Aku ingin memanggilmu,

tetapi namamu hanya sebuah gema yang hilang

di antara hiruk-pikuk dunia yang terus berjalan.

Seperti kata-kata yang terjebak dalam tenggorokan,

seperti harapan yang selalu terlewat,

seperti angin yang tak pernah kembali.


Aku bertanya pada cermin yang pecah:

Apakah kita memang harus mengubur luka-luka ini

di dalam tanah yang sudah lapuk?

Atau akankah kita terus menggali,

menggali lebih dalam,

hingga kita menemukan akar dari segala yang hilang?

Tetapi setiap kali aku menggali,

aku hanya menemukan lebih banyak kegelapan,

lebih banyak kesepian,

dan lebih banyak potongan-potongan dari masa lalu

yang seharusnya sudah lama kita tinggalkan.


Di malam yang dingin ini,

aku teringat pada semua yang kita tinggalkan,

pada semua yang pernah kita percayai,

dan pada semua yang telah hilang di antara kita.

Kau adalah luka yang tak bisa sembuh,

tetapi aku tak tahu bagaimana cara melepaskannya.

Mungkin ini yang disebut dengan penderitaan yang tak terlihat,

penderitaan yang ada di antara setiap nafas,

di antara setiap detik yang berlalu,

di antara setiap langkah yang terhenti.


Apakah kita hanya berjalan di dunia ini

untuk menemukan bahwa kita sudah terlalu terlambat

untuk kembali ke tempat yang seharusnya kita tuju?

Apakah kita hanya berjalan di dunia ini

untuk menemukan bahwa segala yang kita inginkan

adalah sesuatu yang sudah lama hilang?


Mereka berkata,

"waktu akan menyembuhkan segala luka."

Tetapi bagaimana jika luka ini adalah bagian dari kita,

bagian dari siapa kita,

dan bagian dari segala yang telah kita alami?

Apa yang akan terjadi jika kita tidak pernah benar-benar sembuh?

Apakah kita akan terus terjebak dalam ruang ini,

dalam waktu ini,

dalam luka ini?


Aku ingin mengingatmu,

tapi bagaimana aku bisa mengingat sesuatu

yang tak pernah benar-benar ada?

Kau adalah bayangan yang tak pernah lengkap,

seperti mata yang terus menatap

tanpa melihat,

seperti tangan yang terus meraih

tanpa pernah menyentuh.

Dan aku,

aku adalah tubuh yang terus mencari-cari

potongan-potonganmu di antara hujan dan angin,

di antara puing-puing dari segala yang telah kita tinggalkan.


Setiap kali aku berpaling,

aku hanya melihat bayangan kita

yang semakin menghilang di cakrawala,

seperti angin yang membawa segala yang kita punya

menjadi debu.

Dan aku bertanya pada diri sendiri:

Apakah kita hanya berjalan

untuk akhirnya melupakan?

Ataukah kita hanya melupakan

untuk akhirnya berjalan?


Jika luka ini tidak bisa sembuh,

maka biarkan ia menjadi bagian dari kita,

seperti jejak kaki di pasir yang akan hilang

seiring dengan datangnya ombak,

tetapi selalu ada untuk dikenang.

Mungkin ini adalah cara kita

untuk terus hidup—

melalui luka yang tidak bisa disembuhkan,

melalui kata-kata yang tidak pernah terucap,

melalui kenangan yang selalu ada,

meski semuanya telah lama hilang.


Raja Ampat, 29 Januari 2025

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

( Dialog Y.T.S.A.M.S )

 Yang Tertinggal Setelah Aku Memberi Segalanya ( Part 1 ) Karya : Pena_Lingga 🤵: Hai ! Lama tak bertemu ya Kali ini aku datang dengan niat ...