Senin, 26 Mei 2025

NAMAMU MASIH TINGGAL DI HATIKU

 Namamu Masih Tinggal di Hatiku

Karya : Pena_Lingga


Aku tidak tahu pasti sejak kapan kamu mulai tumbuh sebagai bayang-bayang yang menetap di pikiranku. Kamu seperti nama yang muncul tanpa undangan di setiap percakapan dengan diriku sendiri. Semakin aku mencoba menjauh, semakin kamu menempel di sela-sela kesunyian yang kuciptakan. Dan sejak saat itu, setiap kali aku menyebut namamu, ada sesuatu yang ikut retak di dalam dada—entah itu kenangan, harapan, atau hanya sekadar ego yang belum juga ikhlas.


Kehadiranmu tidak pernah biasa. Kamu datang perlahan, tidak mengganggu, tapi juga tidak pernah benar-benar pergi. Kamu membuat diriku merasa dihargai, lalu perlahan menjauh dan meninggalkan ruang kosong yang tidak bisa diisi siapa pun. Aku tidak tahu kenapa aku membiarkanmu menetap selama itu. Mungkin karena aku terlalu bodoh. Atau mungkin karena aku terlalu terbiasa dengan luka yang kamu beri, hingga nyerinya terasa seperti bagian dari hidup yang harus kuterima.


Aku mencoba melanjutkan hidup seperti biasa. Menyapu lantai, menyeduh kopi, membaca buku, menulis hal-hal ringan—hal-hal kecil yang dulu menyenangkan sebelum kamu datang. Tapi tetap saja, semua itu terasa seperti sandiwara. Ada aroma yang hilang, ada tawa yang tidak bisa lagi kuucapkan dengan lepas. Seperti pagi ini, kopi yang kuseduh terasa tawar, mungkin karena aku terlalu terbiasa menikmatinya sambil mengingat tawamu yang dulu membuat pagi jadi lebih ringan.


Aku menyadari bahwa namamu sudah menjadi bagian dari doaku. Bukan karena aku ingin kamu kembali, tapi karena aku belum siap kehilanganmu sepenuhnya. Setiap sujud yang kuselesaikan, ada bayanganmu yang duduk diam di sela-sela permohonan. Aku menyebut namamu bukan karena berharap, tapi karena aku tidak tahu cara lain untuk melupakanmu selain dengan menyerahkan segalanya pada Tuhan.


Mereka bilang aku harus merelakan. Tapi bagaimana caranya? Kamu tidak sekadar menjadi bagian dari hidupku. Kamu semacam lagu yang tidak bisa kuhentikan di kepala. Kamu semacam rumah yang hangat, yang meski sekarang sudah rusak dan tak berpenghuni, tetap terasa paling nyaman diingat. Aku lelah mencoba berpura-pura kuat, tapi siapa yang peduli? Luka tidak pernah butuh penonton.


Kadang aku duduk lama di depan jendela saat hujan turun. Melihat rintiknya seperti membaca surat yang tidak pernah kamu kirim. Hujan menjadi saksi dari rindu yang tidak pernah tuntas. Aku iri padanya, karena hujan tahu kapan harus turun dan tahu kapan harus reda. Sedangkan aku, bahkan setelah sekian lama, masih belum tahu kapan perasaanku padamu akan berhenti menggigil.


Aku tidak pernah membencimu, dan itu mungkin kesalahanku yang paling besar. Karena dengan tidak membencimu, aku justru terus menyimpannya dalam diriku. Kamu tidak lagi hadir secara fisik, tapi kenangan tentangmu begitu riuh, seolah kamu tinggal di lorong-lorong ingatan yang tak pernah bisa kusapu bersih. Dan aku hanya bisa duduk diam, membiarkan kenangan itu menyelimutiku seperti kabut yang enggan menghilang.


Namamu terlanjur tumbuh bersama detak jantungku. Bahkan jika nanti aku jatuh cinta pada orang lain, aku tidak yakin bisa sepenuhnya membebaskan diriku dari bayanganmu. Kamu terlalu mengakar, dan yang tumbuh terlalu dalam selalu menyakitkan untuk dicabut. Tapi aku tahu, suatu saat aku harus belajar menanam harapan baru di tanah yang sama, meski bekasmu belum sepenuhnya sembuh.


Andai kamu tahu, aku sedang berusaha. Bukan untuk melupakanmu, tapi untuk hidup dengan damai meski tanpamu. Aku sedang belajar menertawakan hari-hari yang dulu kita jalani bersama. Belajar bahwa tidak semua yang membuat kita bahagia harus kita miliki selamanya. Aku sedang belajar menjadi orang yang tidak menggantungkan bahagianya pada seseorang yang bahkan mungkin tidak pernah menganggapku sebagai rumah.


Dan jika suatu hari kita bertemu lagi—mungkin di trotoar yang asing, di kota yang sama-sama tak kita rencanakan, dalam waktu yang sudah dewasa dan hati yang sudah tenang—aku hanya ingin menatapmu sekali saja, dengan tersenyum. Bukan karena aku sudah lupa, tapi karena akhirnya aku bisa hidup meski tanpa kamu. Karena kamu pernah jadi rumah, dan meski kini aku hanya menjadi tamu dalam ingatanmu, aku bersyukur pernah merasakan hangatnya.



Kamarku, 26 Mei 2025

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

( Dialog Y.T.S.A.M.S )

 Yang Tertinggal Setelah Aku Memberi Segalanya ( Part 1 ) Karya : Pena_Lingga 🤵: Hai ! Lama tak bertemu ya Kali ini aku datang dengan niat ...